|
Bencana akibat perubahan iklim lebih banyak terjadi di negara berkembang. Rakyat miskin paling menderita. Pemerintah memerlukan strategi adaptasi jitu untuk menyelamatkan kaum papa. Menjelang tutup tahun, lembaga Program Pembangunan PBB (UNDP) rutin menerbitkan laporan tahunan tentang pembangunan manusia, yang lazim disebut ''Human Development Report'' (HDR). Hanya saja, laporan tahun ini tak seperti biasanya. ''Human Development Report 2007 kali ini memang tidak demokratis. Kami terpaksa berpihak,'' tutur Hakan Bjorkman, Country Director UNDP Indonesia. Mengingat, persoalan yang dihadapi dunia pada saat ini, kata Hakan, juga tidak demokratis. Yakni sebuah fenomena yang biasa disebut ''perubahan iklim''. Tabiatnya seperti bandit licik. Lebih suka menyerang makhluk lemah: rakyat miskin di negara-negara berkembang. Karena itu, HDR kali ini lebih banyak berbicara tentang rakyat miskin. ''Perubahan iklim mengancam akan menyabot perjuangan bangsa Indonesia melawan kemiskinan,'' ujar Hakan ketika menyampaikan laporan itu di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa pekan lalu. Sehari kemudian, giliran Bank Dunia yang menyatakan hal yang sama. ''Kita akan menyaksikan kawasan Asia Selatan akan dilanda banjir, tapi kawasan bumi lain justru terkena kemarau. Yang sangat menderita adalah rakyat miskin,'' kata Richard Damania, Senior Environmental Economist Bank Dunia untuk Wilayah Asia Selatan, kepada pers. Baik UNDP maupun Bank Dunia menyampaikan berbagai penelitian dan survei berkaitan dengan masalah perubahan iklim. Apalagi, data yang dikumpulkan menunjukkan kecenderungan malapetaka iklim makin sering menggempur. Dari banjir, kemarau panjang, tanah longsor, hingga badai. Rata-rata terjadi 326 bencana iklim dengan korban mencapai setidaknya 262 juta orang setiap tahun sepanjang 2000-2004. Dari jumlah tersebut, sebanyak 98% terjadi di negara berkembang. Jumlah yang melonjak dua kali lipat dibandingkan dengan dengan tahun 1980-an. HDR juga mengutip penelitian lainnya, yang memaparkan perbandingan kejadian bencana iklim di negara berkembang dengan negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Di negara-negara makmur, rata-rata satu dari 1.500 orang yang terkena bencana iklim. Perbandingan itu menciut menjadi hanya satu di antara 19 orang di negara berkembang. Dampak yang terjadi pada rakyat miskin tentu tak terperikan. Tingginya angka kemiskinan dan rendahnya pengetahuan membuat mereka tak mampu bertahan terhadap bencana. Jangankan menghadapi bencana, menjalani hidup sehari-hari saja mereka sudah ngos-ngosan. Karena itu, ketika petaka datang, mereka terpaksa menjual harta benda berharga, kelaparan, dan anak-anak mereka pun putus sekolah. Kondisi inilah yang tergambar pada lembaran-lembaran HDR. Sebanyak 36%-50% anak balita di Etiopia dan Kenya dipastikan menderita kekurangan gizi jika mereka lahir ketika terjadi musim kemarau panjang di sana. Khusus di Etiopia, jumlah balita dengan gizi rendah mencapai 2 juta anak pada 2005. Di Nigeria, sebanyak 72% anak berusia dua tahun yang lahir pada musim kemarau dipastikan menderita keterbelakangan mental. Para wanita yang lahir ketika banjir bandang pada 1970-an di India bernasib sama. Sebanyak 19% di antaranya tak dapat menikmati pendidikan dasar. Kondisi di Indonesia tak jauh beda. Dalam kurun waktu 1844-1960, kemarau panjang terjadi rata-rata setiap empat tahun. Namun sejak periode 1961-2006 