Di Indonesia, sampah masih menjadi persoalan serius yang belum tertangani dengan baik. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika pemerintah mencoba berbagai upaya demi mendapatkan solusi terbaik dalam menyelesaikan persoalan itu.
Salah satunya dengan belajar pada negara-negara lain yang telah menjalankan sistem pengelolaan sampahnya dengan baik.
Di Australia, misalnya, setiap pemilik rumah di kawasan perkotaan wajib memiliki dua tempat sampah untuk dua jenis sampah yang berbeda.
Satu tempat sampah digunakan untuk benda-benda yang bisa didaur ulang, satu tempat lagi digunakan untuk sampah umum dan sampah taman.
Hebatnya, semua tempat sampah yang diperuntukkan bagi warga itu disediakan oleh pemerintah daerah setempat.
Di negeri kanguru itu, banyak pula rumah tangga yang telah memfungsikan tempat sampah khusus untuk membuat kompos.
Seluruh tempat sampah itu akan dikumpulkan untuk diangkut setiap satu minggu sekali. Sebuah kontainer dengan tangan mekanik secara otomatis mengangkut tempat sampah.
Alat itu kemudian akan memisahkan dua jenis sampah tersebut di dua ruangan berbeda. Di dalam kontainer, material yang dapat didaur ulang segera dikreasikan menjadi material baru, sementara sampah umum akan langsung masuk ke tempat pembuangan akhir.
Tidak hanya di Australia, pengelolaan sampah di negara-negara Eropa juga terbilang baik. Menurut Neni Sintawardani, pengamat lingkungan dari LIPI, model pengelolaan sampah di sana sudah lebih dari sekadar 3R (reduce, reuse, recycle).
Beberapa komunitas penduduk, seperti di Skandinavia, telah menggunakan sistem Envac, yaitu sebuah sistem pengangkut sampah otomatis yang menggunakan teknik penyedotan dan dilewatkan melalui pipa bawah tanah.
Sistem Envac memiliki cara kerja sebagai berikut. Saat seseorang membuang sampah melalui lubang yang telah disediakan, sampah akan masuk ke fraksi-fraksi dan dikontrol oleh suatu program komputer.
Program itulah yang menentukan mana sampah organik dan mana sampah yang berasal dari bahan anorganik. Proses itu memakan waktu 30 detik.
Setelah itu, sampah-sampah yang telah dipisahkan akan segera disedot melalui pipa jaringan dengan kecepatan penyedotan 70 kilometer per jam. Kipas yang ada di dalam pipa jaringan akan menuntun sampah-sampah itu ke kontainer yang tepat.
Setelah tersimpan, udara yang keluar dari kontainer juga harus melewati proses penyaringan sebelum dilepas ke udara bebas.
Direktur Eksekutif Walhi Ubaidillah mengatakan, “Di Inggris dan kebanyakan negara Uni Eropa, lokasi pembuangan sampah jauh dari masyarakat.”
Di sana, tambah Ubaidillah, tidak ada penduduk yang boleh menempati dan tinggal di wilayah tersebut. Bentuk tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dibuat seperti ruang terbuka hijau (RTH) sehingga tidak terlihat seperti tempat pembuangan.
Di TPA itu, pengolahan pun dilakukan secara tepat dan sangat diperhitungkan agar tidak terjadi polusi udara maupun tanah.
Selain di Eropa, pengelolaan sampah di Kanada bisa menjadi role model pengelolaan sampah di Tanah Air. Neni menyatakan di wilayah perkotaan Kanada, pengumpulan sampah dan pendaurulangan material organik dilakukan pada jadwal yang telah ditentukan.
Sedangkan di perdesaan, warga biasanya membuang sampah dengan memuat dan mengirimkannya ke stasiun transfer. Sampah dikumpulkan, sampah itu ditransportasikan ke tempat pembuangan regional.
Tidak kalah dengan negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika, pengelolaan sampah di Taiwan juga terbilang baik.
Pemerintah Taiwan menggunakan regulasi untuk mengatur permasalahan sampah yang terus-menerus bertambah tiap tahunnya. Pemerintah akan mengenakan tarif pada rumah tangga atau industri sesuai dengan volume sampah yang diproduksi.
Sampah hanya akan dikumpulkan oleh dewan kota jika sampah tersebut dibuang di tempat sampah milik pemerintah.
Kebijakan itu ternyata sukses mereduksi jumlah sampah yang dihasilkan perkotaan dan meningkatkan nilai daur ulang sampah. hag/L-2
Post Date : 04 September 2009
|