|
SETIAP musim hujan, Pintu Air Bendungan Katulampa (PABK) di Tajur, Kota Bogor, menjadi pusat perhatian. Karena ketinggian air di PABK yang memotong ruas Sungai Ciliwung Hulu di ruas Desa Katulampa ini, sangat menentukan nasib warga Jakarta. Maksud pembangunan bendungan Katulampa ini, semula untuk membuat suatu saluran irigasi mengairi areal persawahan di Bogor bagian utara dan Jakarta bagian barat. Namun, ketika areal persawahan di sekitar Bogor, Depok, dan Jakarta telah berubah total menjadi perumahan, PABK kemudian lebih difungsikan sebagai pengukur ketinggian air permukaan Ciliwung hulu. ''Jika air permukaan Ciliwung hulu di Katulampa mulai naik di atas ambang batas atau lebih dari 100 sentimeter kemudian ditambah dengan curah hujan di sekitar Bogor dan Depok, praktis enam jam kemudian air Sungai Ciliwung dari Katulampa ke Jakarta akan merendam sebagian besar Jakarta,'' tutur Andi, 38, petugas penjaga PABK Tajur Bogor. Pintu air dengan bentangan tidak kurang dari 120 meter ini dibangun Pemerintah Belanda pada 1932. Bendungan yang memiliki 14 pintu air ini mampu membendung air hingga ketinggian 30 meter. Sembilan pintu air di antaranya dibangun untuk membendung Sungai Ciliwung hulu yang mengalir ke arah Bogor-Jakarta. Rinciannya, empat sebagai pintu penguras sedimen dan lima pintu sebagai pelimpah air jika permukaan Ciliwung telah mulai penuh. Sedangkan lima pintu lainnya, merupakan pintu in take (pengalih) sebagian Sungai Ciliwung hulu ke jalur saluran irigasi yang dinamakan Kali Baru Timur. ''Pintu in take ini tidak boleh diganggu ataupun dibuka sembarangan. Kecuali sedikit-sedikit, sesuai kebutuhan jika Kali Baru mengalami kekeringan atau kurang airnya. Saat Ciliwung hulu airnya melimpah, pintu in take juga tak pernah dibuka penuh. Hanya ditambah sedikit saja, paling 10-15 sentimeter saja,'' papar Andi. Dicerca Menurut Andi, pihaknya kerap dicerca beberapa penelepon atau warga Jakarta yang mengaku pejabat, karena dianggap tidak becus mengendalikan ketinggian air. ''Yah, nasib orang pegawai rendahan, selalu saja jadi cercaan. Tapi tak mengapa, masuk dalam ibadah saya,'' ujar Andi yang walau telah bekerja sejak 1987 di PABK, namun hingga kini tetap menjadi tenaga honorer. Disebutkannya, selama 17 tahun bertugas di PABK tidak jarang dia harus begadang beberapa hari untuk memantau ketinggian air. ''Kalau sudah musim hujan, bisa 10 hari tidak tidur siang maupun malam. Karena jika air mulai naik melebihi ambang batas normal, harus selalu lapor sejam sekali ke Posko Pengendali Banjir DKI Jakarta.'' Honornya yang Rp400 ribu sebulan, harus cukup untuk menafkahi dirinya dengan seorang istri, Atikah, 35, dan dua anaknya yang telah duduk di kelas 4 dan kelas 5 SDN Katulampa. Gaji itu harus diambil langsung ke Bandung, karena PABK ini sekarang di bawah Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air (PSDA) Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane di Dinas PSDA Jawa Barat di Bandung, yang semula bernama Dinas PU Pengairan Jawa Barat Wilayah Bogor di Jl Paledang Kota Bogor. Walau kurang perhatian dari instansi tempat bekerja, Andi patut bersyukur karena ada yang peduli terhadap kehidupan morat-maritnya. ''Perusahaan Gas Negara Bogor, merenovasi gubuk saya menjadi sebuah rumah permanen dua kamar, senilai Rp35 juta pada Juli 2004, usai musibah banjir 2004 yang menimpa Jakarta.'' (Daatje S Achmad/J-2) Post Date : 24 Januari 2005 |