meningkat menjadi setiap tiga tahun, dengan catatan 1998 merupakan tahun terpanas dalam abad ke-21 ini (Government of Indonesia, Climate Variability and Climate Changes and Their Implications in Indonesia). Banjir makin sering melanda pelbagai wilayah Indonesia. Terjadi 530 kali banjir di hampir seluruh provinsi sejak 2001-2004, dengan tingkat kerusakan yang juga meningkat. Kejadian El Nino pada 1997-1998 adalah yang paling parah selama 50 tahun (Indonesia and Climate Charge: Current Status and Policies. Jakarta, World Bank, DFID, PEACE, 2007). Ancaman perubahan iklim itu memang tak boleh dianggap enteng. Sejumlah negara industri sudah siap-siap menghadapinya dengan menggelontorkan dana sebanyak mungkin untuk membangun berbagai infrasturktur penangkal bencana iklim. Inggris, misalnya, menghabiskan US$ 1,2 milyar per tahun untuk membangun infrastruktur pencegah banjir. Dilaporkan pula, banyak warga Belanda membeli rumah yang dapat mengapung. Bahkan industri ski di Swiss mulai berinvestasi untuk memproduksi mesin pembuat salju artifisial. Pemerintah negara berkembang memang banyak melakukan program mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun apa yang disebut ''mitigasi'' sebagian besar memang benar-benar ''manual''. Di kawasan timur Indonesia, misalnya, wanita dan anak-anak harus berjalan kaki belasan kilometer untuk mendapatkan air. Begitu juga warga India di kawasan Sungai Gangga harus membuat berikade bambu untuk mencegah banjir musiman. Dalam laporannya, UNDP juga melampirkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi kemiskinan akibat perubahan iklim. Sejauh mana itu dapat terwujud? Berbagai kebijakan itu, menurut Binny Buchory, Direktur Eksekutif Perkumpulan Perkasa, tentu harus dilaksanakan. ''Tapi menyelesaikan semua masalah kemiskinan tentu tidak mungkin,'' katanya. Sejak diterpa krisis moneter, kondisi rakyat miskin benar-benar tak berubah (lihat: Indikator Kemiskinan Indonesia 1997-2006). ''Kita perlu hal yang lebih dari sekadar program mengatasi perubahan iklim,'' ujarnya. Nasib. Langkah Menjegal Perubahan Iklim Berikut sejumlah langkah kebijakan yang menurut UNDP perlu dilakukan pemerintah: - Perdagangan karbon. HDR menyarankan perlu dilaksanakannya pajak karbon dan mekanisme perdagangan emisi. Pajak karbon dinilai dapat membantu mengubah struktur insentif yang ada selama ini. Di sisi lain, pajak ini diharapkan tidak membebani pengusaha karena dapat dikompensasi dengan fasilitas pengurangan pajak dan sebagainya. - Memperkuat peraturan standar pengurangan emisi. Peraturan tentang pembatasan emisi dalam industri transportasi, bangunan, dan elektronik perlu diperkuat dan dilaksanakan. Peraturan standar seperti ini sangat berperan mengurangi pemanasan global. - Mendukung pengembangan teknologi dan program energi terbarukan. Beragam proyek energi terbarukan, seperti pemanfaatan energi matahari, angin, dan air, perlu digalakkan. Begitu juga teknologi ramah lingkungan, seperti pembuatan fasilitas penimbunan karbon (carbon capture and storage --CCS). - Perlunya kerja sama internasional dalam hal keuangan dan transfer teknologi. HRD menyerukan perlunya pembentukan lembaga yang berupaya melawan perubahan iklim atau climate change mitigation facility (CCMF). Lembaga ini bertugas menghimpung dana sebesar US$ 25 milyar-US$ 50 milyar tiap tahun untuk pembiayaan perubahan iklim.Nur Hidayat Post Date : 12 Desember 2007 |