|
TPA Burangkeng menjadi satu-satunya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah warga Kabupaten Bekasi. Tapi, sampah di tempat tersebut tak dikelola dengan baik. Maimunah (45 tahun) siang itu hanya duduk-duduk di atas dipan bambu depan rumahnya di RT 5/5 Kampung Ciketing Udik, Desa Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang. Dipan yang berada persis di belakang warung kelontongnya itu dulu ramai oleh para tetangga. Sembari ngobrol, para tetangga menyantap masakan Maimunah. Namun, ketika Republika menyambanginya, dipan itu hanya diduduki oleh Maimumah dan seorang tetangganya. Itu pun tidak ditemani dengan santapan menu khas Maimunah. Melainkan sebatas rumpian. Sesekali Maimunah mengepakkan tangan ke kanan dan ke kiri. Ia berharap hempasan tangan kusutnya mampu mengusir lalat yang mengerubutinya. Tapi, lalat-lalat tersebut tak kunjung pergi. Lalat itu lebih lincah. Di seberang rumahnya, tumpukan sampah selutut orang dewasa menyebarkan bau busuk. Di situlah, rupanya lalat-lalat itu menggantungkan hidupnya. ''Saya harus menutup warung makan saya karena sudah tidak ada lagi yang mau beli. Bagaimana mau beli, bau busuk begini? Kalau saya memaksakan tetap buka, bisa-bisa saya bangkrut,'' ujar Maimunah. Maimunah menuding tumpukan sampah di seberang rumahnya yang menjadi biang langganannya menjauh. Tanah kosong di seberang jalan rumahnya itu digunakan oleh sejumlah sopir pengangkut sampah untuk membuang sampah. Para sopir tidak bisa memasuki TPA Burangkeng karena ditutup oleh warga. ''Akibatnya bau menyengat, lalat pun semakin banyak,'' ujarnya. Maimunah bukan satu-satunya orang yang menjadi korban penutupan TPA Burangkeng. Masih ada Intang (50), pemulung dari Kampung Cinyosog. Ia beserta ratusan pemulung lainnya yang tidak bisa memulung lagi lantaran lapak kerja mereka tak ada lagi. TPA Burangkeng milik Pemkab Bekasi bak tong sampah yang sudah penuh. Luas TPA itu hanya 7,6 hektare, tetapi harus menampung sampah milik seluruh warga Kabupaten Bekasi. Sejak dibuka 15 tahun lalu, TPA Burangkeng tak pernah dipersiapkan secara memadai untuk menopang sanitary landfill. Akibatnya, racun yang ada di tumpukan sampah mencemari air tanah. Kondisinya makin parah karena pengelola TPA Burangkeng tak ada lagi. Buntutnya, warga pun hilang kesabaran karena sampah makin menggunung. Apalagi, sampah sudah menyita tempat lain yang bukan menjadi lahan TPA. Bahkan, hingga ke badan jalan. Air lindi pun kian tak terurus. Limbah yang harusnya di tampung di instalasi pengolahan air sampah (IPAS) sebelum dialirkan ke sungai tersebut dibiarkan mengalir liar ke sungai tanpa proses netralisasi. Melihat hal itu, warga sekitar pun protes dengan cara menutup jalan menuju lokasi TPA. Menurut Mohamad Amin (41), kepala sopir yang juga warga Kampung Cinyosog, Kelurahan Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, penghadangan tersebut dipicu oleh rusaknya beberapa peralatan di TPA Burangkeng. Dari lima peralatan yang ada, yaitu beko (satu buah), loader (dua), dan track (satu), hanya satu beko yang bisa berfungsi. Selebihnya rusak. ''Ada yang rantainya jebol,'' ujarnya. Pengolahan sampah yang sebenarnya menggunakan sistem sanitary landfill, menurut Amin, terbengkalai. Sampah menggunung, air lindi langsung mengalir ke Kali Sasak Kembang. Ketika peralatan sudah diperbaiki dan siap beroperasi lagi warga justru keberatan. Warga memasang portal untuk menghalau truk sampah agar tak bisa masuk. Warga minta TPA ditutup dan ingin bertemu Bupati. Menurut Amin, sejak tiga bulan lalu kantor TPA