|
Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi setiap musim hujan seolah diterima sebagai kemestian alam. Total kerugian yang diakibatkan bencana alam ini triliunan rupiah. Namun, nyaris tak ada upaya untuk mencegah dan mengurangi dampaknya. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian nasional akibat bencana alam reguler, bukan bencana besar seperti letusan gunung atau gempa dan tsunami, rata-rata sekitar Rp 30 triliun. ”Sekitar 85 persen total kejadian bencana setiap tahun adalah bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan angin puting beliung,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho. Jika dihitung berdasarkan persentase, kerugian akibat banjir dan longsor bisa mencapai Rp 25 triliun setiap tahun. ”Kerugian ini hanya dari segi fisik, belum termasuk kerugian sosial dan ekonomi karena tersendatnya transportasi,” katanya. Hanya dalam kurun waktu empat hari, Minggu (6/1) hingga Rabu (9/1), banjir, longsor, dan puting beliung melanda 52 kabupaten/kota di Indonesia. Data sementara dari BNPB, 14 orang meninggal, 6 orang hilang, 8 luka-luka, 920 rumah rusak, dan ribuan rumah terendam banjir. Banjir kali ini termasuk parah karena memutus Jalan Tol Jakarta-Merak sehingga mengganggu pasokan logistik Jawa- Sumatera. Sebanyak 19.674 rumah di 44 kecamatan di Banten terendam banjir, memaksa 61.689 orang mengungsi. ”Banjir di Banten melumpuhkan ekonomi. Banyak pabrik berhenti berproduksi sehingga kerugian bisa ratusan miliar rupiah,” katanya. Jika kawasan hilir dilanda banjir, kawasan hulu dilanda longsor. Jalur Puncak di Kampung Puncak, Ciloto, Cianjur, Jawa Barat, tertutup longsoran, Rabu (9/1), dan terputus hingga beberapa hari. Walau dampaknya belum sebesar banjir Jakarta-Banten tahun 2007, yang menyebabkan kerugian hingga Rp 4,8 triliun, bencana yang mengepung Ibu Kota kali ini tak bisa dibilang enteng. Apalagi saat ini belum mencapai puncak musim hujan. ”Bencana ini diperkirakan akan terus bertambah, mengingat musim hujan masih berlangsung sampai Maret 2013. Seperti tahun-tahun sebelumnya, puncak kejadian bencana adalah Januari,” kata Sutopo. Faktor alam Guru Besar Geologi Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dwikorita Karnawati mengatakan, alam Indonesia yang berbukit dan curah hujan tinggi rentan dilanda banjir dan longsor. Meluapnya Sungai Ciujung beberapa hari terakhir sehingga membanjiri kawasan Banten memang dipicu tingginya curah hujan yang mencapai 130 mm per hari. Kondisi ini menyebabkan debit Sungai Ciujung mencapai 2.600 meter kubik per detik. Debit ini, menurut Sutopo, termasuk tinggi karena melebihi debit periode ulang 50 tahun, 2.450 meter kubik per detik. Mengapa banjir meluap hingga ke jembatan Tol Merak-Jakarta? ”Karena jembatan didesain menampung kapasitas debit Ciujung hanya 1.000 meter kubik per detik,” ujar Sutopo. Dalam catatannya, tol pernah terendam banjir beberapa kali, yaitu 11 Februari 2001, 19 Februari 2004, 15 Januari 2012, dan terakhir 10 Januari 2013. Pencegahan Walau ada peran faktor alam, baik dari kondisi topografi maupun curah hujan, menurut Dwikorita, bencana banjir dan longsor bisa dicegah. ”Kita mungkin tidak bisa mengeliminasi bencana, tetapi bisa mengurangi. Kita bisa juga mencegah,” kata ahli longsor ini. Untuk mencegah longsor bisa dengan pendekatan rekayasa, baik fisik maupun sosial. ”Namun, lebih penting adalah integrasi tata ruang dengan peta zona kerentanan longsor yang ada. Kalau telanjur ada penduduk seharusnya ada pendekatan untuk dipindahkan. Masyarakat perlu dikasih tahu risikonya atau kalau perlu dipaksa,” katanya. Menurut Dwikorita, zona merah yang rentan longsor seharusnya dikosongkan dari permukiman atau infrastruktur yang penting. Masalahnya, pemerintah kerap melanggar peta rawan bencana. Misalnya, kasus Hambalang, wilayah itu jelas masuk peta rawan longsor, tetapi tetap dibangun infrastruktur. ”Padahal, sebelumnya itu daerah kosong. Untuk pengembangan baru semestinya bisa dicari daerah lebih aman. Memang bisa dibangun di sana, tetapi perlu biaya mahal karena harus ada rekayasa terhadap ancaman longsor,” katanya. Faktor manusia (antropogenik) memang lebih dominan menyebabkan banjir dan longsor. Dengan menganalisis data frekuensi dan curah hujan di Jawa dalam 30 tahun terakhir, Sutopo menemukan data curah hujan maksimum tahunan relatif stabil. Namun, kenapa banjir meningkat? ”Artinya, faktor antropogenik, khususnya perubahan penggunaan lahan, lebih dominan memicu banjir.” Sutopo menambahkan, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang menyebabkan banjir di Banten kali ini dalam kondisi kritis. Tutupan hutan hanya 11 persen dari luas DAS dan laju sedimentasinya 2,5 mm per tahun (ambang batasnya 2 mm per tahun). Peneliti geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Edi Prasetyo Utomo, mengatakan, banjir hanya bisa diatasi dengan perbaikan lingkungan di daerah hulu, perbaikan DAS, dan penataan kawasan di daerah hilir. ”Banjir terjadi karena air lari ke bawah sangat banyak dalam waktu cepat. Karena itu, bagian hulu harus dibangun dam pengendali (check dam) dan resapan agar air tak terlalu cepat turun dalam waktu bersamaan,” katanya. ”Air di dalam dam pengendali seharusnya dimasukkan ke tanah. Itu harus dilakukan secara intens.” Visi jangka panjang Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan, banjir dan longsor akan terus terjadi selama tidak ada upaya perbaikan lingkungan dan visi pembangunan yang peduli pada keseimbangan. ”Anggaran bencana lebih banyak dihabiskan untuk penanggulangan pascabencana, bukan pencegahan,” katanya. ”Seharusnya secara bertahap anggaran bencana digunakan untuk mengatasi akar masalah banjir dan longsor,” katanya. Eko mengkritik pemborosan anggaran untuk tanggap darurat yang tak tepat sasaran. Contohnya, pengadaan puluhan perahu karet untuk evakuasi. ”Itu tidak logis. Seharusnya yang dibenahi adalah sistem peringatan dini sehingga orang tidak perlu menunggu dievakuasi dengan perahu karet setelah banjir sampai seleher,” katanya. Ahmad Arif Post Date : 12 Januari 2013 |