|
Studi tentang kesejarahan Bengawan Solo belum banyak dilakukan, terlebih yang mencakup lintas masa dan sepanjang alirannya. Sebenarnya terdapat beberapa tulisan yang menelaah tentang peran Bengawan Solo, seperti karya TS Raffles (1817:17-18), PH van der Kemp (1894:128-129), JJ de Hollander (1895:263), dan FH van Naerssen (1943:623). Namun, tulisan itu hanya berbentuk artikel yang serba sekilas mengkaji peran sejarahnya. Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 menelusuri secara utuh sejak dari tuk (mata air) hingga muaranya. Selain itu, nilai lebih dari ekspedisi ini adalah pelibatan para peneliti, baik untuk bidang kaji ekologi sungai maupun arkeologi-sejarah. Lewat ekspedisi berdurasi dua pekan (5-20 Juni 2007) ini, banyak aspek kehidupan berhasil disingkapkan, tidak terkecuali kehidupan budayanya. Temuan yang didapat setidaknya mampu membuka "jendela" guna melongok dan memberi cercah cahaya bagi kegelapan sejarah terkait dengan keberadaan Bengawan Solo dalam lintas masa. Fajar kehidupan Bengawan Solo ".... Sedari dulu jadi perhatian insani", demikian salah satu baris syair lagu karya Gesang. Memang, sejak zaman prasejarah hingga kini Bengawan Solo menjadi pusat perhatian. Bukan saja oleh insan manusia, tetapi juga oleh makhluk hidup lain. Kawasan lembah sungai ini menjadi tempat subur bagi tumbuhnya tanaman tropis. Kandungan unsur asam di lembah sungai yang bersenyawa dengan basa dari gunung-gunung berapi yang dilintasi Bengawan Solo dan anak-anak sungainya menghasilkan garam-garam tanah yang amat dibutuhkan oleh tanaman. Tempat yang kaya tanaman itu merupakan pilihan bagi beragam binatang untuk mencari makanan dan air minum. Tempat seperti ini yang menjadi pusat perhatian manusia purba untuk berburu dan meramu. Hulu Bengawan Solo berupa Kali Muning dan Kali Tenggar di Desa Jeblogan, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, berbatasan dengan Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Punung terbilang kaya akan goa karts (kapur), yang di antaranya menjadi goa hunian masa "berburu" dan "mengumpulkan makanan tingkat lanjut". Daerah Pacitan adalah tempat terpenting dalam riset teknologi paleolitik sebab di sini banyak didapat perangkat prasejarah dalam bentuk yang jelas. Indikasi daerah hunian manusia purba seperti itu, ditemukan di Gedongrejo dan sekitarnya di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri. Penemuan kapak mesolitik oleh tim ekspedisi di Dusun Ngulang, Desa Gedongrejo, menjadi indikator awal tentang kemungkinan daerah ini sebagai hunian manusia purba masa "berburu" dan "mengumpulkan makanan tingkat lanjut". Selain itu, terdapat banyak goa di tebing-tebing bukit yang, jika cermat diteliti, bukan tak mungkin ada di antaranya dahulu berfungsi sebagai goa hunian. Kehidupan budayanya berlanjut memasuki "masa bercocok tanam" dan "perundagian"dan itu berlangsung hingga kini. Temuan lumpang dan lesung batu di Ngulang menjadi bukti bahwa basis perekonomiannya adalah bertani. Dalam hubungan itu, lumpang batu berukuran kecil di punden Mbah Wagar semula difungsikan sebagai media dalam ritus kesuburan untuk pertanian. Budidaya padi-padian di tempat ini ditunjang oleh topografinya yang relatif datar, banyak mata air dan dialiri oleh Bengawan Solo Lanang beserta anak- anak sungainya. Gedongrejo adalah tempat pertama di hulu Bengawan Solo yang relatif datar sehingga cocok untuk persawahan. Bukti kehidupan prasejarah juga didapati di sejumlah tempat yang berada lebih ke arah hilir Bengawan Solo. Daerah lain di aliran Bengawan Solo yang banyak mengandung data artefaktual ataupun paleoantropologi zaman prasejarah adalah Sragen, Karanganyar, Blora, dan Ngawi. Dua lokasi di Sragen yang ditengarai sebagai situs prasejarah adalah Sangiran dan Sambungmacan. Sangiran adalah dua pedukuhan kecil di perbatasan Sragen-Karanganyar, Jawa Tengah. Kendatipun tidak berada tepat di aliran Bengawan Solo, Sangiran bisa dibilang sebagai