Beradaptasi dengan Kejorokan

Sumber:Kompas - 13 Januari 2008
Kategori:Sanitasi
Bagi para penjaga toilet di kota-kota besar seperti Jakarta, toilet adalah ladang kehidupan. Setiap hari mereka tinggal di tempat yang dianggap kotor itu, dan dari sana pula, mereka mengais rezeki untuk anak dan istri. Mereka harus tahan menghadapi perilaku masyarakat yang masih "jorok" saat buang hajat.

Lagu dangdut mengalun kencang dari radio mungil di atas meja kayu tua. Seorang lelaki duduk santai di belakang meja yang diletakkan di depan pintu masuk toilet umum di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi saat menyimak suara penyanyi di radio yang mendayu-dayu di antara lalu lalang kendaraan yang riuh.

"Ini satu-satunya hiburan, biar saya tidak bosan," ujar Adang Riswanto (55), penjaga toilet di terminal itu, Kamis (10/1) siang lalu.

Kebosanan memang musuh utama Adang. Sebagai penjaga, dia mengurus kebersihan dan operasional toilet serta mengumpulkan ongkos dari pengunjung, yaitu Rp 1.000 untuk sekali masuk. Dia bekerja sejak pukul 03.00 dini hari sampai sekitar pukul 19.00. Artinya, selama sekitar 16 jam setiap hari, dia menunggui toilet itu.

Biasanya, setelah tutup pada malam hari, dia menyikat dan membersihkan lantai, kloset, dan dinding toilet. Setelah beres, dia tidur dengan menyelinap di bilik kecil di pojok ruangan, sejajar dengan bilik-bilik toilet. Dini hari, dia mesti bangun lagi untuk kembali melayani pengunjung hari berikutnya.

"Saya hidup dan menetap di toilet ini. Kadang jenuh dan ingin jalan-jalan, tapi tak bisa," keluhnya.

Adang menerima upah Rp 700.000 per bulan, ditambah Rp 15.000 per hari untuk uang makan. Upah itu diandalkan untuk menghidupi istri dan empat anaknya yang menetap di kampung halamannya di Cianjur, Jawa Barat. Untuk menambah uang jajan, dia nyambi jualan sabun atau rokok yang ditaruh di keranjang kecil di dekat pintu toilet.

Adang sudah melakoni hidup sebagai penjaga toilet sejak tahun 1983, atau 25 tahun silam. Awalnya dia menjaga toilet di Pasar Tanah Abang, pindah ke Pasar Senen, lalu pindah lagi ke pom bensin di Serang, Banten. Setahun terakhir, dia bertugas di toilet Terminal Lebak Bulus.

"Waktu pertama jaga sih malu. Risi juga tinggal di tempat kotor dan bau begitu? Banyak yang meledek, kok orang buang hajat ditungguin? Tapi, lama-lama saya terbiasa," kata lelaki gagah dan berkumis yang pernah bercita-cita jadi tentara itu.

Nasib serupa dialami Yayat (35), penjaga toilet lain di Terminal Lebak Bulus. Lulusan sekolah dasar (SD) itu terpaksa menerima pekerjaan sebagai penjaga toilet karena sulit memperoleh kerja lain saat merantau ke Jakarta. Dia memperoleh upah sekitar Rp 500.000 per bulan, yang disisihkan dari total pendapatan kotor toilet yang dijaganya, sekitar Rp 2 juta per bulan.

"Sudah 17 tahun saya bekerja di toilet. Dulu di Pasar Senen, terus ke sini," katanya. Yayat punya satu istri dan satu anak, yang juga tinggal di Cianjur.

Perilaku jorok

Para penjaga toilet itu mengaku cukup bisa beradaptasi dengan lingkungan toilet yang kotor dan bau atau mengatasi rasa rendah diri di kalangan teman-teman. Cobaan berat justru datang dari perilaku pengunjung yang jorok. Banyak di antara mereka yang kencing atau buang air besar, tetapi enggan menyiram bekasnya.

