Belajar dari Banjarsari

Sumber:Kompas - 11 November 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Memasuki Kampung Banjarsari yang berada di pusat kota, rasanya tidak seperti di Jakarta. Perkampungan yang dihuni oleh 938 warga itu terasa asri. Ribuan tanaman tertata di halaman dan di dalam pot. Di kampung itu juga tidak tampak sampah bertebaran di mana-mana karena semuanya dipilah-pilah dengan rapi. Sampah organik dijadikan kompos dan sampah kertas diolah menjadi kertas daur ulang.

"Kami tidak pernah mewajibkan warga menanam tanaman di depan rumah masing- masing. Itu kesadaran sendiri. Biayanya juga dari iuran sendiri," kata Noerdjaja, Ketua RW 08, Kampung Banjarsari, Kelurahan Cilandak, Jakarta Selatan.

Walaupun kawasan ini tidak dilanda banjir, mereka dengan sadar menyediakan sebagian lahan mereka untuk resapan air. "Kami sadar, perumahan kami berada di kawasan selatan yang berfungsi sebagai daerah resapan air untuk Jakarta," kata Agustin Riyanto, pengurus Komite Lingkungan Kampung Banjarsari.

Contoh lain kemandirian masyarakat dalam antisipasi banjir adalah Kelurahan Kebon Baru, Kampung Melayu, Jakarta Selatan. Secara geografis, wilayah Kebon Baru memang termasuk kawasan yang letaknya paling rendah. Setiap hujan lebat di daerah Bogor, Depok, dan sekitarnya, rumah-rumah di Kebon Baru terendam.

Selama puluhan tahun, warga Kebon Baru terpaksa mengungsi setiap kali tinggi permukaan air di Bendungan Katulampa atau Depok naik tinggi. Namun, sejak tahun 2001, mereka bisa tersenyum lega. Hujan sebesar apa pun di Bogor tidak lagi dapat merendam rumah mereka. Dengan embung-embung kecil dan alat pompa bantuan pemerintah, mereka bisa mengatasi banjir secara mandiri.

Setiap hujan turun, warga secara mandiri memonitor tinggi muka air di Depok dan Bogor. Jika air sudah tinggi, pintu air yang kebetulan tepat berada di depan kawasan tempat tinggal mereka lalu ditutup. Hujan dan luapan air sungai akan masuk ke embung-embung kecil yang mereka buat sendiri. Air itu lalu dipompa keluar dengan alat pompa bantuan pemerintah dan dibuang kembali ke sungai.

Pendi, seorang warga, mengatakan, jika musim kemarau, warga bergiliran merawat pompa air itu. Itu sebabnya, pompa berusia enam tahun itu masih tampak seperti baru. "Warga sadar betul pompa itu penting. Kami telaten merawatnya," kata Pendi.

Kesadaran membangun embung penampung air juga akhirnya diikuti dengan kesadaran menjaga kebersihan. Pompa air yang susah payah dirawat warga itu sering macet karena ada sampah yang tersangkut pada mesinnya.

"Kalau sudah kena sampah, susah payah kami membersihkannya. Itu sebabnya, sekarang warga sadar tidak membuang sampah ke sungai," ujar Pendi yang juga Ketua RT 03 RW 01 itu.

Di Perumahan Nusa Indah, Jatiasih, kesadaran warga juga membuat banjir berhasil ditangani. Warga perumahan ini, menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio, menghibahkan satu bangunan kepada negara untuk dijadikan posko banjir.

Warga di wilayah ini merasa terbantu dengan berbagai upaya normalisasi sungai yang dilakukan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane.

Banjir besar pada 1996 membuat 358 mobil terendam. Namun, berkat upaya warga, banjir yang datang pada Februari 2007 tidak membuat satu mobil pun terendam. "Empat jam sebelum datang, mobil sudah disimpan di jalan," kata Pitoyo.

Tentu saja, upaya warga di beberapa wilayah ini tidak otomatis akan mengatasi banjir di Jakarta. Namun, bayangkan seandainya seluruh warga Jakarta hingga Bogor yang berada di kawasan hulu memiliki kesadaran yang sama dengan warga Banjarsari atau warga di daerah banjir berusaha memperbaiki lingkungannya. Barangkali tata air di Jakarta bisa diperbaiki: ketersediaan air bersih akan memadai dan banjir bisa diminimalkan.

Modal pemerintah

Ahli tata kota Marco Kusumawijaya mengatakan, sejak zaman Belanda sampai sekarang, sifatnya selalu membangun infrastruktur daripada melakukan konservasi lingkungan. Padahal, masalah banjir di Jakarta tidak bisa dipisahkan dengan konservasi. Selain banjir, Jakarta juga dihadapkan pada kesulitan air bersih. Kedua hal ini bermuara pada kerusakan kualitas tanah di Jakarta.

Modal pemerintah untuk mengatasi banjir harusnya tidak saja didasarkan pada pembangunan infrastruktur skala besar dengan dana bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Aturan yang konsisten, misalnya dengan mewajibkan pembangunan sumur resapan dan penerapan koefisien bangunan, juga bisa menjadi model penanggulangan banjir. "Tetapi, ini tidak menarik karena tidak menjadi sumber uang, sumber korupsi. Padahal, ini yang berkelanjutan," kata dia.

"Jika semua warga muncul kesadaran untuk mengelola lingkungan dengan membuat area resapan, kualitas tata air di Jakarta pasti bisa dibenahi. Pemerintah harusnya mengambil peran untuk mendorong munculnya kesadaran warga agar berpartisipasi. Jangan hanya berorientasi membuat proyek-proyek besar yang tak pernah terwujud," kata Marco menambahkan. (AIK/RIE)



Post Date : 11 November 2007