|
Jakarta, Kompas - Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, Indonesia tergolong negara yang tertinggal dalam pembangunan waduk. Sampai saat ini, waduk yang terbangun baru 120 unit, kalah jauh dibandingkan dengan China yang memiliki sekitar 22.000 waduk. Bahkan, dari 120 waduk itu, yang mampu mengairi sawah sepanjang tahun hanya 10 persen dari total areal 6,7 juta hektar. "Untuk meningkatkan volume produksi pangan, tidak ada pilihan kecuali membangun lagi waduk yang sebanyak-banyaknya. Kritik dari berbagai pihak dijadikan masukan guna merancang pembangunan waduk yang lebih baik dan selaras dengan lingkungan. Lagi pula, kebutuhan listrik bertenaga air pun masih banyak," kata Djoko Kirmanto, Rabu (18/5) di Jakarta, seusai membuka seminar tentang bendungan besar. Potensi energi listrik yang bersumber dari air diperkirakan mencapai 75.000 megawatt (MW). Namun, yang terbangun baru tujuh persen. Di luar itu, waduk juga berfungsi sebagai pengendali banjir. "Jadi, saya akan mendorong pembangunan waduk di Indonesia sekalipun timbul pro dan kontra," ujar Djoko Kirmanto. Dalam waktu dekat, Departemen PU akan merealisasikan pembangunan Waduk Jatigede di Jawa Barat. Proyek yang telah direncanakan sejak 30 tahun silam itu bakal menelan biaya sekitar Rp 3 triliun. Waduk tersebut bakal menampung air sebanyak 650 juta meter kubik dan mampu mengairi sawah seluas 90.000 hektar. Selain itu, akan dibangun pula Waduk Bajulmandi di Jawa Timur, Waduk Blega di Madura, Waduk Karian di Jabar, dan Waduk Ponepone di Sulawesi Selatan. Lokasi lainnya masih dilakukan survei, penelitian, dan pengkajian lebih lanjut. Akar persoalan Menurut Djoko, salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia dalam pembangunan waduk karena terbentur masalah pembebasan lahan. Harga tanah mengalami kenaikan tajam dan pemiliknya pun selalu berubah sehingga proses negosiasi jarang mencapai titik temu. Persoalan lain adalah pemindahan penduduk setempat ke lokasi baru. Pemindahan itu membutuhkan persiapan sosial yang matang agar di lokasi baru nanti kehidupan masyarakat tersebut menjadi lebih baik, bukan semakin terpuruk. Khusus untuk proyek Jatigede, sebagian lahan telah dibebaskan DPU. Sisanya segera dituntaskan Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Gubernur Jawa Barat. "Mereka menyanggupi untuk menyelesaikan persoalan yang belum tuntas." Kendala lain yang menghambat pembangunan waduk adalah biaya. Selama ini dana untuk proyek itu hanya bersumber dari APBN. Pola itu dinilai tak efektif sebab banyak proyek juga membutuhkan pembiayaan dari APBN. Ke depan, pembangunan waduk akan dipercayakan kepada perusahaan swasta. Misalnya, Waduk Jatigede. Sebagian waduk itu dapat dipakai menjadi pembangkit tenaga listrik. Berarti, khusus untuk pembangunan PLTA ditangani swasta lalu perusahaan tersebut dibolehkan menjual energi listrik. "Cara ini dapat menghemat APBN dan memungkinkan pengelolaan waduk lebih profesional dan tertib," ujar Djoko. Menteri PU juga mengingatkan, pembangunan waduk jadi lebih efisien jika didukung kondisi hutan yang baik di daerah tangkapan air. Sebaliknya, kalau kondisi sedimennya jelek, daya tahan waduk pun tak akan lama. "Apa pun dibangun dan berapapun biaya yang dikeluarkan tak akan cukup atau kalah cepat dengan perusakan hutan di daerah tangkapan air," kata Djoko. Untuk itu, penghijauan yang telah dan akan dilakukan hendaknya diwujudkan secara optimal. Alasannya, penggundulan hutan akibat penebangan kayu tanpa kendali telah menimbulkan stok sumber daya air semakin menipis. Kondisi itu juga terjadi pada persediaan air baku. Kali Cisadane, misalnya, yang selama ini diandalkan menjadi sumber air baku untuk pengolahan air bersih bagi masyarakat Tangerang ternyata pada musim kemarau kali tersebut telah mengalami kekeringan. Akibatnya, waduk batal dibangun. (JAN) Post Date : 19 Mei 2005 |