Banjir "Uang" di Citarum

Sumber:Suara Pembaruan - 12 Desember 2008
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Anih (73), warga Kampung Balero, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung sudah tidak ingat lagi, sejak kapan rumahnya mulai kebanjiran. Yang pasti, dua kali dalam setahun, dia dan suaminya harus membersihkan rumahnya dari lumpur sisa banjir, akibat luapan Sungai Citarum.

Rumah Anih letaknya sangat dekat dengan Sungai Citarum, kurang dari 100 meter jaraknya. Saat SP menemuinya, dia masih membereskan barang-barangnya yang terendam air sejak pekan lalu. "Sudah langganan seperti ini," ujarnya berusaha memaklumi bencana banjir tersebut.

Banjir di tempat itu berulang dari tahun ke tahun. Ribuan rumah yang tersebar di empat kecamatan, masing-masing, Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, Majalaya, dan Bojongsoang sudah menjadi langganan terendam air dan lumpur yang berasal dari sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat ini.

Koordinator Aliansi Rakyat Untuk Citarum (ARUM), Dadang Sudardja mengatakan banjir berawal dari buruknya tata kelola daerah aliran Sungai Citarum. Mulai dari gundulnya daerah tangkapan air pada wilayah hulu di kawasan Gunung Wayang, Kabupaten Bandung, pem- buangan limbah rumah tangga, limbah padat, dan industri, sampai banyaknya penduduk yang tinggal di daerah bantaran sungai.


"Setiap upaya untuk memperbaiki Citarum tidak terintegrasi," tuturnya.

Pemerintah melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional sudah menyusun road map (peta jalan) untuk menyelesaikan masalah di sungai yang sering disebut sebagai sungai terkotor di dunia ini. Dalam estimasi pemerintah, dibutuhkan dana setidaknya US$ 3,5 miliar untuk mengatasi persoalan di sana.

Awal bulan ini, tepatnya pada 5 Desember 2008, pemerintah Indonesia bersepakat dengan Bank Pembangunan Asia (ADB) terkait proyek rehabilitasi Citarum atau disebut Integrated Citarum Water Resource Management Investment Program (ICWRMIP).

Dalam kesepakatan ini, ADB menyetujui paket pinjaman multi tahap senilai US$ 500 juta. Tahap pertama dari pinjaman ini nilainya US$ 50 juta, yang dibagi dalam bentuk pinjaman lunak US$ 30 juta dan sisanya pinjaman komersial. "Program ini untuk jangka waktu 15 tahun dan dibagi dalam empat tahap," ungkap ahli teknik senior ADB untuk sumber daya air, Christoper Morris kepada wartawan di Bandung, Kamis (11/12).

Pinjaman tahap pertama itu, jelas Morris, akan digunakan untuk memperbaiki saluran Tarum Kanal Barat sepanjang 54,2 kilometer, mengalihkan sebagian aliran Sungai Citarum untuk irigasi, industri, dan rumah tangga di Jawa Barat dan Jakarta.

Pinjaman lunak yang bunganya satu persen setiap tahun dengan masa pengembalian 32 tahun itu juga bakal dipakai untuk penyediaan fasilitas sanitasi dan air bersih. Morris mengungkapkan proyek ICWRMIP akan memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat Jawa Barat dan Jakarta karena pada akhir proyek nanti, suplai, dan ketersediaan air menjadi lebih terjamin.

"Itu jadi prioritas karena pembuatan infrastrukturnya dipandang lebih sederhana, mudah, dan bisa mendukung pengadaan air untuk 55 ribu hektare lahan pertanian di Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi. Manfaat tambahannya bisa mendukung penyediaan air untuk kawasan Jakarta," jelasnya.

Meski pemerintah tidak berkewajiban untuk menandatangani pinjaman selanjutnya dari ADB, Dadang memandang kesepakatan ini seharusnya tidak perlu terjadi. "Seharusnya pemerintah itu terbuka kepada publik, apa benar dana dari APBN sudah tidak bisa menanganinya sampai perlu berhutang? Penyelesaian masalah Citarum itu kenapa dimulai dari kawasan hilir? Harusnya terintegrasi," papar Dadang yang menjadi koordinator dari sedikitnya 170 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam negeri, luar negeri, akademisi, dan individu untuk meminta Dewan Direktur ADB untuk menarik diri dari proyek rehabilitasi Citarum.

Menanggapi penolakan itu, Morris mengatakan upaya rehabilitasi kawasan hulu itu sudah dijadwalkan dalam tahap berikutnya pada ICWRMIP. "Selagi tahap pertama berjalan, kita persiapkan untuk perbaikan pasokan air di bagian hulunya. Karena memang butuh waktu dan persiapan, bukan hanya sekadar diberi uang," kata Morris.

Membeli Gunung

Terkait upaya penghijauan kembali daerah kawasan hulu Sungai Citarum, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengajukan usul kepada pemerintah pusat untuk membeli Gunung Wayang. "Kita sharing (berbagi) dananya, karena permasalahan di sana, tanahnya itu milik penduduk," papar dia.

Menurut Heryawan, pilihan membeli gunung dan menghijaukannya merupakan yang paling efektif dibandingkan pilihan lain yang bisa menimbulkan kontroversi. Pilihan lain yang menimbulkan kontroversi, itu antara lain, usul untuk memapas Curug (air terjun) Jompong di Desa Jelegong, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung Barat.

Heryawan juga memaparkan pengerukan sungai sudah pernah dilakukan dua tahun lalu dengan biaya Rp 80 miliar dari pemerintah pusat. "Dua tahun kemudian, sudah banjir lagi."

Meski rumit dan kompleks, mau tidak mau, pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum yang memiliki kewenangan atas pengelolaan Sungai Citarum harus segera bekerja. Pasalnya, tidak sedikit kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir seperti di Bandung selatan.

Camat Majalaya, Yiyin Sodikin mengaku, banjir di wilayahnya pada tahun ini sudah terjadi 10 kali. Akibatnya, ribuan rumah terendam banjir. Tak hanya itu, perkantoran, sekolah, dan pabrik pun terendam banjir. Diperkirakan kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 10 miliar.

Selain itu, banjir pun mengakibatkan aktivitas 15 sekolah, dua perkantoran, dan delapan pabrik lumpuh. "Sawah seluas 26 hektare pun terendam banjir," katanya. Itu baru kerugian pada satu dari empat kecamatan yang menjadi langganan banjir di kawasan Bandung selatan.

Bagaimana jadinya kalau Sungai Citarum yang tenaga airnya juga dipakai untuk menyediakan listrik pada sistem Jawa-Bali, irigasi, dan kebutuhan sehari-hari masyarakat di wilayah Jawa Barat dan Jakarta menjadi berkurang kemampuannya? [SP/Adi Marsiela]



Post Date : 12 Desember 2008