|
TERIK matahari terasa membakar kulit saat berdiri di areal terbuka Tempat Pemusnahan Akhir Sampah Bantar Gebang, Bekasi, akhir Mei lalu. Bau busuk menyeruak dari timbunan sampah yang dicurahkan begitu saja dari truk-truk sampah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau Bekasi. Air limbah berwarna hitam pekat dan berbau mengalir ke jalan-jalan beton dari timbunan sampah yang menggunung. Bahkan, sampai merembes ke kali yang ada di sekitar lahan pembuangan sampah seluas 108 hektar yang sudah berusia 15 tahun itu. Ribuan-bahkan mungkin puluhan ribu-lalat beterbangan kian kemari. Dalam lingkungan buruk seperti itulah 19 warga yang masih satu keturunan bertahan hidup. Praktis, belasan tahun mereka harus hidup di antara gunungan sampah dan lingkungan becek, menghirup udara berbau busuk, dan meminum air yang terkontaminasi limbah cair! Keberadaan Nenek Enyih (katanya sudah 100 tahun) beserta anak-anak, menantu, cucu, dan buyutnya itu sebenarnya juga diketahui warga lain. Bahkan, mereka juga mendapat pelayanan pendidikan, kesehatan, dan berbagai layanan lain dari pihak aparat Desa Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang. Ihwal pemerintah setempat juga pernah mengusulkan agar mereka dipindahkan. Sayangnya, Pemprov DKI waktu itu menyatakan belum mempunyai rencana membebaskan lahan yang masih dihuni empat keluarga itu. Enyih dan anak-anaknya pun menolak untuk dipindahkan dengan alasan sulit mendapatkan tempat baru yang lebih baik. Kondisi seperti itu terus berlangsung bertahun-tahun. Sampai akhirnya Wali Kota Achmad Zurfaih mendapat informasi mengenai keberadaan mereka. Ia pun meminta Pemprov DKI membebaskan lahan seluas 2,5 hektar yang selama ini mereka tempati. Sebab, ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup di antara bau busuk sampah yang pengelolaannya sampai saat ini masih dikeluhkan oleh warga sekitar. TIDAK mudah mencari rumah yang ditinggali Ny Enyih dan anak-anak serta cucu dan buyutnya meski sudah diketahui lokasinya di Zona III. Sebab, timbunan sampah yang menggunung setinggi 10 meter lebih menghalangi pemandangan di areal sangat luas. Ternyata lingkungan kecil mereka tidaklah seburuk yang dibayangkan, meski dari sisi kesehatan sungguh bisa sangat berbahaya. Udaranya masih sejuk terlindung pepohonan seperti durian, rambutan, nangka, pisang, dan pepaya yang hampir memenuhi seluruh pekarangan. Bunga-bunga kopi menebarkan sedikit aroma harum. Lumayan untuk sedikit "memerangi" bau busuk dari timbunan sampah dan limbah cairnya. "Pohon kopi itu sudah ada sebelum tempat ini jadi buangan sampah. Baunya harum sekali. Kalau tidak kuat bau busuk, ya ambil saja bunga itu," ujar Reni (80-an), anak pertama Enyih. Tiga rumah tua yang terbuat dari kayu dan satu rumah berdinding tembok yang cat luarnya sudah pudar berdiri di antara kebun kopi. Sungguh tempat yang asri ketika kita sudah sampai di pekarangan mereka. "Sekarang sudah tidak terlalu bau lagi karena sudah ditutup dengan tanah merah. Kalau dulu, bau sampah membuat saya sering seharian tidak nafsu makan," tutur Enyih yang memiliki lima cucu dan dua buyut ini. KEBERADAAN Enyih dan anak cucunya itu bermula karena mereka menolak dipindahkan ketika lahan yang ditinggalinya akan menjadi bagian dari TPA Bantar Gebang. Lahan yang digunakan untuk membangun TPA Bantar Gebang itu dulunya kebanyakan bekas galian tanah merah yang digunakan untuk berbagai kepentingan pembangunan rumah atau gedung. Selain itu, ada juga sawah-sawah dan perkampungan warga. Sebagian besar warga memang bersedia dipindahkan dengan menerima ganti rugi yang ditawarkan Pemprov DKI atau tukar guling. Namun, suami Enyih bertahan. "Ganti ruginya Rp 5.000 per meter persegi. Lebih mahal dari tanah orang. Tetapi suami saya tidak mau. Apalagi saat itu baru bangun rumah," kata Enyih. Meski dibujuk-bujuk-bahkan juga dipaksa-paksa-Enyih dan keluarganya tetap bertahan. Mantan Lurah Sumur Batu, Dandi, mengatakan, berbagai upaya untuk membujuk keluarga tersebut sudah dilakukan, tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil. "Mereka tetap bertahan tidak mau dipindahkan. Pernah mau dipaksa lewat jalur hukum, tapi enggak jadi. Apalagi mereka mengaku siap dengan segala risiko hidup di dekat sampah. Ya sudah, mau apa lagi," kata Dandi. Gunungan sampah yang mengelilingi rumah Enyih memang sebagian sudah ditutup tanah merah yang ditumbuhi rumput. Bau busuk juga tak terasa menyengat jika dibandingkan dengan area di luar "perkampungan itu". "Saya terserah anak-anak, maunya bagaimana. Paling hidup saya tidak lama lagi. Saya cuma minta, kalau pindah, ya harus dapat tempat yang persis sama seperti yang sekarang. Tanah luas, banyak pohon, dan teduh. Tetapi kan susah dapat tanah seperti ini," kata Enyih pelan. NY Enyih dan anak cucunya mungkin benar. Tidak mudah mencari tempat baru seperti yang diinginkan dengan modal ganti rugi lahannya sekarang. Akan tetapi, membiarkan mereka hidup terkepung gunungan sampah selama belasan tahun juga tidaklah bijaksana. Karena itu, pemerintah setempat tetap berkewajiban mencarikan solusi untuk mereka supaya bisa hidup lebih layak. Boleh saja Enyih dan anak cucunya merasa semuanya baik-baik saja meski harus tinggal di antara timbunan sampah dengan segala dampak ikutannya. Akan tetapi, siapa yang menjamin mereka hidup sehat? Sepintas, air sumur yang mereka konsumsi memang terlihat jernih, tetapi siapa yang bisa menjamin tidak mengandung zat-zat berbahaya? "Banyak pemulung yang juga mandi dan mencuci di sumur itu. Mereka itu suka jorok. Masa mencuci kaleng yang baunya minta ampun di ember untuk menimba. Ada juga bangkai yang sampai masuk sumur. Air jadi bau," kata Enyih. (Ester Lince Napitupulu) Post Date : 02 Juni 2004 |