|
Banyak wilayah yang tidak pernah kebanjiran sekarang tidak luput kena banjir juga. Jakarta banjir lagi. Tak tanggung-tanggung, lebih dari 50% wilayah Jakarta terendam air. Karena itu, seorang kuli tinta memberikan julukan baru buat Jakarta: ''Jakarta Oceanarium''. Wartawan yang lain menyebut ''Jakarta Under Water''. Konon, banjir kali ini jauh lebih parah dibandingkan dengan lima tahun lalu. Banyak wilayah yang tidak pernah kebanjiran sekarang tidak luput kena banjir juga. Mpu Peniti sendiri hanya melongo ketika melihat Jakarta banjir. Raut wajahnya galau. Beliau lirih berkata, sudah lengkap penderitaan bangsa ini. Setidaknya ada 11 bencana di masa pemerintahan SBY-JK: tsunami, gempa, kecelakaan pesawat udara, kapal laut tenggelam, kecelakaan kereta api, flu burung yang semakin menjadi-jadi, demam berdarah, kelaparan haji, banjir lumpur di Sidoarjo, hingga banjir air bah. Sepertinya negeri ini benar-benar terkutuk. Yang membuat beliau terhibur adalah wajah-wajah korban banjir. Ketika muncul di televisi, kelihatan lebih banyak senyum daripada terlihat sedih dan frustrasi, walaupun berita-berita menyebutkan bahwa bantuan dari pemerintah tidak menyentuh para korban. Kebanyakan upaya dan bantuan, seperti evakuasi korban dan dapur umum, lebih banyak dilakukan swadaya oleh masyarakat di sekitarnya. Walaupun korban tampak pasrah, musibah bencana alam di negeri ini tetap menampilkan skenario lama. Selama banjir melebar, sejumlah pejabat pasti meninjau. Entah sungguh-sungguh prihatin atau untuk public relations bahwa pejabat tinggi sudah memperlihatkan kepedulian dan solidaritas. Usai itu, kalau situasinya makin melebar dan makin parah, mulailah permainan salah-menyalahkan. Dalam kasus banjir kali ini sama pula kisah dan ceritanya. Malah ada cerita yang beredar bahwa dua pejabat saling ribut soal pembukaan pintu air. Semata-mata karena si pejabat tidak mau ada wilayah elite di Jakarta kena banjir. Tentu saja cerita ini dibantah. Tapi bagaimana mungkin ada asap kalau tidak ada api. Setelah itu, kelanjutan cerita biasanya kabur. Pernah seorang konsultan asing mengeluh. Menurut dia, kelemahan stafnya di Indonesia adalah masalah follow-up dan koordinasi. Mungkin musibah banjir kali ini bisa menjadi inspirasi tentang pendidikan dan pembelajaran yang pas pula soal follow-up dan koordinasi. Jakarta, menurut cerita, lebih dari 40% wilayahnya di bawah ketinggian air laut. Parahnya, Jakarta juga dikepung 13 sungai beserta anak sungai dan sejumlah kanal. Melihat situasi ini, memang seharusnya ada upaya khusus membebaskan Jakarta dari banjir. Biayanya pasti sangat mahal. Tapi wajib dilakukan. Kalau dibiarkan begitu saja, pasti situasinya akan runyam. Banjir akan menjadi langganan bencana. Ini salah satu bukti bahwa kita selalu lemah dalam fungsi follow-up dalam manajemen. Dalam manajemen ada pemeo beken: ''Leadership has to do with direction. Management has to do with the speed, coordination and logistics in going in that direction.'' Manajemen musibah banjir juga membutuhkan ''leadership'' dan ''coordination''. Cuma saja, masalah koordinasi ini memang banyak dikritik berbagai pihak. Misalnya saja, selama musibah banjir kali ini tidak diumumkan bahwa Jakarta menjadi daerah bencana. Padahal, menurut berita, lebih dari 300.000 orang kehilangan rumah. Lantaran jaringan komunikasi terganggu, diduga lebih banyak lagi korban tidak terdata dan tidak pula tersentuh. Pemerintah juga tidak menyediakan tempat pengungsian. Akibatnya, korban banjir mengungsi asal saja. Ada yang mengungsi di kuburan, bantaran sungai, bantaran kereta api, masjid, dan sekolah. Malah diberitakan, ada yang sampai mengungsi seadanya di emperan toko, mal, dan gedung-gedung komersial. Di samping cerita sedih, ada juga cerita kemanusiaan yang berbeda, yang menunjukkan kreativitas dan jiwa entrepreneur. Di depan kantor saya di Kemang, begitu banjir datang, beberapa anak muda langsung menjadi entrepreneur dadakan. Dengan modal gerobak sampah, mereka menyediakan jasa menyeberangi kawasan banjir dengan gerobak itu. Sekali menyeberang Rp 10.000. Lumayan ramai bisnis mereka. Tak lama kemudian, datang bantuan perahu karet dari pemadam kebakaran. Percaya atau tidak, perahu karet itu ditolak kehadirannya beramai-ramai, karena akan membunuh bisnis dadakan mereka. Dan akhirnya pemadam kebakaran kalah pengaruh dan meninggalkan tempat. Hari kedua banjir besar, saya masih harus mengadakan meeting di beberapa tempat. Dalam perjalanan saya, mencari tempat-tempat yang kering dan bisa dilalui mobil bukan pekerjaan mudah. Kami sempat berputar-putar mencari celah jalan. Uniknya, hampir di setiap daerah tempat banjir meluap, saya melihat banyak sekali orang menonton banjir. Jadi, banjir ternyata menghibur dan seru juga. Banjir memiliki daya tarik sebagai tontonan. Malah, di dekat kantor saya, ada sungai yang dipenuhi pemancing. Apabila penduduk Jakarta ada 8-10 juta, dan 70 wilayah Jakarta sudah terendam air, dapat kita simpulkan bahwa banjir kali ini sedikitnya telah mempengaruhi kehidupan 5 juta orang. Tak mengherankan apabila Jakarta dan mesin ekonominya lumpuh total. Kafi Kurniapeka@indo.net.id Post Date : 08 Februari 2007 |