Banjir yang Setia Menyapa

Sumber:Kompas - 26 November 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Hanya banjir yang setia menyapa warga Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Mereka akrab dengan bencana itu, hingga pejabat pun tidak lagi hirau.

Seringnya banjir dan minimnya kepedulian pemimpin membuat mereka tak lagi banyak berharap. Pemimpin yang mereka harapkan peduli, tak juga menyapa, walau hanya sekadar datang, bahkan lurah sekalipun. Kekesalan itu tergurat jelas di wajah Jesica Purba, anak Netty Lumban Gaol.

Ibunya yang menjanda harus membersihkan rumah seusai banjir surut, bersamanya. Aktivitas itu menjadi rutinitas saat hujan deras mengguyur Medan dan sekitarnya, terutama jika hujan terjadi di hulu sungai di Kabupaten Karo. "Kami capek, capek sekali. Kami belum makan dari pagi," katanya.

Abang kandung Jesica, Bastian Purba, terbaring di papan kayu di pelataran rumah tetangganya. Bastian demam sebelum banjir datang, sedangkan ibunya duduk di dekat Bastian sambil memegang tas hitam yang berhasil dia selamatkan.

Bukan hanya rasa capai, tetapi kehilangan barang dan kerusakan perabot rumah juga menjadi risiko banjir. Sudah berkali-kali itu terjadi, dan bagi keluarga Netty itu bukan hitungan. "Yang penting semua selamat," katanya. Dan, Jesica tidak peduli kepada siapa yang bertanya tentang banjir, karena semua itu tidak mengubah penderitaannya.

Sebanyak 210 jiwa dari 45 keluarga yang tinggal di kompleks pamen, Padang Bulan, itu memendam amarah. Mereka tidak berbuat salah, tetapi harus terus menghadapi banjir. Kendati tahun-tahun sebelumnya banjir pernah menyapa, tetapi setahun belakangan bencana itu lebih sering terjadi.

Warga menuding pembangunan di bantaran menjadi penyebab menyempitnya sungai. Pembangunan itu juga disinyalir membuat sungai mendangkal. Akibatnya, aliran Sungai Babura terhambat.

Hanya banjir yang menyapa. Meski tudingan itu ditujukan kepada pejabat Pemerintah Kota Medan yang mengizinkan pembangunan di bantaran sungai, toh, mereka pun belum sudi menemui warga. Di lokasi banjir hanya ada posko banjir beratap seng, tanpa petugas, tanpa logistik.

Melihat banyak wartawan datang, sikap warga mulai berbeda. Mereka enggan menyapa. "Saya malas, biarin saja mereka. Toh, tidak ada efek apa-apa bagi kami," kata Leo Damanik.

Leo berpikir, bagaimana agar pemerintah mengambil sikap atas musibah yang semakin sering itu. Mereka mulai mengungkit hak pilih warga. Setiap pemilihan kepala daerah selalu ada bujuk rayu agar memilih calon tertentu. "Kami tidak akan memilih pemimpin yang tidak peduli pada kami. Dia harus bisa selesaikan banjir di Medan," katanya. (NDY)



Post Date : 26 November 2007