|
Dalam sebuah sajaknya, penyair Taufiq Ismail pernah menggambarkan Pulau Jawa tenggelam karena kelebihan penduduk dan tinggal seekor angsa berenang-renang di atasnya. Dalam sebuah cerpennya, Danarto juga pernah menggambarkan Jakarta tenggelam dan tinggal puncak Monas yang tampak di permukaan air banjir. Bencana yang digambarkan oleh kedua sastrawan di atas memang baru sebatas imajinasi. Pulau Jawa masih 'mengapung' dengan sekitar 90 juta jiwa penduduk. Jakarta juga masih mengangkang dengan angkuhnya, dengan gedung-gedung tinggi yang menusuk langit, yang di dalamnya tersimpan para koruptor dan politisi bermasalah. Jalan-jalan Jakarta juga masih sibuk, dengan polusi dan kemacetan di hampir seluruh sudut kota. Tetapi, lihatlah, bencana makin mengancam penduduk Jawa dari berbagai penjuru. Rabu lalu, misalnya, banjir melanda belasan wilayah Jawa -- tujuh di antaranya wilayah Jatim. Sebelumnya, berkali-kali banjir sudah menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta, meskipun air tidak sampai setinggi puncak Monas seperti diimajinasikan Danarto. Bahkan bukan hanya banjir yang berkali-kali melanda berbagai wilayah Jawa, tapi juga tanah longsor. Tidak jauh berbeda pula yang terjadi di banyak kawasan di luar Jawa. Jika dikalkulasi, kerugian akibat bencana alam itu begitu besar, dan terbanyak disebabkan oleh banjir. Menurut catatan Bakornas PBP, misalnya, sejak 1998 hingga 2004 di Indonesia terjadi 302 bencana banjir dan 245 tanah longsor. Pada kurun waktu itu bencana banjir menyebabkan 1.066 orang tewas dengan kerugian material mencapai Rp 191 miliar lebih. Sedangkan jumlah korban jiwa akibat tanah longsor mencapai 645 orang dengan kerugian sekitar Rp 14 miliar. Ada perkiraan, banjir dan longsor merupakan ancaman terbesar sepanjang tahun ini. Penyebab utamanya adalah rusaknya kawasan hutan yang sudah sangat parah dan adanya perubahan iklim global yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca --gas pencemar dari industri dan kendaraan bermotor-- di atmosfer. Data terakhir menyebutkan, kerusakan hutan di Indonesia saat ini telah mencapai 43 juta hektare -- lebih dari setengah areal hutan di Indonesia. Yang lebih mengkhawatirkan, kerusakan hutan terus bertambah dan tidak terbendung lagi, mencapai sekitar 2 juta hektare per tahun. Ini artinya, ancaman bencana alam -- banjir dan tanah longsor -- terus meningkat setiap saat. Lebih-lebih di Jawa, karena kerusakan hutan di pulau terpadat di Tanah Air ini diperparah oleh makin kritisnya kondisi daerah aliran sungai (DAS) di hampir semua sungai yang ada. Bencana banjir mengintai di mana-mana setiap turun hujan deras. Berbagai kerusakan lingkungan yang mengundang bencana tersebut jelas merupakan akibat ulah manusia. Manusialah yang tiap hari dengan rakus menggunduli hutan, yang tidak kunjung kenyang memakan berjuta-juta kubik kayu yang ada di sana. Manusia pula yang terus menambah kritis DAS, karena memanfaatkannya dengan tidak semestinya. Karena itu, manusia pula yang bertanggung jawab menghentikan semua itu dan memulihkannya ke kondisi yang aman. Dan, yang paling bertanggung jawab adalah mereka yang sedang berkuasa serta memiliki otoritas untuk itu. Bagaimanapun, makin parahnya kerusakan hutan, makin kritisnya DAS, dan berbagai ancaman bencana alam itu, tak dapat diantisipasi hanya dengan retorika-retorika politik. Tak bisa pula dianggap sekadar suratan takdir, karena ini artinya mengambinghitamkan Tuhan untuk bencana yang dipicu oleh ulah manusia sendiri. Diperlukan kebijakan yang tegas dan langkah yang nyata dari pemerintah untuk itu. Jika tidak, bisa jadi imajinasi Taufiq Ismail atau Danarto akan benar-benar menjadi kenyataan. Pulau Jawa akan 'tenggelam' dan hanya tinggal seekor angsa berenang-renang di atasnya. Post Date : 02 Februari 2004 |