|
BANTAR GEBANG adalah sumber rezeki bagi banyak orang. Pemulung, berbagai tingkat pedagang pengumpul, sopir truk yang bekerja sama dengan pemulung, pengusaha pengguna bahan daur ulang, hingga kontraktor dan subkontraktor pengolahan sampah memperoleh penghidupan dari Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang. Tentu pejabat, birokrat, atau resminya kas daerah, belum dihitung sebagai peraih keuntungan dari bisnis sampah ini. LAHAN cekungan seluas 108 hektar di Desa Cikuwil, Ciketing Udik, dan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, ini sudah dimanfaatkan menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah DKI Jakarta sejak tahun 1989. Anehnya hingga saat ini berbagai persoalan teknik maupun manajerial kawasan terus membelit Bantar Gebang. "Pada zaman Orde Baru, Bantar Gebang itu seperti kerajaan, negara dalam negara, sama sekali tidak ada akses untuk masuk ke sana," kata Ketua Tim Pengelolaan TPA Bekasi Tjandra Utama. Bersama gelombang reformasi tahun 1998-1999, berbagai kalangan, termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar TPA, mulai meneriakkan keluhan pencemaran akibat salah urus sampah di Bantar Gebang. Gangguan bau busuk dan asap bahkan pernah mencapai radius 15 kilometer dari lokasi TPA. Rembesan cairan hasil pembusukan sampah yang biasa disebut lindi teridentifikasi mencemari air tanah hingga sungai. Pencemaran pada air tanah, misalnya, disebabkan oleh kandungan bakteri e-coli dan logam berat. Pencemaran tersebut diakibatkan pengelolaan sampah yang tidak mengacu secara ketat pada sistem sanitary landfill, seperti direncanakan semula. Sanitary landfill adalah sistem pengelolaan sampah yang mengembangkan lahan cekungan dengan syarat tertentu, antara lain jenis dan porositas tanah. Dasar cekungan pada sistem ini dilapisi geotekstil. Lapisan yang menyerupai plastik ini menahan peresapan lindi ke tanah. Di atas lapisan ini, dibuat jaringan pipa yang akan mengalirkan lindi ke kolam penampungan. Lindi yang telah melalui instalasi pengolahan baru dapat dibuang ke sungai. Sistem ini juga mensyaratkan sampah diuruk dengan tanah setebal 15 cm tiap kali timbunan mencapai ketinggian dua meter. Kenyataannya, pengurukan tanah sangat bermasalah. Ketika Bantar Gebang masih menyerupai "kerajaan", sampah bisa dicurahkan begitu saja hingga menggunung tanpa urukan yang memadai. Panas yang tinggi karena kandungan gas metan membuat timbunan sampah mudah terbakar, sementara saluran drainase tersumbat. Keterbatasan dana menjadi alasan yang digunakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ketika itu untuk menjelaskan hambatan penerapan sanitary landfill secara konsekuen di TPA itu. Sanitary landfill memang sistem pengolahan sampah yang mahal. Penyediaan tanah untuk urukan juga menjadi masalah tersendiri. Untuk mengatasi kekacauan yang terjadi, sekaligus mengakomodasi tuntutan reformasi ketika itu, dibuatlah perjanjian kerja sama pertama antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi mengenai pengelolaan TPA Bantar Gebang pada 31 Desember 1999. Melalui perjanjian itu, pengelolaan TPA diharapkan menjadi lebih baik sehingga pencemaran teratasi. "Kondisi pengelolaan Bantar Gebang baru mulai membaik sekitar 2002 lalu. Tapi hingga saat ini pun sanitary landfill tidak benar-benar diterapkan di Bantar Gebang oleh DKI," kata Tjandra. "Pengolahan di sana lebih tepat disebut controlled landfill." Keterbatasan penerapan sanitary landfill ini diakui oleh Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Selamat Limbong. Namun, ia mengingatkan tim peneliti gabungan dari Universitas Indonesia dan Universitas Islam Empat Lima (Unisma) Bekasi untuk menilai Bantar Gebang masih dapat dimanfaatkan secara teknis selama 470 hari sejak akhir 2003 dengan ketinggian dan kapasitas buangan tertentu. Meskipun begitu, Limbong mengatakan, kebutuhan menerapkan teknologi pengolahan sampah yang lebih baik sudah mendesak bagi Jakarta. "Pada masa mendatang, DKI tidak lagi berencana melakukan penanggulangan sampah dengan sanitary landfill besar-besaran seperti di Bantar Gebang," kata Limbong. "Kita harus meninggalkan cara itu dan menggunakan teknologi yang lebih modern." KEMELUT di Bantar Gebang memanas lagi bertepatan dengan pergantian tahun ini. Akibatnya, peralihan teknologi pengelolaan sampah yang direncanakan DKI Jakarta tak berjalan mulus. Keputusan Bersama yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih, 22 Desember 2003, diartikan secara bertolak belakang oleh kedua pemerintah daerah ini. Post Date : 10 Januari 2004 |