Bau "Harum" Sampah dari Sleman

Sumber:Buletin Cipta Karya - 01 Agustus 2007
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Sejumlah pedagang di warung kopi, maupun di kantin sekolah di Kecamatan Gamping, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa tahun ini mempunyai kebiasaan lain. Mereka tak lagi membuang sampah bekas kopi dan aneka bungkus minuman lain ke tempat sampah. Cara mereka membuka bungkus tersebut juga dijaga betul agar tidak sembarangan, harus rapi. Pasalnya, bungkus kopi dan lainnya itu kini bernilai jual dan tak lagi menjadi sampah.

Sebuah kelompok pengelola sampah masyarakat secara mandiri bernama Paguyuban Sukunan Mandiri di Dusun Sukunan, Desa Banyuraden Kecamatan Gamping membeli bungkus bungkus itu seharga Rp. 10 untuk kerajinan daur ulang sampah anorganik. Selain kerjasama dengan pedagang di desa maupun di kantin sekolah, paguyuban juga menjalin kerjasama dengan sejumlah kafe yang bertebaran di Kota Gudeg itu.

Dari tangan tangan kreatif kelompok masyarakat Sukunan dihasilkan aneka produk kerajinan dari sampah daur ulang seperti tas dengan harga bervariasi dari Rp. 15 ribu sampai Rp. 50 ribu. Ada juga topi dan dompet tempat menyimpan handphone.

Hasil penjualan produk kerajinan tersebut kemudian dibagi masing-masing untuk pengrajin 70%, biaya untuk bahan 25%, dan untuk kelompok PKK 5%. Meski demikian tak semua masyarakat tertarik dengan kegiatan ini. Dari 290 KK di Dusun Sukunan hanya ada belasan pengrajin yang berpartisipasi, dan dari belasan itu hanya enam rumah saja yang bisa dikatakan sebagai sentra produksinya.

Diakui oleh salah satu pengurus paguyuban bernama Hasan, produk- produk kerajinan daur ulang sampah dari kelompok tersebut sudah dikenal oleh berbagai kalangan. Beberapa waktu lalu ada pesanan dari suatu lembaga berjumlah sekitar 100 buah tas dan bisa diselesaikan dengan masa lima hari. Tak hanya itu, sejumlah siswa SMA hampir tak percaya jika produk tas yang mereka lihat di sejumlah stan pameran adalah buatan tangan tangan masyarakat Sukunan.

Sampah masuk sawah

Geliat masyarakat Sukunan mengelola sampahnya secara mandiri muncul dari protes para petani yang sawahnya tertimbun sampah. Pada tahun 2000, seorang pendatang dari kota bernama Iswanto mulai mengadakan eksperimen setelah melihat kegelisahan warga terhadap sampah yang mulai memenuhi pekarangan dan sawah mereka. Berbeda dengan masyarakat kota yang sampahnya diurus oleh pemerintah, di desa seperti Sukunan masalah sampah menjadi tanggung jawab individu.

"Yang saya pikirkan pertama bagaimana membuat sistem agar sampah organik bisa selesai di lingkungan rumah tangga masing-masing. Untuk itu kami menggunakan alternatif seperti gentong, drum dari plastik maupun logam untuk pengomposan sampah organik," kata Iswanto yang juga Pembina Paguyuban Sukunan Mandiri.

Kompos yang dihasilkan sebagian dijual dan sebagian lagi untuk menyuburkan tanaman hias milik warga. Proses pengomposan bekerjasama dengan peternak sapi. Dengan kerjasama itu direncanakan akan dicanangkan pertanian organik. Petani akan ditawari membeli pupuk kompos sebagai pengganti pupuk kimia dan dibayarkan setelah panen.

Sekretaris Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Yogyakarta tersebut juga mengatakan setelah eksperimen pengolahan sampah organik, masyarakat juga mulai dihimbau untuk memilah sampah anorganik. "Ide ini muncul dari survey kami di lapangan bahwa ternyata di TPA hampir semua jenis sampah memiliki nilai jual. Sebelumnya kami pikir yang bisa dijual itu hanya yang dipungut oleh pemulung, ternyata tidak," terang Iswanto kepada redaksi di kampus tempatnya mengajar.

