Palembang, Kompas -Bencana banjir yang melanda sebagian besar wilayah Sumatera Selatan pada awal tahun 2010 telah menewaskan lima warga. Selain korban jiwa, kerugian materiil ditaksir mencapai miliaran rupiah.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, kelima warga yang meninggal dunia berasal dari Kota Palembang (1 orang), Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (2 orang), Kabupaten Muara Enim (1 orang), dan Kota Prabumulih (1 orang). Kelimanya meninggal selama kurun awal Februari hingga awal Maret 2010. Adapun korban banjir di 14 kabupaten/kota Sumsel berkisar 80.000 kepala keluarga.
Data pendukung dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga menunjukkan, kerugian materiil dan nonmateriil meliputi 15.600 hektar lahan sawah terendam, 4.000 hektar tanaman padi menjadi puso karena tergenang air lebih dari seminggu, kerusakan 11 jembatan penghubung, dan kerusakan jalan negara-provinsi-kabupaten sepanjang lebih 100 kilometer akibat tergenang air atau terkena longsor.
Menurut Kepala Jaringan Divisi dan Kampanye Walhi Sumsel Yuliusman, di Palembang, Kamis (4/3), ada lima faktor utama yang menyebabkan bencana banjir di Sumatera Selatan semakin parah dari tahun ke tahun, yakni hutan yang semakin rusak, alih fungsi lahan hijau menjadi perkebunan sawit. Selain itu, semakin maraknya pembukaan hutan menjadi kuasa pertambangan batu bara, iklim ekstrem yang tidak diimbangi konsep tata ruang, dan eksploitasi sumber daya alam di daerah aliran sungai.
Yulius mengatakan, pihaknya selalu melakukan pencatatan setiap kali terjadi bencana banjir di Sumsel. Selama dua tahun terakhir, frekuensi munculnya banjir cenderung bertambah. Jika pada tahun 2008 frekuensi banjir mencapai 40 kali, pada tahun 2009 frekuensinya meningkat menjadi 45 kali.
”Namun, jika diamati selama dua-tiga tahun terakhir, dampak yang paling parah muncul justru pada bencana banjir pada awal 2010. Ini menunjukkan bahwa kualitas lingkungan hidup di Sumsel bukannya bertambah baik, tetapi semakin menurun,” kata Yulius.
Degradasi hutan
Dijelaskan, hutan di Sumsel terus menyusut karena berbagai alasan dengan laju penyusutan 100.000 hektar per tahun. Faktor pemicu dominan antara lain pertambangan, ekspansi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
”Ini masih diperparah faktor pembalakan liar yang terus berlangsung di beberapa tempat, misalnya di hutan Pagar Alam, Musi Rawas, Ogan Komering Ilir, dan Musi Banyuasin. Hal itu semakin memperburuk wajah hutan di bumi Sriwijaya,” katanya.
Hasil pengamatan citra satelit selama 2002-2008 menunjukkan, sebanyak 62,13 persen kawasan hutan atau seluas 2,3 juta hektar di Sumsel telah berubah menjadi kawasan perkebunan, pertanian, dan sebagainya. ”Jadi, saat ini praktis hanya 37,87 persen atau seluas 1,4 juta hektar kawasan hutan yang masih tetap produktif,” ujar Yulius.
Pertambangan batu bara
Selain itu, semakin maraknya pemberian izin kuasa pertambangan batu bara dianggap sebagai penyebab banjir. Diklaim demikian karena sebagian aktivitas dari penerima kuasa pertambangan ini berada di areal hutan lindung yang masih produktif.
Selama kurun setahun, ada 64 izin kuasa pertambangan yang diberikan pemerintah kabupaten/kota di Sumsel kepada mitra kerjanya. Total luas hutan yang dieksploitasi mencapai lebih kurang 20.000 hektar dengan kondisi terparah berada di Kabupaten Lahat. Di kabupaten tersebut, terdapat enam perusahaan negara dan swasta yang memegang izin kuasa pertambangan batu bara dengan lokasi menyebar di sekitar tujuh kecamatan.
Status siaga
Sementara itu, Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra seusai meninjau di sejumlah titik di Kecamatan Seberang Ulu menetapkan status siaga banjir dengan mempertimbangkan skala dan dampak selama Februari- Maret 2010. Dengan status siaga ini, ujung tombak penanganan banjir ada di tangan lurah, camat, dan beberapa elemen siaga bencana.
Mengenai penyebab banjir pada awal tahun 2010 ini, Eddy menjelaskan bukan karena faktor drainase kota yang kurang baik, tetapi disebabkan faktor kiriman air dari wilayah hulu Sungai Musi ke Kota Palembang. Selain itu, faktor lainnya terkait siklus pasang sehingga kenaikan permukaan air laut di Selat Bangka masuk ke aliran Musi. (ONI)
Post Date : 05 Maret 2010
|