Tangerang, Kompas - Pemerintah Kabupaten Tangerang baru menangani sekitar 1.200 meter kubik sampah atau hanya 20 persen dari total produksi sampah yang 6.000 meter kubik setiap harinya. Sisanya, 4.800 meter kubik, dikelola masyarakat secara tradisional.
”Meski angka ini termasuk rendah, dalam pengelolaan sampah, Kabupaten Tangerang tergolong paling tinggi untuk seluruh Indonesia,” tutur Kepala Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Tangerang Heri Heryanto kepada Kompas, Kamis (12/11).
Selama ini, Heri menjelaskan, sampah yang terangkut dan tertangani masih terbatas pada sampah dari pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan perumahan.
”Sampah pasar dan perumahan ini dibuang di tempat pembuangan sampah akhir Jatiwaringin, Mauk,” kata Heri.
Sampah lain yang belum tertangani, lanjut Heri, dikelola masyarakat dengan cara, antara lain, dibakar, dibuang ke selokan dan kali, serta dipendam dalam tanah.
”Ini terjadi karena kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya masih rendah,” ujar Heri.
Terbatas
Heri mengakui, apabila dilihat dari persentase volume sampah yang terangkut dan tertangani, memang masih kecil. Hal itu disebabkan cakupan luas wilayah kabupaten tidak sebanding dengan ketersediaan jumlah armada pengangkut sampah serta sumber daya manusianya.
Menurut Heri, wilayah kabupaten memiliki luas 111 hektar. Namun, hanya ada 120 unit armada pengangkut sampah. Jumlah ini sudah termasuk 40 unit armada yang untuk sementara waktu dipinjamkan ke Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan baru setahun dimekarkan dari Kabupaten Tangerang.
Idealnya, tambah Heri, dengan luasan wilayah kabupaten tersebut, setidaknya dibutuhkan 350 unit armada pengangkut sampah.
”Armada pengangkut sampah kita sangat kurang, jauh dari angka ideal. DKI saja memiliki armada pengangkut sampah lebih dari 1.000 unit,” ucap Heri.
Jumlah tenaga kerja di lapangan pun sangat penting. Menurut Heri, tenaga kerja yang tersedia di Kabupatan Tangerang dirasakan masih kurang.
”Tenaga kerja di lapangan yang dimiliki sekarang 350 orang. Jumlah itu juga jauh dari angka ideal. Untuk menangani sampah di wilayah ini, setidaknya dibutuhkan 1.000 tenaga lapangan,” papar Heri.
Heri tidak menampik—dalam kondisi keterbatasan armada dan tenaga lapangan tersebut, ditambah kebiasaan masyarakat yang seenaknya membuang sampah di sembarang tempat—apabila sampah terkesan tidak diurus. Akibat lainnya, banyak bermunculan tempat sampah liar.
Munculnya tempat sampah liar ini, menurut Heri, juga disebabkan karena masyarakat mulai mengerti jika sampah punya nilai ekonomis yang tinggi. Namun, sampah yang diambil masyarakat hanyalah yang bisa diolah dan didaur ulang. Sementara sisanya dibiarkan menumpuk dan berceceran. (PIN)
Post Date : 13 November 2009
|