Bantargebang di Tengah Pasifik

Sumber:Koran Tempo - 07 Agustus 2009
Kategori:Sampah Luar Jakarta

LOS ANGELES - Lautan sampah. Istilah ini bukan lagi hiperbola belaka. Sebuah zona bak tempat pembuangan akhir raksasa karena luasnya yang dua kali daratan Amerika Serikat--dan terus tumbuh--terbentuk di tengah-tengah Samudra Pasifik Utara.

Ke kawasan itulah ilmuwan kelautan dari Amerika Serikat kini sedang berlayar. "Great Pacific Garbage Patch", begitu kawasan laut terbuka bergaris tengah ratusan kilometer itu biasa dikenal, ingin diteliti pertumbuhan, distribusi, dan dampaknya terhadap kehidupan laut setempat.

Tim beranggotakan 30 peneliti, teknisi, dan kru itu angkat sauh pada Minggu lalu dalam sebuah ekspedisi yang rencananya akan berdurasi sampai tiga pekan. Mereka berangkat menggunakan New Horizon, kapal riset berfasilitas laboratorium milik Scripps Institution of Oceanography yang berbasis di University of California di San Diego.

Studi rencananya akan berfokus pada plankton dan mikroorganisme lainnya, ikan kecil, serta burung-burung laut. "Perhatian kami adalah apa saja dampak sampah-sampah plastik itu bagi makhluk kecil di bagian pangkal dari rantai makanan di laut," kata Bob Knox, Deputi Direktur Riset di Scripps Institution of Oceanography, di hari pertama ekspedisi, Senin lalu.

Sampah-sampah yang kebanyakan plastik itu bisa terkumpul karena arus laut yang berpusar (North Pacific Ocean Gyre). Sampah-sampah itu bermuara di sebuah "zona konvergensi" yang membujur ratusan kilometer dari ujung ke ujung melintasi Kepulauan Hawaii, sekitar tengah-tengah antara Jepang dan California di Pantai Barat Amerika.

Charles Moore, ahli oseanografi Amerika, penemu kumpulan sampah itu pada 1997, yakin sudah ada sekitar 100 juta ton sampah dari peluit sampai pemantik api dan sikat gigi di sana. "Mereka terapung-apung sedikit di bawah permukaan sehingga tidak terdeteksi oleh kamera udara ataupun citra satelit. Anda hanya bisa melihatnya dari lambung kapal," katanya.

Sup sampah plastik, begitu Marcus Eriksen, direktur riset di Yayasan Riset Kelautan Algalita--yang didirikan Mooremenyebutnya. "Ini bukan pulau sampah tempat kita bisa berjalan di atasnya," katanya. "Ini seperti sup plastik, sebuah kawasan tak bertepi yang luasannya mungkin sudah dua kali daratan Amerika Serikat."

Selain perkiraan yang diberikan Moore dan Yayasan Algalita, hingga saat ini sangat minim pengetahuan tentang ukuran dan luasan pasti tempat pembuangan akhir (TPA) di tengah samudra itu. Badan Kelautan dan Atmosferik Amerika Serikat, NOAA, hanya bisa menginformasikan bahwa zona itu bisa bergeser hingga ribuan kilometer ke arah utara atau selatan berdasarkan musim. Zona bisa hanyut lebih jauh ke selatan ketika El Nino datang, yakni ketika suhu muka laut menghangat di atas normal.

Profesor oseanografi dari University of Hawaii, David Karl, menegaskan bahwa memang sudah waktunya ada riset yang mengukur skala dan sifat sup plastik itu. "Sampah-sampah plastik (yang sulit terurai) dari berbagai penjuru dunia memang pasti terkumpul di satu tempat, sekaranglah waktunya mengukur distribusi mereka dan terutama dampaknya dalam ekosistem laut," katanya.

Selain potensi bahayanya bagi makhluk hidup di laut yang mencerna plastik-plastik itu, tim ekspedisi di atas Kapal New Horizon juga rencananya akan meneliti apakah ada pestisida yang "menumpang" hingga ke tengah laut. Seluruh ilmuwan biologi kelautan mafhum kalau racun itu, bersama senyawa kimia lainnya seperti poliklorin biphenyl (PCB), bisa aman sejahtera di permukaan remah-remah plastik.

Racun-racun itu dikhawatirkan bisa menyusup ke dalam rantai makanan di laut. "Masalahnya sangat sederhana karena apa yang masuk ke laut, masuk ke lambung ikan-ikan, dan sampai di meja makan Anda," kata Eriksen.

