|
Nusa Dua, Kompas - Meski diakui perubahan iklim sangat berdampak pada kesehatan masyarakat, pendekatan kesehatan masyarakat belum diintegrasikan dalam pembahasan mengenai perubahan iklim. Padahal, bukti-bukti menunjukkan korban penyakit infeksi terus meningkat akibat gelombang panas dan cuaca yang ekstrem. Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Dr Budi Haryanto menegaskan hal ini di sela pertemuan konsultatif regional bagi profesional di bidang kesehatan mengenai Perubahan Iklim dan Kesehatan di Petetinget, Krobokan, Bali. Pertemuan paralel dengan persidangan Konferensi Para Pihak (COP) ke-13 Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) itu juga dihadiri Dr Tony McMichael, ahli epidemiologi dan Australian National University mewakili Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dan Dr John Holdren dari Universitas Harvard, penasihat proses UNFCCC. Menurut Presiden Asosiasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Dr Adang Bachtiar MPH ScD, hasil pertemuan akan disampaikan kepada Ketua Delegasi Indonesia Emil Salim. "Dalam COP-13 ini konsentrasi pembahasan lebih ditujukan pada pengembangan kebijakan dan kegiatan mengurangi emisi gas-gas rumah kaca, dampak ekonomi serta lingkungan," ujar Budi yang berharap kesehatan dibahas dalam COP-14. Bukan faktor eksternal Dalam pertemuan konsultatif tiga hari itu, peserta mengidentifikasi dan menginventarisasi masalah kesehatan terkait dampak perubahan iklim, serta membangun kesamaan pandang dan komitmen dalam upaya penanggulangan dan pengendalian dampak kesehatan akibat perubahan iklim. "Laporan IPCC tahun 2007 menyebutkan masih sedikitnya data terpercaya yang dapat memberikan gambaran mengenai perubahan iklim," lanjut Budi. Padahal, Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) dan WHO mencatat, dari satu juta kematian anak di dunia, 90 persen berada di Afrika karena malaria. Di daerah endemik sub-Sahara Afrika, setiap tahun 25 juta perempuan hamil menderita malaria, 10,5 juta di antaranya terjangkit malaria beberapa kali. Mereka yang terinfeksi HIV lebih mudah terserang malaria. "Di Indonesia jumlah penderita demam berdarah tahun 2007 dua kali lebih tinggi dibanding 2005," ujar Budi. Malaria meningkat tajam, juga diare dan leptospirosis yang dibawa oleh kencing tikus. Lingkungan yang sudah diperbaiki tidak serta-merta membendung penyakit yang menyebar karena hubungan lingkungan dan penyakit tidak linier. Ia berharap, seluruh mekanisme mengurangi emisi gas rumah kaca seharusnya mengintegrasikan masalah kesehatan di dalamnya. "Program sertifikasi produk, misalnya, jangan hanya dikaitkan dengan kualitas barang, tetapi dengan prosesnya, termasuk dampak proses pembuatannya pada kesehatan masyarakat," tegas Budi. (MH) Post Date : 12 Desember 2007 |