Banjir Terparah

Sumber:Indopos - 01 Februari 2008
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
PASURUAN - Banjir di Kota dan Kabupaten Pasuruan, Rabu (30/1), benar-benar yang terparah dalam sejarah daerah ini. Ribuan rumah di kota dan kabupaten tergenang. Lebih dari 500 rumah dan puluhan hektare sawah rusak. Lima orang tewas. Lalu lintas jalur pantura macet. Bahkan Kota Pasuruan terisolasi hingga 8 jam.

Dibanding banjir yang pernah terjadi di Pasuruan sebelumnya, banjir kemarin terbilang merata. Air bah setinggi 1 hingga 2 meter menggenangi 44 desa di 12 kecamatan di Kabupaten Pasuruan. Yakni kecamatan Pohjentrek, Kraton, Kejayan, Grati, Rejoso, Bangil, Wonorejo, Gondang Wetan, Pasrepan, Pandaan, Prigen, dan Purwosari. Kerusakan fisik akibat banjir di kabupaten ini diperkirakan mengakibatkan kerugian senilai Rp 5,8 M.

Di wilayah kota, banjir menerjang 20 kelurahan di tiga kecamatan. Yakni Gadingrejo, Bugulkidul, dan Purworejo. Kota Pasuruan lumpuh total hinga siang kemarin.

Banjir tak cuma menghancurkan rumah, sawah, atau jembatan. Tapi juga merenggut lima nyawa. Empat di antaranya berasal dari Kabupaten Pasuruan, dan satu dari Kota Pasuruan.

Lima orang tewas asal kabupaten ialah Ruchilah, 60, warga Bayeman Gondangwetan; Farizi, 16, warga Wonosari Gondangwetan; Ropianah, 70, warga Ketangirejo, Kejayan; dan Siti Tianah, warga Kebotohan. Sedangkan korban tewas asal kota ialah Slamet, 70, warga Tamanan.

Para korban tewas dalam kondisi mengenaskan. Slamet, misalnya, tewas setelah terseret air bah. Jasadnya baru ditemukan keesokan harinya dalam kondisi tertindih lemari.

Sedangkan Ropianah, misalnya, ditemukan tewas sekitar pukul 19. 30. Tubuh wanita baya itu ditemukan sudah membujur kaku dengan posisi tertimbun reruntuhan rumah yang ambrol akibat banjir.

Hal yang sama juga terjadi pada Fahrizi. Terjangan banjir yang tidak diduga sebelumnya itu cukup mengagetkan korban. Upaya menyelamatkan diri yang dilakukan korban pun sia-sia. Diduga, korban mengalami kram saat berusaha menyelamatkan diri. Tapi, ia akhirnya tewas.

Banjir Rabu malam itu terasa mencekam di Kota Pasuruan. Setelah dihantam banjir bandang sejak pukul 17.00, seluruh sudut kota amburadul. Ribuan rumah warga tergenang, puluhan hektare sawah rusak. Seorang warga, yakni Slamet, 70, asal Tamanan, meninggal setelah terjebak luapan banjir.

Mendung gelap Rabu sore lalu, tidak disangka telah menjadi isyarat bencana besar bagi kalangan warga Kota Pasuruan. Ketika itu, sebagian besar warga tidak merasa was-was.

Rabu sekitar pukul 16.30, hujan mulai mengguyur Kota Pasuruan. Hanya sebentar, dan sudah mulai berubah menjadi gerimis kecil menjelang Maghrib. Namun sejam kemudian, warga kota dibuat panik. Tanpa diduga, luapan air dari sungai Gembong bergerak cepat ke pusat kota.

Dalam hitungan detik, ketinggian air terus bertambah. Warga pun mulai ribut, dan berlarian tunggang langgang menyelamatkan diri. Menjelang pukul19.00, ketinggian air di jalan-jalan strategis kota sudah mencapai pinggang orang dewasa. Bahkan daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan bantaran sungai hanya menyisakan atap rumahnya saja. Di antaranya sekitar kelurahan Tamanan.

Bagi warga kota, banjir malam kemarin adalah bencana banjir terbesar selama 15 tahun terakhir. Sebab, biasanya yang menjadi korban setiap tahunan hanya daerah-daerah pinggiran sungai. Berbeda dengan malam kemarin, sekitar 80 persen wilayah kota ikut terendam.

Pusat kota, mulai putaran Jl. Untung Surapati (areal Purut), Kebonagung, hingga Jl. Panglima Sudirman hampir semuanya tergenang banjir. Ketinggiannya mencapai 1 - 2 meteran. Kawasan Jl. Hayam Wuruk pun tidak ketinggalan. Kantor Pemkab Pasuruan pun terendam air setinggi satu meter.

Derasnya luapan air sungai Gembong menenggelamkan daerah sekitar Diponegoro, Slagah, Bangilan, dan Kandangsapi. Termasuk rumah-rumah warga.

