|
SAMPAI hari Kamis (25/11) malam suasana di sekitar lokasi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong di Kecamatan Kelapanunggal, Kabupaten Bogor, masih sepi. Kendaraan memang sudah lalu lalang, tetapi banyak kaum lelaki yang belum berani keluar rumah. Banyak kegiatan yang hanya dilakukan oleh kaum perempuan, baik ibu-ibu maupun anak-anak dan remaja. Begitupun dengan nasib dan masa depan TPST pascakonflik berdarah antara warga yang menolak keberadaan TPST dan aparat keamanan pada hari Senin lalu. Sampai kemarin belum ada keputusan apakah akan terus berlanjut atau harus ditutup. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sebagai pihak yang sangat berkepentingan-karena nantinya akan membuang sampahnya untuk diolah di sana-sudah menegaskan bahwa operasional TPST Bojong harus berlanjut. Sedangkan pihak PT Wiraguna Sejahtera (WGS) sebagai pengelola menyerahkan sepenuhnya nasib TPST kepada pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bogor. Suara yang moderat disampaikan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan yang meminta TPST Bojong tutup sementara. Lalu bagaimana dengan warga sekitar? Mereka tetap bersikeras agar TPST itu ditutup. Sedangkan DPRD Kabupaten Bogor meminta Pemkab Bogor meninjau ulang izin untuk PT WGS. Sementara itu, Pemkab Bogor hingga kini belum mengambil keputusan tentang nasib TPST. Pertemuan dengan DPRD pada hari Rabu lalu hanya menyebutkan bahwa keputusan nasib TPST itu baru akan disampaikan Senin mendatang. Sikap lebih jelas diperlihatkan oleh DPRD Kabupaten Bogor dan DPRD Jawa Barat yang jelas-jelas meminta agar TPST Bojong ditutup saja! Sikap DPRD Kabupaten Bogor itu terkait dengan terungkapnya sejumlah fakta penyimpangan di TPST yang terungkap dalam rapat koordinasi yang dipimpin Ketua DPRD Rahmat Yasin. Rapat yang berlangsung sekitar 4,5 jam itu dihadiri hampir semua pejabat di Pemkab Bogor sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan setempat. Juga hadir Kepolisian Resor Bogor Ajun Komisaris Besar Muhammad Taufik dan Komandan Distrik Militer 0621/Bogor Letkol (Ifn) Lukas Rudiono. Dalam rapat itu, sejumlah anggota DPRD setidaknya menanyakan tiga hal pokok yang berkaitan dengan latar belakang pemberian izin kepada PT WGS untuk membangun TPST Bojong. Yakni bagaimana proses perizinannya, kepastian ada tidaknya analisa mengenai dampak lingkungan (amdal), dan penelitian atas sikap masyarakat terhadap keberadaan TPST tersebut. Yang patut dihargai, pihak eksekutif sangat terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Maka, terbukalah sejumlah penyimpangan yang selama ini terkesan ditutup-tutupi. Sebut saja mengenai amdal. Ternyata dokumen amdal yang dimiliki TPST Bojong adalah amdal untuk tempat pembuangan akhir (TPA) dengan sistem sanitary landfill dan balapress. Bukan amdal TPST dengan sistem incinerator (pembakaran). Penyimpangan lain adalah pelanggaran penggunaan lahan di mana dalam izin disebutkan hanya 20 hektar tetapi faktanya menjadi 30 hektar. Penyimpangan lain adalah pada aspek sosialisasi yang ternyata tidak dilakukan dengan baik kepada masyarakat setempat. Selain itu, pihak eksekutif juga mengakui bahwa baru ada satu mesin balapress (dari rencananya tiga) dan dua mesin incinerator (dari rencana empat) yang ada di TPST. Dengan jumlah mesin seperti itu, sebetulnya belum layak dilakukan uji coba. Pihak eksekutif secara tidak langsung juga mengakui tidak berupaya menghentikan rencana PT WGS melakukan uji cobanya pada Senin lalu, meski mengetahui kesiapannya yang masih minim. Padahal Bupati Bogor juga diundang untuk hadir dalam uji coba itu. Jika TPST jadi ditutup, DPRD mengusulkan untuk memindahkannya ke Desa Nambo, Kecamatan Cileungsi. SECARA terpisah, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor Suryo Adiwibowo menilai insiden di TPST Bojong yang menyebabkan lima orang terkena luka tembak merupakan konflik kekerasan yang dilatarbelakangi pertarungan kepentingan untuk memperoleh kualitas lingkungan yang bersih, baik antara warga setempat, Pemprov DKI, dan Pemkab Bogor. Pertarungan kepentingan yang bermuara pada konflik kekerasan tersebut, menurut Surya Adiwibowo, masih bertumpu pada paradigma lama bahwa pengelolaan sampah baru dilakukan di "hilir" (TPA atau TPST). Artinya, dari pihak penghasil sampah (rumah tangga, kantor, industri, pasar, dan lainnya), sampah hanya mengalami proses pemindahan dan pengangkutan dari satu titik ke titik lain. Tidak ada pemilahan dan sortasi mulai dari hulu (sumber penghasil sampah) oleh semua pihak secara sungguh-sungguh dan konsisten dari waktu ke waktu. Padahal, masalah sampah kota hanya dapat diatasi bila melibatkan seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali sumber penghasil sampah. Semua harus dilakukan terus-menerus, konsisten, dan membangkitkan kesempatan ekonomi/usaha bagi banyak pihak, serta didukung oleh penegakan hukum yang kuat. "Teknologi tak dapat menyelesaikan secara tuntas semua masalah sampah," tegasnya Ditegaskan, kebijakan praktik dan cara penanganan sampah TPST Bojong menunjukkan lemahnya penyelenggaraan tata pemerintahan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah. Itu sekaligus juga menunjukkan belum berkembangnya budaya demokrasi. Hal itu dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, TPST Bojong masih kental dengan pemaksaan kehendak politik pemerintah kepada masyarakat. Aspirasi dua tahun terakhir dari masyarakat Bojong yang menolak TPST sepertinya tidak pernah dimediasikan dengan baik dan tuntas. Kedua, lembaga DPRD Kabupaten Bogor tidak pernah secara sungguh-sungguh menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang menolak TPST Bojong. Ketiga, masih digunakan budaya kekerasan oleh aparat pemerintah cq kepolisian sebagai bentuk penyelesaian konflik. "Masyarakat juga secara tak sadar terpancing melakukan kekerasan karena merasa segala cara sudah tak ada salurannya. Sehingga kita berada pada suatu titik di mana kita tak bisa mencegah konflik. (rts/pun/inu/pin) Post Date : 26 November 2004 |