|
JAKARTA (Media): Belum semua puskesmas di Jakarta Pusat (Jakpus) memiliki pengolahan limbah medis. Sementara dari delapan puskesmas pembina di wilayah Jakpus hanya lima yang telah memiliki unit pengolahan limbah, dari kelima puskesmas itu hanya dua yang berfungsi. ''Tidak semua puskesmas memiliki pengolahan limbah. Di Jakarta Pusat ada delapan puskesmas pembina, lima di antaranya memiliki pengolahan limbah dengan menggunakan insinerator (mesin pembakar limbah),'' kata Yunaenah dari Seksi Penyehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja Sudin Kesehatan Masyarakat Jakpus kepada Media, kemarin di Jakarta. Sebanyak delapan puskesmas pembina di Jakpus antara lain Johar Baru, Tanah Abang, Cempaka Putih, Sawah Besar, Gambir, Menteng, Senen, dan Kemayoran. Puskesmas Kemayoran kini memasuki tahap pembangunan gedung. Menurut Yunaenah, lima puskesmas yang memiliki insinerator medis antara lain Cempaka Putih, Johar Baru, Senen, Tanah Abang, dan Gambir. ''Dari kelima itu hanya Cempaka Putih dan Johar Baru yang berfungsi. Puskesmas yang tidak memiliki pengolahan limbah medis, dikirim ke Puskesmas Cempaka Putih atau Johar Baru untuk diolah,'' kata Yunaenah. Insinerator Puskesmas Senen, Gambir, dan Tanah Abang, sama sekali tidak berfungsi. Seperti insinerator medis di Puskesmas Senen yang dibangun 1998, menurut Yunaenah, tidak dioperasikan karena sekali digunakan keluar asap hitam dari cerobong. Sedangkan pembangunan insinerator di Puskesmas Tanah Abang sejak 1992 namun tidak lagi dioperasikan, karena mesin mengeluarkan panas dan keluar asap hitam di cerobong. Sedangkan insinerator di Puskesmas Gambir dan Sawah Besar tidak dioperasikan karena berada di pemukiman penduduk. ''Puskesmas Gambir berdekatan dengan permukiman mewah. Sedangkan di Sawah Besar menyatu dengan rumah penduduk sehingga tidak dilakukan. Memang disayangkan, mesin mahal harganya tapi tidak dipakai lagi.'' Untuk pengolahan limbah medis ini per satu kilogramnya tarifnya Rp3.000/4.000. Seperti insinerator di Puskesmas Senen saat Media mengunjungi ke sana, mesinnya cukup besar tapi tidak bisa digunakan. Bahkan di sekeliling insinerator banyak sekali sampah hanya ditumpuk dan tidak bisa diolah. Arie Herlambang dan Nusa Idaman Said, dua peneliti teknologi pengelolaan air bersih dan limbah cair Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyayangkan, proyek besar Dinas Kesehatan DKI tentang insinerator yang tidak lagi dimanfaatkan. Untuk insinerator di Puskesmas Senen nilainya Rp290 juta. Kepada Media kedua peneliti mengkritik kebijakan pemerintah terhadap aplikasi teknologi dalam negeri. ''Depkes misalnya menggunakan Ipal (instalasi pengolahan limbah) milik Korea untuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Rembang dan Garut. Kekuatan listriknya 4.000 kw dengan harga Rp4,5 miliar,'' kata Nusa. Sedangkan aplikasi teknologi Ipal dalam negeri membutuhkan energi listrik 3.500 Kw dan harganya hanya sepertiga dari Korea, hanya Rp800 juta dengan kemampuan membakar limbah 100 m3/hari. Arie menambahkan, tidak berfungsinya insinerator di Puskesmas Senen karena besarnya kekuatan mesin, sedangkan kapasitas pengolahan limbah hanya kecil. ''Jadinya kedodoran. Ibaratnya orang kurus memakai baju ukuran XL. Limbah medis di Puskesmas kebanyakan enam kubik saja tapi mesin yang ada justru punya kemampuan mengolah limbah lebih besar.'' Seperti mesin insinerator medis di Puskesmas Cempaka Putih dan Johar Baru merupakan aplikasi teknologi BPPT. Mesin pengolah limbah medis ini memiliki daya mengolah limbah sebesar 15-20 m3. Untuk itu, puskesmas hanya mengolah limbah seminggu sekali, supaya seluruh limbah puskesmas pembantu dan pembina di Jakpus terkumpul di sana. ''Biar mesinnya bekerja sesuai kapasitas,'' kata Yunaenah. Mesin tersebut memiliki dua ruangan. Ruang satu mengolah sampah dan ruang dua untuk mengolah koloid (asap). Pada cerobong asap dilengkapi dengan srubber sehingga asap nyaris tidak terlihat. Sesuai ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk pembakaran limbah medis ini panasnya harus mencapai suhu 1.000-1.200 derajat Celcius. Maka diperlukan dua ruangan agar suhunya bisa sesuai standar. ''Dengan suhu tinggi ini pembakaran tidak menghasilkan asap. Hasil akhirnya berupa abu yang dialirkan ke Ipal,'' kata Nusa seraya menambahkan kebutuhan listrik 40 watt. Pada instalasi pengolahan limbah cair ini, limbah medis diolah dengan menggunakan proses aneorob dan eorob untuk menghilangkan bau, BOD, dan COD. ''Pengolahan akhir di ipal ini juga menggunakan disinfektan. Hasilnya air tetap bening. Penghematan air mencapai 30%. Apabila Pemda bisa mengolah limbah cair seperti itu maka air sungai pun tidak akan keruh,'' kata Ari. (Nda/V-2) Post Date : 24 Desember 2004 |