kawasan sekitar Bengawan Solo sebab Kali Cemara, Kali Brangkal, dan Kali Pohjajar, yang melintasi kubah Sangiran merupakan anak-anak sungai Bengawan Solo. Kawasan Cagar Budaya Sangiran memiliki areal sebaran temuan yang amat luas (sekitar 56 kilometer persegi) dan mengalami masa hunian oleh manusia purba terlama (lebih dari 1 juta tahun) jika dibandingkan dengan situs prasejarah lain di dunia. Temuan fosil manusia purba mencapai lebih dari 50 persen populasi Homo erectus di dunia. Oleh karena itu, situs ini layak disebut Sangiran Early Man Site. Di samping Homo erectus, fosil manusia purba yang ditemukan di areal World Heritage Sangiran adalah Meganthropus palaeojavanicus. Keduanya ditemukan oleh GHR von Koenigswald pada tahun 1936 dan 1937. Berbeda dengan Sangiran yang terletak di aliran anak sungai Bengawan Solo, Sambungmacan berada tepat di tepi Bengawan Solo di Desa Sambungmacan, Kecamatan Sambungmacan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Di daerah ini aliran sungai bermeander tajam. Fosil fauna, manusia purba, dan peralatan hidupnya banyak ditemukan tahun 1970-1973, terkait dengan pembuatan sudetan di aliran Bengawan Solo. Artefak beliung persegi dan bola-bola batu serta fosil gading gajah, tengkorak kerbau beserta tanduknya, tengkorak dan tanduk rusa, buaya, kura-kura, gigi-gigi binatang, tengkorak manusia purba, aneka moluska laut dan siput sungai, duri ikan dan sebagainya kini menjadi koleksi pribadi Sudarsono (56 tahun). Situs prasejarah di Ngawi yang telah banyak dikenal adalah Trinil di Kecamatan Kedunggalar, Jawa Timur. Tempat seperti itu cocok bagi permukiman manusia purba yang bermata pencarian berburu dan meramu. Oleh karena itu, bisa dipahami bila pada formasi Kabuh di Trinil ini Eugene Dubois menemukan fosil manusia kera berjalan tegak atau Pithecanthropus erectus pada tahun 1890-1892 dan tahun 1900, serta penemuan dua fosil Pithecanthropus erectus oleh Sapari pada tahun 1978. Sebenarnya masih ada sejumlah lokasi di Ngawi yang berpotensi memiliki tinggalan prasejarah, di antaranya di Dusun Soko, Desa Karangasi, Kecamatan Ngawi, di aliran Bengawan Madiun, tidak jauh dari pertemuan (tempuran) Bengawan Madiun dan Bengawan Solo. Tatkala tim ekspedisi melintasi tempuran, sempat pula menemukan fosil tulang binatang dan batok kepala bagian atas, yang tertransformasi dari tempat lain oleh aliran sungai. Potensi temuan di tempat itu bisa dipahami mengingat lokasinya dekat dengan situs Jetis yang diketahui banyak memiliki kandungan fosil binatang purba, yang dikenal dengan "fauna Jetis". Tempat lain di aliran Bengawan Solo yang memiliki tinggalan masa prasejarah dan tradisinya adalah Bojonegoro dan Tuban, yang berupa peti kubur batu. Masyarakat setempat menyebutnya dengan kubur kalang. Dinding, alas, dan tutup peti kubur dibuat dari lepeng (papan) batu, dengan lubang kubur sedalam 60 cm. Di wilayah Bojonegoro, kubur kalang ditemukan di Desa Kawengan, Kecamatan Kedewan, dan di Kecamatan Dander. Terdapat lebih dari seratus kubur kalang di Kawengan yang terbagi dalam sembilan kelompok di areal seluas 15 hektar. Lokasinya di lereng gunung di dalam hutan jati sekitar areal penambangan minyak Sumur Pitungpuluh, pada jarak sekitar 10 kilometer dari aliran Bengawan Solo. Peti kubur batu adalah salah satu jenis kubur dari tradisi megalitik tua yang berkembang semenjak masa bercocok tanam zaman prasejarah. Dinamika budaya Bagai air bengawan yang mengalir sepanjang musim dengan pasang dan surutnya, kehidupan budaya di tepi Bengawan Solo yang berlangsung sejak zaman prasejarah terus mengalir hingga memasuki masa Hindu- Buddha. Sumber data tekstual pertama yang memberitakan aktivitas manusia di Bengawan Solo adalah Prasasti Telang (11 Januari 904), dikeluarkan Rakai Watukura Dhyah Balitung dari Mataram. Pokok isinya mengenai penetapan Desa Telang, Mahe, dan Paparahuan sebagai desa perdikan (sima) berkenaan dengan pembuatan penyeberangan sungai di