|
Jakarta, Kompas - Kondisi air bersih di Jakarta masih sangat memprihatinkan. Belum semua warga mendapatkan air bersih, sementara banyak sumber daya air belum terkelola dengan baik. Hal tersebut disampaikan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) dalam Tatap Muka Cagub dengan Warga Jakarta bertema ”Demokratisasi Air DKI Jakarta”, Minggu (29/4), di LBH Jakarta. Muhammad Reza dari KMMSAJ memaparkan, lebih dari 40 persen warga Jakarta tidak memiliki sambungan air. Dari kebutuhan 2,38 juta meter kubik air bersih per hari, hanya 1,53 juta meter kubik yang tersedia. ”Jakarta adalah sebuah ironi. Setiap hari Jakarta memompa air ke laut, sementara ada jutaan warga miskin menderita kekurangan air bersih. Di musim hujan mereka malah kebanjiran,” kata Reza. Salah satu persoalan tata kelola air, menurut KMMSAJ, terkait privatisasi air. Ada sejumlah kontrak antara PDAM Jaya dan operator yang sarat masalah dan justru merugikan konsumen. Halimah (48), warga Rawa Badak, Jakarta Utara, mengaku masih mendapatkan air PDAM yang berbau busuk dan keruh bila terjadi pasang naik air laut, rob, atau hujan deras. Dia bahkan harus membeli air bila kondisi tersebut berlangsung lebih dari dua hari. ”Kalau warga sedang butuh air, harga air pikulan bisa melonjak. Air yang biasa dijual Rp 2.500 per pikul (2 jeriken) harganya bisa sampai Rp 5.000 per pikul,” tutur Halimah. Setiap bulan dia membayar sekitar Rp 80.000 untuk iuran air PDAM. Hapus swastanisasi air Bakal calon gubernur DKI Jakarta Hendardji Soepandji yang hadir dalam diskusi itu mengatakan, air seharusnya menjadi barang publik yang bisa dikonsumsi masyarakat secara bebas. ”Kenyataannya, sekarang banyak terjadi privatisasi air. Swastanisasi air boleh dilakukan bila menguntungkan masyarakat. Bila tidak, swastanisasi air seharusnya dihapuskan saja,” kata Hendardji, satu-satunya bakal calon gubernur DKI yang hadir dalam diskusi tersebut. (ART) Post Date : 30 April 2012 |