"Setelah buang hajat, banyak yang pergi begitu saja. Kalau diingatkan, malah marah-marah. Terpaksa, saya-lah yang nyiram dan bersih-bersih. Bayangkan saja, itu sangat menjengkelkan!" kata Mulyadi (21), penjaga toilet umum di Pasar Kebayoran Baru.

Dua penjaga toilet di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Yani (40) dan Fajrul (26)bukan nama sebenarnya juga menuturkan, sebagian pegawai negeri yang bekerja di sana belum benar-benar sadar kebersihan. Mereka masih menggunakan toilet seenaknya saja, meninggalkan bekas sepatu di lantai atau di kloset jongkok. Akibatnya, WC di kantor itu kumuh.

Apa mau dikata, dalam kultur kita sekarang ini, toilet masih diistilahkan sebagai kamar kecil atau kamar belakang yang cenderung disisihkan dan dianggap sebagai tempat kotor. Sebagian masyarakat belum menyesuaikan diri dengan tuntutan peradaban untuk membersihkan bekas kencingnya sendiri.

Selain perilaku jorok, pengunjung toilet umum juga kerap meninggalkan corat-coretan pada dinding. Di Terminal Lebak Bulus, ulah vandalisme pengunjung dengan spidol, pulpen, atau torehan uang receh itu semakin melengkapi kekumuhan toilet umum. "Dibersihkan sekali, besok akan muncul lagi tulisan-tulisan lain. Isinya banyak yang porno-porno," kata Yayat.

Di luar itu, para penjaga mesti menghadapi persoalan lain yang tak kalah berat. Banyak preman yang gemar memakai fasilitas toilet umum, tanpa mau bayar. Kalau sedang mabuk, mereka malah suka memalak uang pada penjaga.

"Akhirnya pengelola menyisihkan anggaran khusus untuk para preman itu. Besarnya bisa puluhan ribu rupiah. Terpaksa begitu, biar tidak diganggu," kata Edi (45), penjaga toilet di pinggiran rel kereta di dekat Pasar Kebayoran Lama.

Disiplin

Situasi seperti ini sudah lama dikeluhkan dan tak kunjung teratasi. Selain soal disiplin, Pemerintah Indonesia memang belum serius membangun fasilitas toilet memadai atau mengembangkan budaya buang hajat yang bersih. Sekadar perbandingan, para penjaga toilet umum di negara lain mungkin tak sesengsara teman seprofesinya di sini.

Budaya bersih di Singapura beberapa tahun belakangan ini mungkin bisa jadi contoh. Program kebersihan di negara tetangga itu tak hanya jadi jargon kosong, tetapi benar-benar diterapkan di ruang publik, termasuk di lingkungan toilet umum. Didukung fasilitas teknologi canggih, serba otomatis, serta disiplin masyarakat, sistem toilet kering yang bersih berjalan cukup efektif di sana.

Di beberapa toilet umum, para pengunjung bahkan bisa membuang hajat dengan nyaman sembari bersantai atau membaca koran. Toilet yang resik memang akhirnya mencerminkan tingkat kebudayaan sebuah bangsa.

Ketua Asosiasi Toilet Indonesia (ATI) Naning Adiwoso mengungkapkan, pada suatu masa, toilet umum di Singapura juga pernah sangat jorok. Pemerintah Singapura lantas mengeluarkan peraturan yang mengharuskan warganya menggelontor paturasan setelah buang hajat dan menghukum pelanggarnya. Ternyata, peraturan itu membuahkan hasil.

Jauh-jauh hari menjelang Olimpiade Beijing 2008, China juga sudah menyiapkan warga untuk berbudaya dalam buang hajat. Kampanye kebersihan yang dilakukan pemerintah ternyata berhasil. (pingkan elita dundu/ frans sartono)



Post Date : 13 Januari 2008