Seputaran Jl. Raya Soekarno Hatta juga ikut kebanjiran, dan terus berlanjut ke Jl. Niaga, dan Jl. Nusantara. Wajah alun-alun malam itu terlihat seperti lautan air dengan aliran yang cukup deras.

Kedatangan air yang tiba-tiba, sontak membuat seluruh warga kota histeris. Ibu-ibu lari kencang sambil membawa anak-anak mereka menuju daerah yang lebih tinggi. Namun sebagian memilih bertahan di tepi jalan, karena bingung harus mengungsi kemana. Dari setiap sudut pandangan mata mereka, seluruh tempat tidak ada yang bisa selamat dari genangan air.

Warga sekitar Jl. Jawa, tepi sungai Ketempen juga tak luput dari bencana banjir. Mereka justru menjadi korban banjir paling parah. Ini bisa dilihat dari surut air banjir yang berjalan paling lamban, dibanding daerah-daerah lain di sekitarnya.

Menjelang pukul 20.00, kepanikan warga semakin nyata. Suasana kota terlihat mencekam. Listrik dipadamkan, sehingga seluruh kota menjadi gelap gulita. Seketika itu juga, jalan di sepanjang kota terisolasi dari lalu lalang kendaraan dari penjuru manapun juga. Para pengendara, terutama motor, terjebak kemacetan di berbagai ruas jalan.

Isolasi kota mulai terlihat di Jl. Dr. Wahidin Selatan untuk wilayah tengah, wilayah Utara ditutup mulai dari arah Jl. Veteran, dan juga kawasan Timur di Jl. Patiunus Krampyangan. Sementara wilayah Selatan sudah ditutup seluruhnya mulai di Desa Pleret, Pohjentrek. Untuk wilayah Barat, isolasi kota sudah mulai dilakukan di Kraton, pertigaan Desa Ngempit.

Praktis, tidak ada satupun kendaraan yang bisa masuk. Bahkan sepeda motor sekalipun. Warga Kota yang sibuk menyelamatkan diri, hanya bisa mengandalkan kedua kaki mereka. Itupun dengan jalan yang tersendat-sendat.

Karena sulitnya medan inilah yang membuat regu satlak penanggulangan bencana Kota Pasuruan cukup kesulitan menjangkau lokasi banjir. Mereka mengandalkan beberapa perahu karet untuk membantu evakuasi warga ke lokasi yang lebih aman.

Situasi sulit ini terjadi hingga menjelang subuh. Sekitar pukul 06.00 pagi, air mulai surut. Hanya ada beberapa titik yang masih terlihat genangan. Diantaranya daerah Bakalan, Blandongan, dan Kepel. Termasuk kampung Jl. Jawa masih tercatat sebagai lokasi terparah dengan ketinggian air masih mencapai setinggi dada orang dewasa.

Begitu air susut, suasana kota masih terus lumpuh. Aktivitas warga hanya terlihat membersihkan bekas-bekas luapan air banjir yang ada di sekitar rumah mereka. Komplek perkantoran di lingkungan Pemkot Pasuruan juga sepi aktivitas. Begitu juga di pusat pertokoan. Tidak ada satupun toko yang buka.

Beberapa toko yang buka hanya terlihat kesibukan membersihkan lumpur yang masuk ke areal dalam. Tidak sedikit barang dagangan mereka yang rusak karena terjangan banjir. Belum bisa dihitung, berapa besar kerugian yang mereka alami.

Akibat banjir besar itu, penderitaan yang dialami warga tidak lagi bisa dirasakan. Empat warga di Kebonjaya, Kelurahan Kebonagung hanya bisa meratapi bekas reruntuhan rumah mereka yang tidak berwujud lagi setelah diterjang banjir.

Empat warga itu adalah Hj. Aisyah (50 tahun), Fuad (30 tahun), Marhaban (44 tahun), Syamsudin (60 tahun), dan rumah milik keluarga (alm) Maruwi di Jambangan.

"Habis mbak, tidak tersisa lagi. Rumah saya hancur. Kejadiannya seperti mimpi, saya tidak pernah punya firasat apapun. Tiba-tiba air sudah meluncur deras mulai pukul 17.30. Spontan saya lari ke lokasi yang lebih aman, bahkan sampai ke Pasar Kebonagung sana. Tidak lagi terpikir harus menyelamatkan apa dari rumah saya," aku Aisyah, dengan mata berkaca-kaca.

Wanita ini bertahan cukup lama di sana. Saat itu, dia sedang sendirian. Anak-anaknya memang sudah memiliki rumah sendiri-sendiri. Sementara anaknya yang terkecil kebetulan sedang menginap di rumah neneknya.

