Rencana realisasi Ciangir sebagai pengganti TPST Bantar Gebang kembali menyeruak, ditargetkan 2010 akan beroperasi. Padahal, konsep dinilai belum matang. Pro dan kontra pun kembali menguat.
Wajah HM Jaya tampak gelisah saat kami memuji rumahnya yang mentereng dibanding warga lainnya di Desa Ciangir, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Dia pun mondar-mandir di teras rumah sembari mengisap rokok yang terselip di jemarinya. “Ini semua jerih payah saya dagang emas. Saya juga punya beberapa petak sawah,” tandas Jaya yang menjabat Kepala Desa Ciangir periode 1987 – 2007.
Mendadak, wajah Jaya berubah tegang saat ditanya kronologi pembebasan tanah warga Ciangir pada 1992 oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dia mengisap rokok lagi dengan kuat sambil berkata, “Itu cerita lama. Saya sudah banyak yang lupa bagaimana kronologinya. Tapi saya akan menjawab,” cetus dia ketika ditemui Koran Jakarta.
Soal pembebasan tanah seluas 98 hektare itu, jelas Jaya, sebelum turun Surat Keputusan DKI Jakarta, ada pihak ketiga yang membeli tanah warga. Pihak ketiga itu akhirnya menjual ke Pemprov DKI. Tapi, saat itu, warga juga berbodong-bondong menjual tanahnya dengan harga 14.000 rupiah per meter perseginya, tidak ada paksaan kepada warga untuk menjualnya. “Warga tahu, tanahnya itu diperuntukan untuk pembuangan sampah akhir sebelah barat,” ujar Jaya. Sedangkan Bantar Gebang, Bekasi, merupakan tempat pembuangan akhir untuk sebelah timur. Pengoperasian tempat pembuangan sampah Ciangir akan dilaksanakan bila Bantar Gebang sudah tidak mampu lagi menampung sampah warga Jakarta.
Akhirnya, pada 1996, tanah tersebut dikuasai Pemprov DKI. Setahun kemudian, dibarikade dengan tembok beton guna memisahkan lahan warga dan Pemprov DKI. Tidak heran bila warga menjuluki lahan seluas 98 hektare itu sebagai “Tanah Pemprov DKI”.
Kebijakan tersebut, kata Jaya, sempat menimbulkan pro dan kontra di antara warga. Mereka yang setuju, lantaran warga Ciangir diiming-iming lapangan pekerjaan bila daerah itu menjadi tempat pembuangan sampah. Sedangkan yang menolak, karena khawatir desa tercemar dan bernasib seperti Bantar Gebang yang kumuh.
Wajar bila warga cemas. Pasalnya, konsep pengolahan sampah di Bantar Gebang memakai metode sanitary landfill. Konsep mengolah sampah dengan cara membuang dan menumpuk, memadatkan, kemudian menutup sampah dengan tanah. Jika ketinggian sampah mencapai 15 meter, maka penimbunan dipindah ke zona lain.
Pemprov DKI memilih Bantar Gebang lantaran lokasi itu cocok untuk penerapan sanitary landfill. Lahannya berkontur cekung dan jauh dengan permukiman penduduk. Akhirnya, pada 1986, Bantar Gebang resmi dioperasikan dan terdiri dalam lima zona dengan total area seluas 108 hektare.
Pro dan Kontra
Nyatanya, penerapan sanitary landfill versi Bantar Gebang tidak seperti rencana di atas kertas. Bantar Gebang dalam kondisi instabil dan kerap terjadi longsor. Zona III merupakan area yang paling rawan dan pernah menelan korban. Bantar Gebang juga menimbulkan masalah sosial lain ketika jumlah pemulung semakin tidak terkendali. Belum termasuk akumulasi masalah pencemaran air, udara, dan tanah.
