MATANYA tertuju pada lembar-lembar kertas yang ada di depan. Baris demi baris ia perhatikan dengan seksama. Pekerjaan memberi nilai kepada murid-murid itu harus diselesaikan Ahyadi (36), guru kelas 6 SD Al Irsyad Al Islamiyyah Jl Petek Dadapsari Semarang Utara.
Selasa (26/2), digelar materi try out atau ujicoba menghadapi Ujian Nasional yang akan digelar Mei mendatang. Murid harus dibekali segala persiapan agar mereka tidak gagap dengan soal ujian nanti.
’’Ini sedang sibuk mengurusi tugas try out anak-anak,’’ katanya saat ditemui Suara Merdeka. Ahyadi tinggal di Wonosari Ngaliyan, jarak yang lumayan jauh untuk menuju ke sekolah. Tiap hari ia berangkat pagi-pagi. Dari persiapan UN itu memang tidak ada yang membedakan dengan sekolah lain. Namun lokasi sekolah yang dikepung jalan-jalan tergenang banjir menjadikan lain ceritanya. Repotnya, ia harus melewati jalan banjir dan berlubang, terutama mulai pertigaan Jl Petek-Jl Imam Bonjol.
Lihat pula penampilan para murid-muridnya. Hanya dengan bersandal dari bahan karet antiair, mereka datang ke sekolah, selebihnya tetap berseragam lengkap. Sekolah tersebut memang berada di daerah langganan banjir. Sepanjang jalan menuju sekolah, kedalaman banjir bisa sampai lebih dari lutut mereka. Belum lagi jalan yang berlubang. Hal itu dirasakan para murid, guru, maupun karyawan SD tersebut. ’’Selama try out kelas 6 diwajibkan memakai sepatu di dalam ruang kelas. Kalau hanya memakai sandal, kami memintanya untuk mengambil sepatu terlebih dulu,’’ katanya. Banjir Terparah Januari-Februari ini merupakan banjir terparah di lingkungan itu. Air terus menggenang. Bila hujan deras, maka banjir bisa masuk ke ruang-ruang kelas, ruang serbaguna, dan halaman sekolah. Sekolah tersebut memiliki 3 lantai. Kondisi lantai pertama memprihatinkan. Seringkali lantai becek karena air merembes dari bawah. Tidak jarang mereka harus belajar dengan kaki yang berkecipak dengan air. Bila banjir di dalam kelas meninggi, terpaksa para siswa dikumpulkan dalam ruang kelas paralel. Tiap tingkatan kelas ada pengelompokkan kelas A dan B. Bila banjir kedua kelas itu akan dikumpulkan jadi satu.
Saat jam istirahat, jangan mengandaikan siswa bisa memanfaatkan jeda waktu dengan baik. Mereka justru mengambil sapu lidi dan engkrak untuk menyapu air. Meski demikian wajah mereka tetap terlihat ceria dengan berbasah-basah. Bagi para siswa, banjir merupakan hal biasa. ’’Lha wong omahku mau esuk wae yo banjir sakmene,’’ kata Muhammad Maulana Makdum, siswa kelas 3 yang tinggal di Jl Darat Nipah III Dadapsari dengan menunjukkan lututnya. Pihak sekolah hanya berharap banjir tidak akan menghalangi siswa untuk menggapai prestasi. Salah satunya dengan menempel informasi siswa berprestasi di papan pengumuman. Siswa bisa mengamati mereka yang mendapat nilai tertinggi. Diharapkan hal itu bisa memacu para siswa.
Dini Citra, siswi kelas 6 tinggal di Jalan Cumi-cumi Bandarharjo, misalnya. Di papan informasi, ia menempati peringkat 6 dengan nilai rata-rata 78,7. Ia mengaku senang namanya bisa tertempel sebagai siswa berprestasi untuk semester I. Hal itu akan mendorongnya untuk lebih giat belajar. Sekolah kebanjiran bukan dipandang sebagai penghambat. Begitu pula dengan Fernanda Putri, siswi kelas 6 tinggal di Tikungbaru Bandarharjo yang menempati peringkat 9. ’’Setelah lulus kami ingin sekolah di SMP negeri favorit,’’ jawabnya.
Pihak sekolah sebenarnya sudah berulang kali melakukan peninggian dengan bantuan dana yayasan yang bersangkutan. Namun hal itu nampaknya masih belum mampu mengatasi banjir. Terakhir, lantai sekolah sudah ditinggikan 20 cm. (Moh Anhar-41)
Post Date : 27 Februari 2008
|