|
GUNUNG KIDUL, KOMPAS - Mengantisipasi kekeringan yang akan terjadi tahun ini, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul sudah menyiapkan bantuan air bersih yang akan mulai didistribusikan Juli nanti. Sementara itu, warga di sebagian wilayah rawan kekeringan sudah mulai membeli air. Kepala Bidang Sosial Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (Sobermas) Gunung Kidul Samsul Bakri mengungkapkan, saat ini pendataan dan pemetaan wilayah kekeringan di tiap kecamatan sudah selesai dilakukan. "Sabtu kami akan berkoordinasi dengan para camat untuk melakukan up date data terakhir dan mempersiapkan dropping bantuan air bersih," kata Samsul, Kamis (21/6). Ia menambahkan, setelah pertemuan koordinasi itu, dropping air dapat dilakukan lebih awal di wilayah-wilayah rawan kekeringan yang mulai kesulitan air bersih tanpa harus menunggu bulan Juli. Di Ngestirejo, Tanjungsari, misalnya, dalam dua minggu ini beberapa penduduk mulai membeli air. "Saat ini sudah ada satu dua warga yang membeli air tiap hari. Jumlah ini pasti akan jauh meningkat Agustus nanti. Setiap hari air bisa dipesan oleh 25-30 orang," kata Supriyanto (37), penjual air. Harga mahal Meski begitu, tidak semua warga yang kesulitan air mampu membeli air. "Harganya mahal, kalau sudah terpaksa ya baru beli air, apalagi kemarin gagal panen," ujar Sumilah (50), yang seperti warga Ngestirejo umumnya hanya mengandalkan air dari bak penampungan air hujan. Tiap satu tangki air berkapasitas 5.000 liter dijual Rp 70.000-Rp 100.000, tergantung jarak dan kesulitan medan. Warga miskin sendiri tidak dapat mengandalkan air bersih gratis dari pemerintah yang jumlahnya sangat terbatas. Tahun lalu Dinas Sobermas Gunung Kidul mengerahkan tujuh armada tangki air untuk melayani kebutuhan air di berbagai kecamatan. Sebelas tangki air milik Sobermas lainnya diperbantukan di 11 kecamatan untuk dipakai dropping air di wilayah masing-masing. Tahun 2007 ini Dinas Sobermas menganggarkan sekitar Rp 333 juta untuk bantuan air bersih di 18 kecamatan di Gunung Kidul. Selain penyiapan bantuan air bersih, pembangunan bak-bak penampungan air di daerah-daerah kekeringan baru pascagempa juga terus dilakukan. Sampai saat ini sudah dibangun sekitar 100 bak penampung air di tujuh kecamatan yang kehilangan sumber-sumber air mereka akibat gempa. Di Desa Plembutan, Playen, misalnya, sudah terbangun sembilan bak penampung air sejak tahun lalu. "Kami memang tidak memiliki bak- bak penampung air karena sebelumnya mengandalkan air dari sumur. Setelah gempa, banyak mata air ke sumur hilang," kata Kabag Pemerintahan Desa Plembutan Kardiyo. Akibatnya, saat ini warga harus membeli air lebih banyak dibanding sebelum gempa. "Selama kekeringan tahun lalu harus membeli sampai tujuh tangki. Bantuan air dari pemerintah juga tidak pernah sampai sini," kata Gito (53), warga Papringan, Plembutan. (AB3) Post Date : 23 Juni 2007 |