tidak aktif, padahal ada enam pekerja di tempat itu. Kantor kosong dan hanya dua satpam. Akibatnya, TPA dikuasai oleh preman. Mereka memungut uang kepada tiap sopir sebesar Rp 1.000 sekali masuk. Bahkan, mereka memalak sopir-sopir baru hingga Rp 15 ribu untuk sekali masuk. Menurut M Harun Alrasyid, peneliti Pusat Studi Pembangunan dan Lingkungan (PSPL), faktor utama yang harus dimiliki sebuah TPA adalah tercakupnya 'empat R'.Keempat R tersebut adalah pengurangan (reduce), menggunakan kembali (reuse), menanam kembali (replant), dan mendaur ulang (recycle) dalam sebuah kesatuan. Bila dalam sebuah TPA salah satunya tak tercakup pasti akan muncul masalah. Kesalahan paling fatal dalam pengelolaan TPA, menurut Harun, karena pemerintah sejak awal tidak pernah melibatkan masyarakat. Masyarakat hanya dijadikan objek penderita dan menerima begitu saja setiap kebijakan. Maka, tak mengherankan muncul persoalan. Masyarakat bisa berteriak lantang ketika menuntut. Manaf sama sekali tak pernah melibatkan masyarakat dalam menentukan masa depan TPA Burangkeng. Buktinya, ia malah menyatakan TPA Burangkeng resmi ditutup dengan alasan lokasi TPA Burangkeng yang berjarak hanya beberapa jengkal dari kantor kepala desa Burangkeng tidak cocok. Ia makin yakin begitu terjadi gejolak dan warga sekitar memblokade akses menuju TPA. Manaf optimistis menutup TPA tidak bakal memicu masalah baru. Apalagi, Kabupaten Bekasi memiliki tanah yang luas, sedangkan volume sampahnya masih sedikit. Menurutnya, Bekasi berbeda dengan DKI yang hamparan tanahnya sempit, tetapi volume sampahnya melimpah. Soal kelanjutan lokasi TPA Burangkeng, Manaf memiliki rencana lain. Dia akan mendirikan SMU dan lapangan bola di lokasi tersebut. Menurutnya, rencana tersebut tidak terlalu berlebihan karena kantor kepala desa yang ada di sebelah TPA dulu juga bagian dari TPA. ''Saya sudah instruksikan kepada Kepala Dinas Cipta Karya untuk mendesain SMU dan lapangan bola tersebut,'' ujarnya. Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Bekasi, Yan Abdul Rasyad, menyatakan keberatan dengan rencana Manaf. Ia menilai penutupan tersebut tidak menyelesaikan masalah. Apalagi, bila tak ada lokasi alternatif. Lokasi TPA di Burangkeng sebenarnya sudah baik. Namun, yang menjadi persoalan adalah manajemennya. Selama ini pengelolaan TPA tidak baik sehingga berdampak buruk pada masyarakat sekitar. Dipindah pun tidak akan menyelesaikan persoalan jika pengelolaannya tetap amburadul. ''Bisa-bisa, pemindahan TPA tersebut justru hanya akan memindahkan persoalan,'' jelasnya. Abid Marzuki, tokoh masyarakat Bekasi, meminta agar pemerintah harus jeli dalam merencanakan sesuatu. Ia menilai rencana Manaf hendak menyewa tanah warga dan dijadikan TPA sangat aneh. Sebagai bupati yang masih baru, Manaf sebaiknya tidak lagi asal bicara. Dia harus menunjukkan keseriusannya menangani masalah yang ada di Bekasi. ''Untuk masalah TPA Burangkeng ini, dia harus berpikir ulang terhadap kebijakan kontroversialnya serta secepatnya memberi jawaban pasti, kebijakan seperti apa yang akan benar-benar bisa dilakukannya,'' katanya. