Belum Terapkan Saniraty Landfill

Sumber:Indopos - 29 Februari 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

KEDIRI - Sistem pengolahan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Klotok, ternyata, belum menerapkan sanitary landfill. Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kota Kediri baru menggunakan sistem open dumping. Yakni, membalik sampah sebelum kemudian diuruk.

Hal inilah yang mengakibatkan bau busuk sampah selalu menyengat hingga ke pemukiman warga. Terutama saat tumpukan sampah dibalik sebelum diratakan. "Kalau menggunakan sanitary landfill, sampah tidak akan bau, lalat juga tidak ada," ujar Asisten II Sekkota Saiful Muslimin saat ditemui Radar Kediri di gedung DPRD kemarin.

Menurut mantan pejabat DKLH yang pernah mendapat pendidikan khusus tentang pengolahan sampah ini, pengurukan sampah yang tidak dilakukan setiap hari akan mengundang lalat untuk mengerubutinya. Ini berbeda dengan sistem sanitary landfill. Yaitu, meratakan sampah kemudian menutupnya dengan tanah liat dan kerikil yang dilakukan setiap hari.

Dengan sistem ini, lanjutnya, TPA juga dibagi dalam beberapa zona di mana penggunaan zona dilakukan secara bergantian. Seperti di TPA Klotok sekarang yang dibagi menjadi empat zona. Dengan sistem sanitary landfill, masing-masing digunakan bergantian.

Sampah yang masuk langsung diratakan, kemudian ditutup dengan tanah liat dan kerikil. Esoknya, berpindah ke zona yang lain. Ini dilakukan setiap hari. Berbeda dengan sistem open dumping yang pengurukannya belum tentu setiap hari. "Inilah yang menyebabkan bau karena sampah yang dibalik tidak segera diuruk," terang Saiful.

Makanya, dia berpendapat, untuk mengatasi problem pencemaran di TPA Klotok, pemkot harus menerapkan sistem sanitary landfill jika tidak ingin merelokasinya. Walaupun, membutuhkan biaya yang mahal.

Lalu, bagaimana dengan masuknya air lindi (air sampah) ke sungai yang digunakan oleh warga? Saiful mengatakan, saat dibangun 1991, TPA Klotok sebenarnya sudah dilengkapi dengan saluran limbah yang ada di sekeliling pagar. Jika masih terjadi kebocoran dan air lindi tidak masuk ke saluran, berarti harus dilakukan perbaikan. "Khususnya pada saluran yang ada di bagian bawah pagar," katanya.

Namun, lanjut Saiful, agar bisa menahan tekanan tanah, pagar saja tak cukup. Masih diperlukan tembok penahan tanah. "Jenisnya ada dua, yaitu gravitasi dan retaining wall," lanjutnya. Struktur tembok gravitasi dibuat agar mampu menahan berat tekanan tanah. Semakin tinggi tembok, semakin kuat tekanan yang bisa diterima.

Sedangkan tipe retaining wall terbuat dari beton keseluruhan. Tembok jenis ini, meskipun tipis, bisa menahan tekanan tanah akibat pengurukan sampah yang berulang-ulang. "Walaupun mahal, jika tembok ini yang dipakai, pagar TPA tidak akan ambrol," jelasnya. Karena itu, pemkot harus menimbang antara jumlah biaya dan alternatif yang ada.

Ditemui Radar Kediri di kantornya, Kepala DKLH Rachno Irianto mengakui bahwa pengolahan sampah di TPA Klotok belum menerapkan sanitary landfill dan baru memakai open dumping. Alasannya, anggarannya tidak cukup. "Kami perlu membiayai program lainnya," katanya.

Selain itu, sambung Rachno, DKLH juga tidak mempunyai sumberdaya manusia (SDM) yang cukup. Untuk mencetak pegawai yang menguasai sistem sanitary landfill, pemkot harus menyelenggarakan diklat khusus.

Meski demikian, Rachno mengatakan bahwa pihaknya tidak berpangku tangan terhadap persoalan yang terjadi di TPA Klotok. Awal 2006, DKLH pernah mengajukan anggaran Rp 5 miliar untuk pengembangan lokasi TPA. Tetapi, hal itu urung dilakukan karena tidak disetujui tim anggaran. (ut/hid)

 



Post Date : 29 Februari 2008