|
PERSOALAN yang mencekik Jakarta terus bertambah dari hari ke hari, tetapi penyelesaiannya sangat lamban. Persoalan seperti bertambah dengan deret ukur, sedangkan solusi merangkak seperti deret hitung. Bahkan, untuk sejumlah perkara, mandek. Sebut saja soal kemacetan lalu lintas, pedagang kaki lima, pengamen di bus kota dan peminta-minta di jalan yang meneror. Belum lagi premanisme yang menggertak di mana-mana. Belum semua itu teratasi, sekarang ada masalah baru yang amat mengkhawatirkan, yaitu ekspansi luar biasa dari ojek. Bersama dengan pedagang kaki lima, mereka menjadi kekuatan yang merampas badan jalan. Solusinya? Mandek. Sebagai Ibu Kota Republik Indonesia, apa yang bisa dibanggakan dari Jakarta? Apakah Jakarta hanya kawasan Sudirman-Thamrin yang semakin bersolek? Tentu tidak. Jakarta tidak bisa menjadi kebanggaan warga dan juga bangsa hanya karena gedung bertingkat dan air mancur yang sering macet. Jakarta masih terlalu jorok untuk dibangga-banggakan. Salah satu yang sulit dibanggakan adalah soal sampah. Pemprov DKI sudah bertahun-tahun tidak mampu mengatasi masalah sampah. Di Bantar Gebang, Bekasi, sampah-sampah dari DKI diboikot. Para pejabat DKI dan Pemprov Jawa Barat bertikai soal ganti rugi dan kompensasi. Tetapi, yang lebih memicu adalah mentalitas jorok. Sekarang muncul lagi persoalan sampah di Bojong, Kabupaten Bogor. Pada November 2004, terjadi bentrok antara polisi dan penduduk Bojong yang menolak wilayah mereka dijadikan tempat pengolahan sampah terpadu. Untuk membedakan Bantar Gebang dan Bojong, Pemprov menggunakan istilah sopan. Kalau Bantar Gebang dikatakan sebagai tempat pembuangan sampah, Bojong dikatakan sebagai tempat pengolahan sampah. Bagi penduduk, baik di Bantar Gebang maupun Bojong, kedua kata itu tidak banyak bedanya. Pembuangan atau pengolahan sampah tetap saja jorok karena baunya yang menusuk hidung. Tentu sangat ironis karena Pemprov Jakarta sampai sejauh ini belum juga menemukan cara pengelolaan sampah yang bisa diterima penduduk dan dipertanggungjawabkan secara teknologi. Padahal, setiap tahun selalu saja ada anggota DPRD atau pejabat DKI yang berstudi banding ke luar negeri. Tidak bisakah mereka meniru negara lain yang sukses mengolah sampahnya? Sampah di DKI menjadi barang yang ditolak di mana-mana karena dikelola dengan kejorokan yang tidak tertandingi dari dulu sampai sekarang. Karena itu ketika ada teknologi menjanjikan kecanggihan tertentu, rakyat tidak percaya. Bagaimana percaya kalau truk-truk sampah dari Jakarta menebar bau busuk sepanjang jalan? Bagaimana dipercaya kalau jalan-jalan menuju tempat pembuangan sampah begitu sempit dan rusak parah sehingga truk meneror warga dengan bau busuk? Kalau pemerintah daerah tidak jorok, buktikan dengan membangun jalan bebas hambatan ke Bojong dan Bantar Gebang. Teknologi pengolahan sampah tidak akan mengubah kejengkelan publik selama mentalitas jorok tidak berubah. Itulah yang terjadi dengan sampah Jakarta. Post Date : 09 Agustus 2005 |