Paparahuan. Nama paparahuan selanjutnya berubah menjadi Desa Praon (di dekat Wonogri), yang kemungkinan turut tenggelam dalam genangan Waduk Gajah Mungkur. Perihal tempat penyeberangan antarsisi bengawan juga diberitakan dalam Prasasti Canggu (Trowulan I), yang juga dikenal dengan "Ferry Charter". Prasasti tembaga (tamra prasasti) bertarikh 1280 Saka (7 Juli 1358) yang ditulis atas perintah Hayam Wuruk ini berisi penetapan desa-desa di tepi Bengawan Solo dan Brantas sebagai daerah swatantra atau desa perdikan (sima). Desa-desa di pinggir sungai (naditirapradesa) itu ditetapkan menjadi sima sebagai imbalan atas kewajiban menyeberangkan penduduk dan pedagang secara cuma-cuma. Maklumat raja ini berlaku secara turun-temurun sehingga hak kelola atas perahu penyeberangan menjadi milik penuh dari pemimpin sima dan keturunannya. Desa sima panambangan yang dilokasikan paling hulu adalah Wulayu (nomor urut 44). Oleh karena Wulayu merupakan panambangan terhulu, dapat dipahami apabila sebelum sungai besar ini dinamai "Bengawan Solo", dalam naskah Sunda Bhujangga Manik sebutannya adalah Ci Wulayu. Kini tak lagi dijumpai desa atau dusun bernama Wulayu di DAS Bengawan Solo. Namun, jika menilik bahwa desa sima panambangan Kembu terletak di Karanganyar, yang berbatasan dengan Surakarta, maka amat boleh jadi Wulayu berada di sekitar Kota Solo. Nama kuno lain untuk menyebut Bengawan Solo adalah "Semanggi". Semanggi adalah sebutan baru untuk Wulayu. Toponimi "Semanggi" masih dikenal sebagai nama kelurahan di Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Semanggi merupakan penyeberangan sungai dan sekaligus bandar niaga besar bagi kapal-kapal dagang yang hilir mudik dari Solo ke daerah lain di sepanjang aliran Bengawan Solo hingga ke muaranya di Gresik. Perkembangan daerah Pada masa selajutnya, sejumlah desa panambangan masa Majapahit berkembang menjadi tempat yang penting, baik secara ekonomi maupun politik. Panambangan Ngawi yang berada di tempat strategis pada pertemuan (tempuran) antara Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, misalnya, berkembang menjadi bandar perniagaan sungai besar. Kini Desa Ngawi Purba hanya berupa desa kecil. Di seberang Desa Ngawi Purba berdiri Benteng Van den Bosch (Benteng Pendem), yang dibangun sebagai implementasi dari strategi bentengstelsel (sistem benteng) yang dicanangkan tahun 1827 guna mengantisipasi maraknya perlawanan 29 pangeran dan 41 bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur terhadap Kompeni dalam Perang Jawa (1825- 1830) pimpinan Diponegoro, khususnya terhadap koalisi Ngawi-Madiun. Kronogram yang tertera pada sepasang meriam di muka gerbang benteng bertuliskan "A VOC 1782" dan "D VOC 1792". Fenomena serupa terjadi di panambangan Jipang, yang dalam Prasasti Canggu disebut di nomor urut ke-34. Desa Balun, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, adalah salah satu desa penambangan yang disebut dalam Prasasti Canggu. Toponimi "Sudagaran" mengingatkan pada tempat usaha dan permukiman para pedagang besar (saudagar). Lintas area dan lintas masa Sesuai sebutannya "bangawan" atau "bengawan", secara fisis-alamiah Bengawan Solo adalah sungai besar yang terpanjang di Pulau Jawa. Aliran panjangnya menjadi penghubung antardesa, antarkota, antarprovinsi, bahkan antara daerah pedalaman dan pesisir. Bengawan Solo tidak hanya mampu menjangkau lintas area, tetapi sekaligus lintas masa. Sebagai sungai purba, semenjak ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun yang lalu berbagai peristiwa berlangsung di dalam, di lembah, atau di sekitar daerah alirannya. Apabila sejarah diartikan secara luas sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau, Bengawan Solo dapat diibaratkan sebagai benang panjang yang merajut dinamika sejarah manusia dalam kurun waktu amat panjang dan meliputi berbagai lapis budaya. Drs M Dwi Cahyono MHum Arkeolog pada Universitas Negeri Malang, Jawa Timur Post Date : 07 Juli 2007 |