Belajar Menjaga Bumi dari Robot

Sumber:Majalah Gatra - 27 Agustus 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Bumi, 700 tahun mendatang. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi. Sekilas, mereka terlihat megah, walau tak gemerlap. Ketika dilihat dari dekat, ternyata pencakar-pencakar langit itu tersusun dari balok-balok sampah padat.

Di antara gedung-gedung itu, bertebaran tumpukan sampah aneka barang. Di sana, tampak sesosok benda kotak bergerak kian kemari. Dia adalah WALL-E, robot pembersih sampah bertenaga matahari.

Tugas WALL-E memilah-memilah sampah, memasukkannya ke perut untuk dipadatkan menjadi balok sampah. Lalu WALL-E menumpuk balok-balok ini hingga menjadi gedung pencakar langit. Dia bekerja sendirian selama ratusan tahun, karena hanya WALL-E dan seekor kecoak yang masih bertahan di bumi. Semua penduduk bumi lainnya memilih hengkang ke luar angkasa ketika planet biru ini penuh tertutup sampah.

Suatu hari, rutinitas WALL-E terganggu oleh kedatangan pesawat luar angkasa raksasa. Sesosok robot putih mengilap berbentuk telur keluar dari badan pesawat. Robot bernama EVE ini bertugas memeriksa apakah sudah ada makhluk hidup lagi di bumi.

Kehadiran EVE menjungkirbalikkan dunia WALL-E yang selama ini hanya punya teman sang kecoak. Saking penasaran pada makhluk baru itu, WALL-E melupakan pekerjaan utamanya dan diam-diam mengikuti ke mana pun EVE terbang.

Aksi ini membawa WALL-E terbang ke luar angkasa menuju Axiom, pesawat pesiar super-raksasa yang dihuni penduduk bumi. Di sini, semua manusia memakai seragam sama, hanya beda warna berdasarkan jenis kelamin. Wajah mereka nyaris serupa, karena semuanya bertubuh sangat tambun.

Setelah 30 menit nyaris tanpa dialog sekecap pun, adegan di Axiom menandai berlangsungnya percakapan dalam film sepanjang 103 menit ini. Keramaian yang berlangsung di Axiom terasa begitu kontras dengan kesunyian bumi.

Seperti film-film animasi PIXAR lainnya, gambar indah dan fantastis juga tampak di sepanjang film yang digagas sejak 1994 oleh sutradara dan penulis skenario Andrew Stanton ini. Lihat saja keindahan aneka planet, bintang, dan galaksi yang mengundang decak kagum. Lihat juga arsitektur Axiom yang terbilang sempurna menyajikan imajinasi kehidupan masa depan.

Pujian patut diberikan kepada para animator PIXAR. Mereka sukses memberikan kepribadian kepada para robot di WALL-E. Alhasil, sosok WALL-E --dan robot-robot lain-- tampil sangat ekspresif, meski tanpa dialog. Kebahagiaan, kesedihan, kesepian, bahkan kejailan WALL-E bisa terlihat dari bahasa tubuh dan kedua mata yang terbuat dari lensa video.

Tak mengherankan bila adegan 30 menit tanpa dialog ala film bisu zaman dulu malah menjadi salah satu keunggulan WALL-E. Walau tanpa kata-kata, anak-anak yang terbiasa dengan suara dan adegan seru film aksi tetap bisa menikmati. Selain karena kekayaan emosi yang ditampilkan, kekuatan karakter pada WALL-E juga didukung sound effect yang mengagumkan.

Dari sisi cerita, lagi-lagi WALL-E menjadi bukti pembeda PIXAR dengan studio animasi lainnya, seperti Dreamworks (pembuat film serial Shrek). Film-film PIXAR lebih memilih mengusung materi kebenaran universal daripada guyonan bernuansa kultural atau etnis.

Statemen WALL-E menentang konsumerisme begitu kuat dan efektif. Mereka mencoba membangkitkan kesadaran para penonton, terutama generasi muda, tentang kerusakan lingkungan yang bakal terjadi di bumi bila budaya konsumtif yang kini menjangkit tak segera dihentikan.

Pesan seperti ini tercatat sebagai terobosan baru dalam sejarah film animasi. Sebab, sejak beberapa tahun terakhir, ada kesamaan skenario dalam film animasi buatan Hollywood, yaitu: “kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu inginkan”. Bahkan film animasi terbaru dari Dreamworks, Kung Fu Panda, masih dibalut skenario seperti ini.

Dengan segala kelebihan itu, WALL-E, yang mencatat rating 97% fresh dari situs kritik film terkemuka RottenTomatoes, diyakini akan masuk nominasi film terbaik pada ajang Oscar 2009. Astari Yanuarti



Post Date : 27 Agustus 2008