Tim peneliti juga akan menyelisik apakah organisme-organisme kecil yang ikut menempel pada sampah bisa berkembang menjadi spesies invasif di daerah di seberang lautan.

Hantu Laut Bernama Plastik

Satu pemantik api, satu tangkai sikat gigi, satu mainan robot, dan satu tampon penyerap darah menstruasi pernah ditemukan dalam perut seekor burung Albatross Laysan yang mati di Pasifik. Burung Albatros itu hanya satu dari sejuta burung air yang menurut Program Lingkungan PBB (UNEP) mati setiap tahunnya karena makan bahan-bahan plastik pencemar isi lautan.

Tim peneliti dari Belanda menemukan sembilan dari 10 burung air fulmar yang mencari makan di laut mati dengan sampah plastik dalam lambungnya. Mereka meneliti 560 ekor jenis burung itu dari delapan negara dan mengungkap kalau fulmar mencerna rata-rata 44 macam produk plastik yang biasa ada di rumah dan kantor manusia.

Seekor fulmar di Belgia bahkan didapati memiliki 1.603 serpihan plastik dalam lambungnya.

Burung bukanlah satu-satunya yang korban. Kura-kura, paus, anjing laut, dan singa laut juga didapati memakan (sampah) plastik. UNEP mencatat lebih dari 100 ribu mamalia laut juga mati setiap tahunnya karena sebab yang sama.

Plastik diyakini menyusun sampai 90 persen seluruh sampah yang mengapung di lautan. Setiap mil persegi diperkirakan berisi 46 ribu potongan plastik. Semua sampah itu pada akhirnya juga bisa sampai ke lambung manusia.

"Ratusan juta potongan plastik, termasuk bahan mentah untuk industri plastik, hilang atau tertuang setiap tahunnya ke aliran sungai-sungai yang menuju lautan," kata Eriksen. "Bahan-bahan itu lalu berperan sebagai agen pengikat bahan kimia buatan manusia lainnya seperti hidrokarbon dan pestisida DDT lalu masuk ke rantai makanan."

Seperti dalam jenis lingkungan lainnya, plastik juga tidak semestinya ada dalam laut. Lingkungan yang satu ini bahkan cenderung melindungi plastik dari sinar ultraviolet sehingga proses penguraian molekul-molekulnya lebih lama lagi.

Diperkirakan setiap sampah plastik modern yang jatuh ke laut 50 tahun yang lalu masih tetap ada sampai saat ini. Mereka kalau tidak terjebak terapung-apung dalam arus berpusar "gyres"' di Pasifik, bisa ditemukan "duduk manis" di lantai laut menunggu dicaplok makhluk laut yang melintas.

"Setiap serpihan kecil produk plastik yang berusia kurang dari 50 tahun dan jatuh di laut pasti masih ada utuh entah di mana," kata Tony Andrady, kimiawan di Research Triangle Institute, Amerika Serikat.

Tempat Sampah Raksasa

Sampah terbawa dan terakumulasi ke kawasan ini oleh arus laut yang seperti berpusar. Sebagian besar memang datang dari darat, tapi seperlimanya diperkirakan adalah sampah dari kapal dan anjungan tambang minyak lepas pantai. Khusus plastik, karena proses penguraiannya yang sangat lama, terhimpun semakin banyak menjadi mirip sup. Meski belum sependapat tentang luasan pastinya, para peneliti dunia satu kata bahwa sup itu terus melebar.

Tempat sampah raksasa ini ditemukan oleh Moore pada 1997. Saat itu ia sedang berlayar pulang setelah mengikuti lomba layar Los Angeles-Hawaii. Moore yang kini menjadi aktivis lingkungan sengaja mengarahkan layarnya untuk potong kompas melewati "gyre" Pasifik Utara. Biasanya para pelaut menghindari kawasan pusaran arus dengan angin lemah dan sistem tekanan yang ekstrem tinggi itu.

Moore terkejut, tiba-tiba saja ia seperti memasuki lautan sampah. Dari hari ke hari, yang menjadi pemandangan di sekitar kapalnya adalah sampah. Semua benda, dari kayak, bola sepak, sampai lego dan tas ransel, bisa ditemuinya. WURAGIL | REUTERS | INDEPENDENT



Post Date : 07 Agustus 2009