Bayi Dua Bulan Terpaksa Minum Teh

Sumber:Kompas - 30 Desember 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Wulan Ramadhani, bayi yang lahir prematur dua minggu sebelum Idul Fitri tahun ini selama beberapa hari terpaksa minum teh di tempat pengungsian, GOR Manahan, Solo.

Ibunya, Nunung (20), buruh cuci, dan ayahnya, Suroto (28), kuli angkut telur, akibat banjir tidak bisa bekerja sehingga tidak punya uang untuk membeli susu. "Baru hari ini ia minum susu karena dapat bantuan," ungkap Nunung.

Meski demikian, Wulan terlihat energik. Di atas plastik alas tidurnya, ia memiringkan badan dan matanya mengawasi sekitar.

Nunung tidak sempat membawa baju Wulan. Bahkan, bayinya sempat terapung bersama kasur karena saat air meninggi di rumahnya, di Kampung Belingan, Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Nunung sedang mengambil cucian di rumah tetangga.

Bayi dan anak balita di pengungsian terpaksa tidak minum susu yang menjadi kebutuhan mereka. Mereka juga memakai pakaian seadanya. Pengungsi, khususnya perempuan, kekurangan pakaian dalam dan pembalut.

Banjir yang datang tiba-tiba membuat kaget warga sehingga tidak sempat membawa barang- barang mereka. "Ini pakaian basah tetap saya pakai sejak empat hari lalu," kata Wiji Lestari (38), warga Kampung Pranan, Desa Tegalrejo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.

Warga yang mengungsi di Balaikota, GOR Manahan, atau tempat besar lain tidak terlalu kesulitan karena bantuan datang mengalir.

Lain halnya dengan nasib mereka yang mengungsi di rumah warga yang tidak kebanjiran. "Air minum tidak ada. Kompor rusak, mesin pompa air terendam. Kami terpaksa mengambil air ke tetangga kampung sejauh 1 kilometer," tutur Wiji.

Akhirnya, Sabtu, dua orang yang bersepeda motor membagikan nasi bungkus. Bantuan juga datang dari warga masyarakat lain. Sejumlah ibu dari pengajian Khoirunnissa, Kampung Badran, Solo, membagikan selimut, pakaian pantas pakai, kue kering, pakaian dalam wanita, dan mukena.

Banjir 1966 terulang?

Generasi muda Kota Solo boleh jadi menganggap banjir akibat luapan Bengawan Solo sekadar bencana alam. Namun, tidak demikian bagi warga Kota Solo yang berusia lebih dari 41 tahun. Mereka pernah merasakan banjir lebih besar selama tiga hari akibat luapan Bengawan Solo pada tahun 1966.

Tumini (56), warga Joyontakan, Kecamatan Serengan, duduk di muka gang menuju rumahnya, Sabtu (29/12) siang. Pandangannya tak lepas dari tetangganya yang berupaya menerobos genangan air sebatas pinggang untuk mengambil barang- barang mereka, mulai dari baju hingga sepeda motor.

Rumah Tumini tak jauh dari tanggul Jenes, anak Bengawan Solo yang ambrol pada hari pertama banjir. Banjir yang menerpa sebagian Kota Solo berlangsung mulai Rabu dini hari setelah hujan deras. Air beberapa kali surut sebelum kembali tinggi. Sekitar 20.000 orang atau 4.800 keluarga terpaksa mengungsi, termasuk Tumini.

Tumini bercerita, tahun 1966, dia beserta orangtua dan neneknya terjebak dalam banjir besar. Rumahnya di Kampung Mertodranan terendam banjir. Ia sekeluarga harus menyelamatkan diri di loteng penjemuran pabrik batik dekat rumahnya. Tiga hari dilalui tanpa makan, mereka bertahan dengan minum air banjir.

Kenangan yang tak jauh berbeda juga terlintas dalam pikiran Nyonya Kartono (69), warga Pasar Kliwon; Bambang Murtiyoso (62), warga Gabudan, Joyosuran; maupun Wang Lik (70), warga Kepanjen, Balong. Banjir yang terjadi saat ini nyaris seperti tahun 1966.

Luapan air dari Bengawan Solo pada 15-17 Maret 1966, merendam tiga perempat bagian Kota Solo, serta sebagian Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo, dan Klaten, tak mudah terlupakan. Kompas (22 Maret 1966) memberitakan, sekitar 300.000 jiwa penduduk Kota Solo dan Sukoharjo terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Korban tewas tercatat 74 orang.

Banjir tersebut disebabkan tanggul Kali Jenes yang bermuara di Bengawan Solo jebol sepanjang 30 meter karena bagian luar tanggul ditanami penduduk sekitar. Hal ini menyebabkan tanggul terganggu dan tanah makin gembur.

Adapun banjir yang menggenangi sebagian wilayah selatan dan timur Kota Solo, akhir Desember ini, disebabkan proses perapuhan tanggul Joyontakan akibat banyaknya kendaraan berat yang lalu lalang di atasnya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jawa Tengah Arief Zayyin mengemukakan, banjir di Kota Solo dan sekitarnya merupakan akibat pembalakan hutan dan alih fungsi lahan yang tak memerhatikan aspek ekologi, termasuk di lereng Gunung Lawu.

Lahan kritis menyebabkan air tidak bisa terserap dan langsung terbawa ke sungai. Saat banjir, permukaan air Bengawan Solo di Solo mencapai 11,4 meter, padahal pada saat banjir biasanya hanya 8,5 meter. (EKI/GAL/ASA/IKA)



Post Date : 30 Desember 2007