|
BANTUL (KR) - Belum semua pasar tradisional di Bantul memiliki Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang memadai, sehingga pengelolaan sampah di pasar menjadi tidak optimal. Akibatnya, tumpukan sampah yang sudah bertahun-tahun menggunung menimbulkan bau yang tidak sedap di lokasi pasar. Untuk meminimalisasi tumpukan sampah di pasar-pasar tradisional, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kebersihan dan Pertamanan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bantul meminta kepada semua pengelola pasar untuk mengajukan permohonan pelayanan pengelolaan sampah. "Seperti yang terjadi di Pasar Pleret, pengelola pasar belum pernah meminta pelayanan pada kita, jadi kita anggap sudah bisa mengelola sampahnya sendiri. Tapi ternyata sejak 25 tahun lalu sampah dari pasar hanya ditumpuk di tengah pasar sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Apalagi jika musim hujan akan mengeluarkan air resapan yang sangat mengganggu," terang Kepala UPTD Kebersihan dan Pertamanan, Sudarsono SE, Rabu (8/3). Untuk membongkar tumpukan sampah di Pasar Pleret tidaklah mudah, harus menggunakan alat berat semacam bulldoser sebab volume sampah mencapai puluhan rit jika diangkut dengan truk pengangkut sampah. Namun sampai saat ini pihaknya masih kesulitan mendapatkan pinjaman alat berat tersebut. Jika sudah mendapatkan pinjaman alat tersebut, sampah dapat dikeruk dalam waktu 1 hari yang kemudian dimasukkan dalam 4-5 armada truk untuk dibuang ke TPA Piyungan atau bisa dikelola sebagai pupuk. Dikatakannya, jika pengelola pasar tidak meminta pelayanan pengelolaan sampah kepada UPTD dianggap sudah bisa mengelola sampahnya sendiri. Sebab, UPTD tidak bisa mengecek satu per satu pengelolaan sampah di pasar tradisional karena terbentur pada keterbatasan armada serta pelayanan pengelolaan sampah-sampah di pemukiman umum. Seperti di pasar Dlingo, karena lokasi jauh dan di daerah tersebut disediakan lahan untuk TPS maka pasar tersebut tidak terjangkau oleh armada UPTD. "Agar dapat terjangkau armada UPTD memang harus disediakan akses jalan masuk untuk mengangkut sampah dan TPS di lokasi. Kalau untuk retribusinya masuk di Dipenda, kita hanya melayani pengelolaan sampahnya. Karena terletak di tengah pasar untuk mengangkut sampah di Pasar Pleret kita juga kesulitan karena harus membongkar beberapa kios," terangnya. Untuk meminimalisasi permasalahan sampah di Bantul, menurut Sudarsono, membutuhkan koordinasi dengan instansi terkait karena selama ini masalah sampah banyak terjadi di daerah perbatasan. Namun menyadari sempitnya lahan, kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah meningkat. Banyak dari warga perumahan di kecamatan Sewon, Banguntapan, Kasihan dan Piyungan meminta pelayanan dari UPTD. Menurutnya untuk menunjang pengelolaan sampah di Bantul Perda No 10 Tahun 2000 tentang sampah juga harus dikaji ulang, terutama soal retribusi. Disebutkan, untuk perumahan setiap bulannya dikenakan Rp 3.000/KK yang menurutnya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Idealnya setiap bulan dikenakan Rp 5.000/KK. (*-10)-d. Post Date : 11 Maret 2006 |