Sampah anorganik dikumpulkan di tabungan sampah yang mereka sebut dengan Tonblok. Tonblok ditempatkan di beberapa sudut kampung dan setelah penuh diangkut ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Di TPS, sampah anorganik dari masyarakat dibagi ke dalam tiga bak, yaitu untuk sampah jenis kertas, plastik, kaleng dan botol. Setelah penuh, sampah di TPS itu akan diangkut oleh pengepul yang membelinya dengan harga Rp . 50 ribu Rp. 100 ribu. Hasil penjualan dan sumbangan dari para donatur dikoordinir oleh pengurus RW dan dirapatkan untuk membahas pengeluaran dan pemasukannya. Sedangkan dana untuk pengelolaan unit dikelola oleh kepala unit masing masing. Sisanya sebanyak 5% untuk kegiatan masyarakat yang lain dan disimpan di rekening masyarakat.

Dari peluang usaha sampai misi edukasi

Peta masalah dan solusinya kemudian menjadi jelas. Iswanto mengaku kendala untuk merealisasikan semua rencana tersebut adalah dana untuk membangun sarana dan prasarana. Setelah beberapa kali proposal yang dilayangkan ke pihak terkait seperti pemerintah gagal, akhirnya seorang dosen Universitas Gajah Mada berkebangsaan Australia memberi modal awal Rp. 5 juta untuk membeli 48 drum. Sejalan dengan itu bantuan lain berdatangan dan yang patut diacungi jempol adalah partisipasi masyarakat clan kelompok pemuda untuk mensukseskannya. "Mereka melukis drum drum itu agar tampak indah, dan mengelasnya," kata Iswanto.

Tak lama kemudian dibentuklah Paguyuban Sukunan Mandiri yang didalamnya terdapat unit unit seperti Unit Pengolah Kompos, Pengelola Sampah, Pengolah Kerajinan, Perbengkelan, Penjualan, serta Unit Diklat untuk pengembangan.

Di luar dugaan, paguyuban tersebut banyak dikunjungi orang luar untuk dimintai penyuluhan, pelatihan, dan konsultasi. Tak tanggung tanggung, mereka ada yang datang dari Eropa, Australia dan yang domestik seperti dari Bogor, Pekalongan, dan Magelang. Sebagian dari mereka ada yang home stay untuk melakukan magang selama tiga hari.

Kegiatan semacam itu diakui Iswanto memang membuahkan peluang peluang usaha. "Sesuai dengan visi kami yaitu terwujudnya masyarakat dan lingkungan yang sehat dan produktif melalui pemberdayaan masyarakat untuk memanfaatkan lingkungan," ujarnya. Program akan berkelanjutan jika manfaatnya jelas untuk masyarakat.

Tak sebatas itu, paguyuban juga mengemban misi edukasi untuk anak-anak sekolah tentang kesehatan lingkungan. Program tersebut dinamakan pendidikan lingkungan untuk anak. Dengan memanfaatkan hari libur, Unit Diklat memfasilitasi siswa SID dan SMP di lingkungan desa, misalnya dengan membawa mereka ke pabrik kertas dan plastik. Hal itu bertujuan menanamkan nilai di benak mereka bahwa sampah jangan hanya dilihat sebagai masalah sampah saja. Melainkan di benak mereka harus tertanam sampah itu untuk bahan untuk membuat apa?

Berjalannya suatu program yang positif dan konstruktif memang membutuhkan tokoh berpengaruh dan penggerak potensi masyarakat. Selain menghasilkan berbagai produk seperti yang disebutkan di atas juga sudah menghasilkan batako yang berbahan campuran styrotbam. Selain pengolahan limbah padat, Paguyuban Sukunan Mandid juga sudah mulai menggagas pengelolaan limbah cair. Apa dan bagaimana konsepnya layak kita tunggu agar kemudian bisa menyebar luas ke masyarakat lain yang belum melaksanakan. Redaksi



Post Date : 01 Agustus 2007