Bencana yang Meruntuhkan Mental...

Sumber:Kompas - 17 Maret 2010
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Banjir tahunan yang menimpa ribuan warga di Kabupaten Bandung tidak hanya menimbulkan derita fisik akibat kelelahan saat mengungsi dan menyelamatkan diri. Bencana itu juga meruntuhkan mental warga, membentuk pribadi yang biasa pasrah pada bencana. Bahkan ada yang memanfaatkan momen bencana sebagai kesempatan meminta-minta.

Kondisi itu bisa dirasakan ketika ada orang asing yang mungkin selintas lalu atau tampak serius menanyakan tentang kecukupan bantuan bagi warga. Jawaban warga pun serupa. "Wah, bantuan masih kurang. Kalau mau membantu, langsung saja lewat kami. Jangan melalui kelurahan atau kecamatan sebab sering kali tidak sampai ke warga yang menjadi korban," kata Endah (40), warga RT 4 RW 20 Kampung Cieunteung, Kelurahan Baleendah, yang akhir pekan lalu menerima bantuan bahan pokok dari aparat kampung.

Warga yang bertahan menempati tenda di Jembatan Citarum, misalnya, bersikeras tidak mau berpindah ke Aula Gedung Juang 45 yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah mereka di Kampung Djambatan, Kelurahan Andir. Warga mengkhawatirkan harta benda mereka raib saat ditinggal mengungsi jauh dari kampung.

Alih-alih mencari solusi mengatasi banjir, kondisi itu malah memicu perdebatan dan kecurigaan antara warga dan aparat Kecamatan Baleendah. Warga yang bertahan di jembatan merasa diabaikan karena pasokan makanan dan bantuan kurang. Adapun pihak kecamatan beralibi tidak memiliki petugas yang cukup untuk melayani pengungsi yang berpencar.

Bawa kaleng

Dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup, puluhan anak usia sekolah berderet di sepanjang Jembatan Citarum sambil membawa kaleng atau ember. Di samping jembatan dipasang kardus bertulisan "Mohon Bantuan bagi Korban Banjir".

Kondisi ini tak ayal membuat aparat daerah pusing karena banjir juga memicu persoalan sosial. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat Udjwalaprana Sigit menuturkan, tidak semua warga yang mengeluhkan bantuan itu benar-benar kekurangan bantuan.

"Bantuan diprediksi cukup untuk semua korban. Jika ada yang sampai meminta-minta, itu harus ditelusuri dulu benarkah mereka kekurangan bantuan atau justru ini persoalan mental," ujarnya.

Peneliti pada Laboratorium Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran, Herry Wibowo, berpendapat, hal ini disebabkan warga terbiasa menerima bantuan. Apalagi, banjir menimpa warga miskin yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Pola bantuan harus diubah. Jika sudah mencukupi, bantuan harus dihentikan. Atau, bantuan diubah dengan pola pemberdayaan, yakni mengajak warga membuka usaha lain untuk menggerakkan aktivitas ekonomi di sela-sela bencana," ujarnya. Pemberian bantuan pun harus didampingi sukarelawan sehingga bantuan itu benar-benar diterima korban. (RINI KUSTIASIH)



Post Date : 17 Maret 2010