Aisyah memilih tidak tidur semalam suntuk. Dia terus berjaga sambil memikirkan kondisi rumahnya. Baru Subuh, esok harinya Aisyah beranjak dari tempat pengungsiannya di kompleks pasar Kebonagung. Diapun kaget bukan kepalang. Aisyah langsung syok. Rumahnya ternyata sudah lenyap terkikis banjir. Tidak satupun benda berharga miliknya yang bisa dia selamatkan.

Hal serupa juga dialami tiga warga lain yang sama-sama kehilangan rumah tempat tinggal mereka. Nasib mereka juga tidak berbeda jauh. Seluruh harta mereka ikut terbawa banjir lewat aliran sungai Gembong yang mengalir di belakang rumah mereka. Untunglah, tidak ada korban jiwa saat kejadian itu berlangsung.

Selain rumah milik empat warga ini, ribuan rumah lain di Kota Pasuruan juga ikut terendam banjir. Ratusan diantaranya mengalami kerusakan berat, atau ringan. Kondisi terparah dialami oleh rumah-rumah yang berdiri di atas bantaran sungai Gembong. Apalagi plengsengan kokoh yang menjadi pelindung tanah tempat bangunan rumah warga banyak yang ambrol.

Terjangan banjir di wilayah Kabupaten Pasuruan juga mengakibatkan sedikitnya 502 rumah rusak. Juru bicara Satkorlak Penanggulangan Bencana (PB) Soenarto menyebutkan, dari jumlah itu, sebagian besar berada di wilayah Kecamatan Kejayan. Yakni, sekitar 216 rumah. "Rata-rata rusak berat," kata lelaki yang juga kepala Bakesbanglinmas tersebut.

Selain Kejayan, daerah yang paling banyak mengalami kerusakan adalah Kecamatan Gondang Wetan. Yakni sekitar 200 rumah. Berikutnya, tujuh jembatan. Satu di antaranya jembatan yang menghubungkan langsung dengan jalan provinsi. Sementara enam jembatan lainnya menghubungkan antar desa.

Di Kecamatan Pohjentrek, banjir juga telah mengakibatkan 74 rumah serta tiga buah jembatan rusak. Sementara di Kecamatan Rejoso, banjir juga mengakibatkan 8 rumah warga roboh. Di Purwosari, banjir telah mengakibatkan 6 rumah roboh serta dua jembatan rusak berat. Selain itu, plengsengan sepanjang 323 juga ambrol.

Hal yang sama juga terjadi di Winongan. Banjir yang terjadi di kecamatan yang berada di kaki pegunungan Bromo itu agaknya cukup parah. Bahkan, sedikitnya, 40 buah rumah milik warga juga rusak. Soenarto sendiri menjelaskan, banyaknya rumah yang rusak itu disebabkan arus banjir yang cukup deras.

Sementara itu, di Wonorejo, selain mengakibatkan 20 rumah rusak, empat jembatan yang menghubungkan antar desa juga rusak berat. Bukan hanya itu. Banjir yang disebabkan curah hujan tinggi itu juga mengakibatkan bangunan plengsengan sepanjang 500 meter ambrol.

Di Kecamatan Grati, banjir juga dirasakan ribuan warga setempat. Meski tidak terdapat rumah rusak, namun, banjir tersebut mengakibatka 3023 rumah warga tergenang. Sementara di Kecamatan Prigen, banjir juga mengakibatkan sebuah musala jebol serta jalan provinsi sepanjang 100 meter rusak.

Hal yang sama juga terjadi di wilayah Kraton dan Bangil. Di kedua daerah itu, kerusakan terjadi pada 11 rumah warga, tembok masjid 50 meter roboh serta tangkis sepanjang 15 meter ambrol.

Sejauh ini, kerusakan akibat banjir itu diperkirakan mencapai Rp 5,8 Milyar. Jumlah itu, kata Soenarto belum termasuk ratusan hektare sawah, tambak serta fasilitas publik lainnya yang ikut terendam. "Sementara ini, semuanya masih kita data," jelasnya.

Satkorlak sendiri menegaskan akan tetap memberikan bantuan kepada warga yang rumahnya rusak. Hal itu, kata dia, akan dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan tingkat kerusakannya. Misalnya, untuk rumah yang termasuk rusak berat, akan mendapatkan bantuan sebesar Rp 3,5-7,5 juta.

Sementara itu, dari data yang diperoleh Radar Bromo, selain bangunan rusak, banjir yang terjadi malam kemarin juga mengakibatkan ratusan hektare sawah dan tambak rusak. Di antaranya, Beji, 89 ha; Pohjentrek, 53 ha; Rejoso, 115 ha; Winongan, 50 ha; dan Kraton 95 ha. Berikutnya, Bangil, 21 ha; serta Grati, 85 ha. "Itu baru hitungan sementara yang kita lakukan, sebab, sementara ini masih kita data," jelas Soenarto kemarin. (via/aad)



Post Date : 01 Februari 2008