|
Jakarta, Kompas - Mengolah sampah organik menjadi energi listrik dengan teknologi thermal converter tampaknya belum dilirik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, jika seluruh sampah kota di Indonesia sebanyak 11.330 ton per hari diolah, energi listrik yang dibangkitkan bisa mencapai 566,6 megawatt. Dengan mengolah sampah menjadi energi listrik, sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) menjadi berkurang. "Sampah selama tiga hari langsung bisa dikonversi menjadi listrik. Lahan yang digunakan hanya setengah lapangan bola. Pembangunan pertama bahkan sudah dilakukan di Sidoarjo. Kami ingin mengusulkan ke DKI Jakarta, namun belum mempunyai akses ke Gubernur Sutiyoso," kata alumnus Pertambangan ITB, Rudy, di sela-sela talk show "Sampah dan Solusinya" yang diselenggarakan Ikatan Alumni ITB Angkatan 69, Rabu (25/5). Energi listrik itu lalu bisa dijual ke PLN. "Namun, kontrak dengan PLN harus jangka panjang," kata Rudy. Menurut alumnus Pertambangan ITB, Ladjiman Damanik, gas CH4 atau metana di TPA bisa lepas ke atmosfer secara tidak terkendali dan menimbulkan ledakan. Emisi metana bisa direduksi dengan cara menangkapnya sebagai bahan bakar. "Dengan thermal converter, sampah dibakar hingga 1.700 derajat Celsius. Ini juga sudah diuji coba di Cirebon," kata Ladjiman. Mantan Dekan FTSP ITB Enri Damanhuri mengatakan, sampah per 1.000 ton sebenarnya hanya menghasilkan 4-5 megawatt, lain dengan hitungan investor yang mencapai 20 megawatt. "Akhirnya, para investor lari semua," katanya. Menurut Sri Bebassari, pakar sampah dari BPPT, belum adanya undang-undang tentang sampah juga menyulitkan. Sejak UU digagas beberapa tahun lalu, sampai sekarang UU itu masih berupa draf akademis di Kementerian Lingkungan Hidup. "Di Jepang, aturan sampah dibuat oleh 16 menteri," katanya. (IVV) Post Date : 26 Mei 2005 |