Presiden Meksiko Felipe Calderon meresmikan pembangkit listrik tenaga angin untuk hotel yang menjadi tempat Konferensi Para Pihak PBB untuk Perubahan Iklim Ke-16 atau 16th Conference of Party (COP) di Cancun. Senin lalu, konferensi yang dihadiri utusan 200 negara dan pihak dibuka serta berlangsung hingga 10 Desember 2010.
Menurut Calderon, ada peluang ekonomi dari perang menghadapi perubahan iklim. Pernyataan itu ditujukan untuk mengakhiri ketidakpercayaan yang dihasilkan dari Konferensi Iklim sebelumnya. "Dilema antara perlindungan lingkungan dan mengentaskan warga dari kemiskinan serta memerangi perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi ini adalah sebuah dilema yang sumbang," katanya.
Rasa optimisme juga dibangkitkan dua perempuan yang bakal memimpin Konferensi, yakni Presiden COP 16 Patricia Espinosa dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) Christiana Figueres. "Dengan kemauan politik dan pandangan pragmatis, Cancun dapat menjadi awal dari era baru perjanjian perubahan iklim," kata Espinosa, yang menjadi Menteri Luar Negeri Meksiko. Figueres berharap langkah konkret harus diambil untuk merespons tantangan iklim.
Keduanya memang harus membangkitkan rasa optimisme. Maklum, konferensi tahun lalu di Kopenhagen gagal mengambil keputusan yang berarti. Padahal .... kepala negara dan pemerintahan hadir di ibu kota Denmark itu, termasuk Presiden Barrack Obama dan pemimpin Cina. Copenhagen Accord, yang ketika itu cuma didukung .... negara peserta, hanya menjadi catatan kaki. Venezuela dan sejumlah negara Amerika Latin menolak hegemoni Amerika. Perasaan dicurangi dan dikhianati merebak dalam konferensi tersebut.
Copenhagen Accord, kata Rachmat Witoelar, mengutip pernyataan negara-negara berkembang, menjadi barang haram. "Isinya bagus, namun kemasannya jelek," kata Rachmat, utusan khusus Presiden RI untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Menurut dia, pesimisme masih menggantung hingga awal November ketika berlangsung Pre-COP di Kota Meksiko. Tuan rumah mengundang perwakilan 50 negara membahas isu utama konferensi.
"Banyak negara kunci menyatakan keraguan mereka akan tercapainya kesepakatan baru di Cancun, mengingat posisi banyak negara yang kembali ke awal sebelum Kopenhagen," kata Rachmat. Heru Prasetyo dari Satuan Tugas Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan (REDD+) Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan menjelaskan, Konferensi Cancun sudah "write off" (hapus buku). "Orang sekarang berbicara tentang Cape Town," katanya. Tahun depan, ibu kota Afrika Selatan ini menjadi tuan rumah Konferensi Iklim atau COP Ke-17.
Ganjalan terbesar dari kesepakatan di Cancun terletak pada konflik di antara dua raksasa penyumbang emisi terbesar, yakni Cina dan Amerika Serikat. Keduanya sama-sama tidak mau memberi komitmen pengurangan emisi, meski secara sendiri-sendiri telah melakukan mitigasi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan. Komitmen negara-negara Uni Eropa juga melemah ketimbang sebelumnya. Rachmat sendiri heran atas kemunduran sikap Uni Eropa tersebut.
Menjelang Konferensi Cancun, Badan PBB tentang Program Lingkungan Hidup (UNEP) mengeluarkan studi yang menemukan fakta bahwa Copenhagen Accord tidak cukup untuk mengurangi emisi perubahan iklim ke tingkat yang aman. Laporan itu menyebutkan bahwa tekad yang setengah-setengah dari Copenhagen Accord bakal mengarahkan kita pada emisi karbon sebesar 20 persen pada 2020, ketimbang tingkat yang diperlukan untuk membatasi pemanasan global sampai 2 derajat Celsius. "Penelitian otoritatif ini menegaskan bahwa ada 'gigatonnes gap' yang mengkhawatirkan antara janji emisi yang diletakkan di atas meja di Kopenhagen dan tingkat yang jauh lebih rendah dari yang diperlukan untuk mengamankan masa depan iklim yang aman," kata Gordon Shepherd, pemimpin Global Climate Initiative WWF.
Indonesia masih berharap proses multilateral di Cancun menghasilkan kesepakatan yang bersifat adil dan berimbang bagi semua pihak. "Terutama demi kesetaraan dari berbagai elemen yang dimandatkan dalam Bali Action Plan," ujar Rachmat Witoelar.
Bali Action Plan mencakup berbagai elemen yang menjadi unsur krusial negosiasi, seperti visi bersama (shared vision), mitigasi, adaptasi, REDD+, pendanaan, alih teknologi, dan capacity building.
Menurut Rachmat, kesetaraan yang dimaksud harus mencakup komitmen dan kewajiban para negara maju dalam menurunkan emisi gas rumah kacanya. Bagi mereka, ini harus bersifat wajib. Sedangkan negara yang tidak menjadi para pihak dari Protokol Kyoto, kata dia, juga harus melakukan penurunan emisi yang setara dengan para pihak.
Indonesia akan menyerukan agar salah satu yang menjadi hasil dari Cancun adalah terbentuknya suatu dana baru (new fund) yang akan digunakan untuk berbagai kegiatan dalam empat jendela utama, yaitu adaptasi, mitigasi (termasuk REDD+), transfer teknologi, dan capacity building. UNTUNG WIDYANTO
Post Date : 02 Desember 2010
|