Jakarta, kompas - Sebagian warga Jakarta setiap bulan wajib membayar dana kebersihan sebesar Rp 1.000 sampai puluhan ribu rupiah per bulan per keluarga, yang dipungut oleh RT/RW setempat. Namun, ternyata tetap tidak ada jaminan sampah dapat diangkut setiap hari.
”Saya membayar Rp 3.000 per bulan untuk iuran RT, katanya termasuk dana angkut sampah harian. Namun, sampah di rumah saya baru diambil dua-tiga hari sekali,” kata Sahran (43), warga Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (4/5).
Pernyataan serupa diungkapkan Dhita (39), warga Palmeriam, Matraman, Jakarta Timur. Bahkan, menurut Dhita, sampah di rumahnya sering kali menumpuk karena jadwal kedatangan tukang sampah dua kali seminggu terkadang tidak dipenuhi. Akibatnya, sampah warga menumpuk dan sebagian dibuang ke sungai terdekat.
Wulandari, warga Perumahan Pesanggrahan Mas di Petukangan, Jakarta Selatan, mengatakan, setiap keluarga di perumahan ini wajib membayar Rp 75.000 per bulan. Pungutan dari RT/RW setempat itu mencakup uang sampah dan uang keamanan.
Menurut Wulandari, dengan dana iuran cukup besar itu, pengambilan sampah dilakukan tiap tiga-empat hari sekali. Namun, warga setempat memastikan sampahnya terkumpul dengan baik tanpa harus berceceran dan menimbulkan bau tak sedap.
Tak berdasar hukum
Meskipun demikian, Wulandari kaget ketika mengetahui bahwa pembayaran iuran sampah di tingkat rumah tangga ternyata tidak berdasar hukum.
Dalam Pasal 105 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah dinyatakan tidak ada penarikan iuran sampah di tingkat perumahan atau tempat tinggal. Pungutan biaya sampah baru dikenakan kepada pemilik usaha kecil, menengah, dan usaha besar, termasuk kios-kios di pasar hingga hotel, mal, dan tempat hiburan. Besar pungutan hanya Rp 10.000-Rp 20.000 per meter kubik sampah.
Wiyono, salah satu pejabat RT di Petukangan Selatan, mengatakan, iuran sampah merupakan kesepakatan antara warga dan pengurus RT/RW setempat. Jika dana yang terkumpul masih tersisa, akan masuk kas RT yang digunakan untuk berbagai keperluan bersama warga.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengatakan, pungutan dapat dilakukan ketua RT/RW untuk membayar penarik gerobak sampah. Biasanya, sampah warga diangkut dari rumah ke tempat pembuangan sementara (TPS) terdekat oleh para penarik gerobak.
Hal ini terpaksa dilakukan karena armada angkutan sampah DKI memang tidak menjangkau perumahan. Armada angkutan itu hanya mengambil sampah dari TPS hingga ke tempat pembuangan akhir (TPA). Menurut Eko, Dinas Kebersihan sudah mengusahakan agar semua sampah dari TPS dapat diangkut satu kali setiap hari.
”Biasanya, setelah sampah diangkut, masyarakat banyak yang membuang sampah lagi ke TPS sehingga tampak seperti tidak pernah diangkut. Untuk itu, masyarakat sebaiknya membuang sampah sebelum jam pengangkutan agar tidak perlu ada timbunan sampah yang terlalu lama di TPS,” kata Eko.
Tergantung lurah
Penentuan lokasi TPS di setiap kawasan, menurut Eko, adalah hasil kesepakatan bersama antara lurah dan warganya, termasuk penentuan waktu pengambilan sampah. Hasil kesepakatan itu diberitahukan kepada Dinas Kebersihan yang akan menindaklanjuti dengan menempatkan lokasi pembuangan tersebut dalam kunjungan armadanya.
Eko mengatakan, jika banyak TPS liar, lurah atau seksi kebersihan kelurahan perlu berkoordinasi dengan warga dan melaporkan kepada Dinas Kebersihan. Petugas kebersihan tak akan dapat menjangkau sampai ke dalam permukiman warga jika tidak ada informasi dari lurah.
”Jika lurah rajin menggerakkan warga membersihkan tumpukan sampah dari TPS liar, Dinas Kebersihan akan mudah mengangkut sampah. Selanjutnya semua sampah sebaiknya diarahkan ke TPS resmi agar lebih cepat diangkut,” kata Eko.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam catatan akhir tahunnya, Desember 2008, menyebutkan tak ada sinkronisasi pengelolaan sampah di DKI. Di sisi lain, Dinas Kebersihan, yang memiliki anggaran kebersihan Rp 300 miliar pada 2009, mengaku terus kekurangan armada pengangkutan sampah.
Menurut Eko, dana itu untuk operasional pengangkutan sampai pengolahan sampah di seluruh Jakarta, tetapi tidak ada anggaran untuk peremajaan atau pembelian truk baru maupun armada pengangkutan sampah perumahan.
Akibatnya, sampah masih menggunung di mana-mana dan mengharuskan warga hidup bersanding dengan sumber penyakit itu. (ECA/ARN/NEL)
Post Date : 05 Mei 2009
|