|
BAGAIKAN raja yang haus kekuasaan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah lama ekspansi ke kawasan tetangganya yang bernama Bekasi. Dengan menguasai lahan seluas 108 hektar di Desa Bantar Gebang, Bekasi Barat, penjajahan melalui sampah yang dibuang di Bantar Gebang benar-benar telah menyengsarakan rakyat Bekasi. DI secuil lahan yang berbatasan dengan permukiman warga di tiga desa-Ciketing Udik, Cikiwul, dan Sumur Batu-Dinas Kebersihan DKI Jakarta membuang 6.250 ton sampah buangan warga DKI. Sampah-sampah basah dan bau itu dibuang dan ditumpuk begitu saja tanpa diolah dengan baik. Kalau iseng-iseng dihitung, sejak dibukanya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang 16 tahun lalu, berat tumpukan sampah di situ sudah 36 juta ton. Bau menyengat dari tumpukan jutaan ton sampah itu kini bisa dirasakan sampai radius 15 kilometer. Belum lagi pencemaran akibat rembesan cairan hasil pembusukan sampah (lindi) yang meresap ke dalam sumur air tanah yang digunakan warga. Resapan ini terjadi karena lapisan membran geotekstil yang berfungsi menahan rembesan lindi ke dalam tanah tidak berfungsi baik. Ada dugaan, lahan di TPA Bantar Gebang tak seluruhnya dibangun terlebih dulu. Lagi pula banyak saluran lindi yang tak berfungsi, sementara beberapa zona pembuangan tak punya saluran lindi. Pengurukan sampah dengan tanah, yang seharusnya dilakukan secara berkala untuk meredam bau, tak jua dilakukan dengan benar. Dengan demikian TPA ini mirip gunung sampah yang menjulang. Tingginya enam meter lebih. Dari kejauhan saja sudah tercium bau menyengat itu, apalagi yang dekat dengan TPA. Karena sudah muak, warga tiga desa tersebut berkali-kali mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI agar segera memperbaiki sistem pengolahan sampah itu. Surat protes telah dilayangkan ke meja gubernur. Unjuk rasa besar-besaran sudah berulang kali digelar. Sayangnya, anjing menggonggong, kafilah berlalu. MENANGGAPI protes warga di sekitar TPA Bantar Gebang, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi sudah lama ingin mengambil alih pengelolaan pembuangan sampah itu dari tangan Pemprov DKI. Ancaman untuk menutupnya sudah terdengar sejak lima tahun lalu. Ujung-ujungnya, setelah negosiasi sana-sini dengan berbagai uang kompensasi, TPA Bantar Gebang akhirnya dioperasikan kembali. Desember 2003, perjanjian kerja sama antara Pemkot Bekasi dan Pemprov DKI sudah berakhir. Kali ini Bekasi benar-benar ingin mengambil alih pengelolaan TPA Bantar Gebang. Alasannya, DKI banyak melanggar perjanjian kerja sama dengan mengabaikan kelestarian lingkungan di sekitar pembuangan sampah itu. Tarik ulur ihwal penutupan ini jadi seru. Awalnya Pemkot Bekasi meminta agar Pemprov DKI menghijaukan lahan seluas 108 hektar itu dengan tanaman produktif untuk mengurangi pencemaran udara dan air di sekitar pembuangan. Pemprov DKI juga diminta memperbaiki sistem pengangkutan sampah. Selama ini pengiriman sampah dari DKI dianggap melanggar nota kesepahaman yang telah dibuat. Praktiknya, Dinas Kebersihan DKI selalu membuang sampah dalam keadaan basah. Padahal, menurut perjanjian, sebelum dibuang ke TPA, sampah harus dipadatkan dulu supaya lindinya tidak berceceran ke mana-mana. Bekasi juga menuntut agar Pemprov DKI segera membayar dana kompensasi sebesar Rp 8 miliar bagi warga di sekitar TPA Bantar Gebang. Jika sudah dibayarkan, dana itu dapat digunakan membiayai berbagai pembangunan prasarana yang dibutuhkan masyarakat Bantar Gebang. Belakangan DKI memberikan kompensasi sebesar Rp 14 miliar untuk TPA Bantar Gebang. Harapan segera turunnya dana kompensasi itu dikemukakan Ketua Komisi A DPRD Bekasi Hasnul Cholid Pasaribu. Ia mengatakan, bila dana kompensasi segera turun, warga Bantar Gebang dapat menggunakannya untuk memperbaiki jalan, menyediakan obat gratis, dan memperbaiki lingkungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pasaribu mengungkapkan, kemungkinan perpanjangan kontrak penggunaan TPA Bantar Gebang dengan