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemkab Bekasi, Dadang Mulyadi, membantah penutupan tersebut berlaku selamanya. ''Hanya tidak difungsikan dulu. Saat ini sedang dirapikan. Setelah rapi akan dibuka lagi,'' ujarnya. Jadi, tumpukan sampah yang memenuhi lahan seluas 7,6 hektare itu akan ditata dulu. Saat ini, kata Dadang, Pemkab Bekasi telah menyewa lahan di Lemah Abang untuk dijadikan TPA sementara sebelum TPA Burangkeng resmi dibuka lagi. Menurutnya, untuk menyewa lahan tersebut setiap bulan diperlukan dana Rp 30 juta. ''Tapi, itu sudah habis hanya sebulan. Sekarang kita membuang sampah di TPA Sumur Batu,'' jelasnya. Pemkab Bekasi belum memiliki rencana menyewa lagi lahan untuk pembuangan sampah. Menurut Dadang, untuk membuang sampah di TPA milik Pemkot Bekasi tersebut pihaknya terkena biaya tambahan. Sayang, Dadang tidak merinci jumlah biaya yang dikeluarkan untuk bisa membuang sampah di sana. Menurutya, semua pembiayaan diserahkan pada sopir truk sampah. ''Saya tidak tahu berapa biayanya. Itu sih yang dibawa sopir saja,'' ujarnya. Dadang mengakui sebelumnya memang ada rencana membuat industri pengolahan sampah di Desa Jaya Mulya, Kecamatan Serang Baru. Langkah itulah yang melatarbelakangi penutupan TPA Burangkeng. ''Kalau menurut RTRW (rancangan tata ruang wilayah), memang harusnya dibangun di Jaya Mulya. Tapi, itu masih belum rampung rancangannya,'' tuturnya. Harun mengungkapkan, buka-tutup TPA sama sekali tidak relevan dan justru tidak menyelesaikan masalah. ''Kalau memang muncul persoalan seputar pengelolaan maka penyelesaiannya bukan dengan cara menutup. Namun, dengan mengelola secara lebih baik,'' ujarnya. Menurut Harun, pembukaan TPA tetap menjadi pilihan yang paling masuk akal meski dengan banyak catatan. Kalau perlu, pemerintah cukup menjadi fasilitator dan melibatkan swasta. Inilah yang dimaksud dengan manajemen terpadu. Ancam-mengancam buka-tutup TPA Burangkeng tidak akan pernah menyelesaikan masalah. c03 Sampah Bisa Mengisi Periuk Warga Wakil Bupati Bekasi, Solihin Sari, menyatakan Pemkab Bekasi siap menjalin kerja sama dengan pihak mana pun yang berminat mengelola sampah TPA Burangkeng secara profesional. Ia ingin sampah tak lagi sekadar ditumpuk dan diuruk, tetapi diolah menjadi bahan yang bisa memiliki nilai tambah. Pemkab Bekasi pun kemungkinan akan bekerja sama dengan PT Biozym Pratama. Perusahaan inilah yang akan menyulap semua sampah menjadi barang yang lebih menguntungkan. Investor tersebut hanya menyediakan teknologi untuk mengolah sampah menjadi kompos. Warga sekitar yang akan mengolah sampah tersebut. Dengan demikian, proyek tersebut bisa dijadikan sumber penghasilan bagi penduduk sekitar. Proyek tersebut dijamin sebagai proyek padat karya. Selanjutnya, perusahaan yang akan membeli sampah olahan yang telah menjadi kompos tersebut. Selain menyediakan teknologi, kata Solihin, PT Pratama Biozym juga akan membantu pemasaran dan bersedia melakukan pilot project hasil kompos untuk pertanian dan perikanan. Diperkirakan TPA Burangkeng mampu memproduksi kompos hingga 50 ton per hari. Jumlah kompos tersebut berasal dari 200 ton sampah organik yang tercacah. Sebanyak 200 ton sampah organik tercacah tersebut berasal dari 600 meter kubik sampah organik yang disortir. Sebelumnya, 600 meter kubik sampah tersortir tersebut berasal dari 1.000 meter kubik sampah kota. Ini berdasarkan asumsi bahwa 60 persen sampah kota adalah sampah organik. Menurut Solihin, pada bulan kedua pascapenandatanganan nota kesepahaman (MoU), pilot project akan memulai memproduksi kompos dengan kapasitas 10 hingga 20 ton per hari. Pada bulan ketiga produksi penuh sebesar 50 ton per hari mulai dapat direalisasikan. Baru pada bulan keempat kompos sebanyak 1.500 ton per bulan dapat dipanen. Dengan asumsi harga Rp 200 per kg, kata Solihin, pengolahan sampah tersebut mampu menghasilkan uang sebesar Rp 300 juta. Bila semuanya lancar, total pendapatan hingga akhir tahun bisa mencapai Rp 3 miliar. c03 Post Date : 13 April 2004 |