Wajar, bila warga Ciangir merasa keberatan dengan rencana Pemprov DKI membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di sana. Sejak wacana tersebut kembali mencuat pada akhir 2008, Kepala Desa Ciangir, Suherdi, mengaku kerap menjadi bulan-bulanan warga yang menolak rencana tersebut. Awalnya, dia mengaku tidak tahu tentang akar permasalahan. Tapi dia mencoba mengusut kenapa Pemprov DKI bisa memiliki lahan di Desa Ciangir. “Sekitar pertengahan ‘90-an, seluruh kepala desa di Tangerang pernah dikumpulkan dan ditanya desa mana yang bisa menyediakan lahan untuk pembuangan sampah dari Jakarta. Dari sekian kepala desa yang hadir, hanya Kepala Desa Ciangir yang bersedia,” ungkap Suherdi.
Saat itu pun warga Ciangir, kata Suherdi, tidak 100 persen mendukung kebijakan tersebut, hingga saat ini. Warga khawatir pembangunan TPST berdampak pada pencemaran lingkungan. Sebab lokasi TPST hanya dibatasi dengan tembok beton dengan perkampungan warga dan dibelah Sungai Cimanceri milik Pemkab Bogor.
Konsep
Di sisi lain, warga pernah diajak pihak developer Pemprov DKI untuk studi banding penerapan TPST Ciangir ke tempat pengolahan sampah menjadi kompos di Bali, akhir April lalu. Ada 45 warga yang berangkat ketika itu. Warga juga sempat diajak ke pengolah sampah di Kranggan, Pondok Gede, Bekasi.
Menurut Suherdi, kedua upaya meyakinkan warga tersebut dinilai gagal. Yang ada warga kecewa lantaran apa yang diungkapkan developer tidak seperti apa yang dilihat. “Jenis sampahnya seperti sudah dipersiapkan, hanya tanaman jagung yang sudah mati dan seakan-akan mudah diolah. Tapi bukan sampah pasar. Mesin pengolahan di Kranggan itu juga tidak relevan diterapkan di Ciangir karena masih manual,” ungkap dia memberi kesaksian.
Padahal, bila Ciangir beroperasi, bakal dipasok sampah 1.500 ton dari Jakarta dan dan 1.000 ton dari Tangerang. Setidaknya, bakal ada 70 truk berkapasitas masing-masing dua meter kubik keluar masuk Ciangir.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Tempat Pembuangan Akhir (UPT TPA) Dinas Kebersihan DKI, Mutiha L Toruam, konsep TPST Ciangir akan menggunakan teknologi mutakhir dan berbeda dengan di Bantar Gebang. Bahkan, digadang-gadang Ciangir bakal dijadikan percontohan TPST di Indonesia.
Hal itu, menurut Mutiha, memungkinkan, sebab 50 hektare dari 98 hektare di area itu akan digunakan sebagai TPST. Sedangkan sisanya untuk lahan penghijauan dan penelitian.
Sedangkan metode pengolahan sampah masih menggunakan sanitary landfill. Tapi sampah tidak ditumpuk pada lahan yang datar seperti di Bantar Gebang. Tanah terlebih dahulu digali dengan kedalaman tertentu dan dibeton agar cairan sampah tidak merembes dan mencemari tanah. Lubang galian tersebut dibagi dalam lima zona agar proses pengolahan sampah dapat dilakukan secara bergantian.
Kemudian, gas yang dihasilkan dari penimbunan sampah juga akan dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) berdaya 15 megawatt. Sedangkan sampah yang membusuk diolah menjadi pupuk organik dengan sistem pabrikasi. Sisa sampah juga diolah menjadi briket. Sedangkan sisa dari hasil pengolahan akan dimusnahkan dengan insenerator. Tapi untuk hal terakhir masih dalam kajian.
Menurut Mutiha, untuk menjalankan proyek TPST Ciangir, Pemprov DKI akan mengucurkan investasi 700 miliar rupiah. Rencananya pada 2010, pembangunan sanitary landfill akan dimulai. Sedangkan pihak yang akan mengelola TPST adalah pihak ketiga melalui tender. Warso
Post Date : 25 Mei 2009
|