Pemprov DKI itu kecil karena Pemprov DKI banyak melanggar ketentuan pembuangan sampah. Ada tiga hal yang menjadi catatan penting bagi DKI: bau sampah yang masih belum dapat ditangani hingga saat ini, truk-truk pengangkut sampah yang sering tidak ditutup sehingga lindi berceceran di sepanjang jalan menuju TPA Bantar Gebang, dan adanya TPA liar di luar area TPA resmi yang belum dikendalikan. BERKALI-KALI Pemkot Bekasi mengancam akan menutup TPA Bantar Gebang. Berulang kali pula Pemkot Bekasi menelan ludahnya sendiri. Setelah melewati lobi panjang, Pemkot Bekasi setuju memperpanjang lagi pengoperasian TPA Bantar Gebang. Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso akhirnya sepakat menggunakan kembali TPA Bantar Gebang untuk menampung sampah warga Jakarta terhitung 1 Januari 2004. Syaratnya, segala biaya dan pengoperasian selama penggunaan TPA yang tidak disebutkan batas waktunya itu ditanggung DKI. Pengelolaannya beralih ke Pemkot Bekasi yang bisa bekerja sama dengan pihak ketiga. Kesepakatan itu tertuang dalam keputusan bersama antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi tentang kerja sama TPA Bantar Gebang. Kesepakatan itu dibuat setelah pengoperasian TPA Bantar Gebang diperpanjang lagi dengan perjanjian tambahan atau adendum kedua yang ditetapkan di Jakarta, 22 Desember 2003. Bekasi tentu mengharapkan dana kompensasi yang lebih besar dengan menarik ulur ucapannya sendiri. Namun, hal itu ditampik Tjandra Oetama, Ketua Tim Pengelola TPA Bantar Gebang Pemkot Bekasi. "Ini semua demi masyarakat," katanya. "Kasihan mereka sudah bertahun-tahun merasakan dampak kerusakan lingkungan akibat TPA Bantar Gebang." Dalam keputusan bersama antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi itu ditetapkan lima hal, antara lain mengakhiri perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi sesuai dengan nota kesepahaman sejak 31 Desember 2003; DKI masih harus tetap melaksanakan kewajibannya seperti tertuang dalam nota kesepahaman sebelumnya; terhitung sejak 1 Januari 2004 DKI boleh memanfaatkan TPA Bantar Gebang selama daya tampung lahan memungkinkan secara teknis dan tanggung jawab pengelolaannya oleh Pemkot Bekasi. Selain dana kompensasi, Pemkot Bekasi masih meminta lagi uang retribusi sampah sebesar Rp 85.000 per ton kepada DKI. Usulan itu kontan saja membuat DKI berang. Gubernur DKI Sutiyoso merasa dilecehkan oleh Pemkot Bekasi. Tiba-tiba, secara sepihak, gubernur yang pernah menjadi Pangdam Jaya ini tidak mau lagi membuang sampah di Bantar Gebang dan memindahkan tumpukan ribuan ton sampah ke daerah Cilincing dan Rorotan, Jakarta Utara. Gerbang TPA Bantar Gebang pun digembok. Tak satu pun truk yang boleh masuk ke lokasi tersebut. Kepala Dinas Kebersihan DKI Selamat Limbong mengatakan, penarikan uang retribusi itu tidak masuk akal karena lahan TPA Bantar Gebang milik DKI. Demikian juga dengan segala fasilitas yang ada di dalam TPA. Semuanya aset DKI. Pembuangan sampah ke rawa-rawa jelas menunjukkan ketidaksiapan DKI mengelola sampah warganya. Bagaimana tidak, rawa-rawa yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air untuk mengurangi banjir di Jakarta malah diuruk dengan ribuan ton sampah. Pembuangannya pun dilakukan dengan sistem terbuka. Meski berulang kali menyatakan tidak akan meneruskan pemakaian TPA Bantar Gebang, DKI terbukti kelabakan juga ketika TPA itu akhirnya benar-benar ditutup. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong di Bogor yang tadinya bisa dipakai membuang sampah milik DKI pun ditolak mentah-mentah oleh warga. Warga tidak yakin Pemprov DKI akan mengelola sampah sesuai dengan ketentuan teknis yang ada. Kini TPA Bantar Gebang benar-benar sudah berhenti beroperasi. Setelah tidak lagi diblokir oleh warga, TPA Bantar Gebang ditutup sendiri oleh Gubernur Sutiyoso. Ribuan pemulung pulang kampung. Sebagian pemulung sudah hijrah ke Cilincing, kembali mengais tambang emas mereka yang berpindah tempat. (LUSIANA INDRIASARI) Post Date : 10 Januari 2004 |