|
Banjir besar yang melanda Jakarta dan wilayah sekitarnya pada awal Februari lalu, mulai surut. Namun justru pekerjaan terkait penanggulangan banjir baru dimulai. Seolah ingin menunjukkan keseriusan, pemerintah mulai berkoordinasi menyatukan visi dan misi untuk penanggulangan banjir. Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah melakukan rapat dengan menteri terkait dan para Gubernur yang wilayahnya dihantam banjir, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Koordinasi yang ditunjukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu, seolah memberi harapan baru bagi masyarakat bahwa bencana banjir akan teratasi. Sayangnya, koordinasi seperti ini, sering kali hanya terlihat ketika bencana datang. Seiring dengan surutnya air dan kembalinya para pengungsi korban banjir ke rumah mereka, semangat pemerintah dalam menindaklanjuti penanggulangan banjir juga ikut surut. Hal itu, sudah terbukti dari mandeknya realisasi master plan (rencana induk) penanggulangan banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya yang selesai disusun pada Juni 2002. Penyusunan master plan tersebut, dilakukan pascabanjir besar yang melanda Jakarta pada Februari 2002. Tidak tanggung-tanggung, lima menteri dan tiga gubernur terlibat dalam penyusunan program penanggulangan banjir, baik jangka pendek, menengah dan panjang. Hasilnya, disepakati dana yang akan dianggarkan untuk merealisasikan program penanggulangan banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya mencapai Rp 18,282 triliun. Sekitar Rp 16,672 triliun dialokasikan untuk penanggulangan banjir Jabodetabek dan Rp 1,61 triliun untuk program pemerintah kota dan kabupaten Bogor serta Tangerang. "Subtansi dasar programnya adalah mengatur penyelenggaraan penataan ruang Jabodetabek sebagai satu kesatuan ekosistem yang mencakup aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan untuk menanggulangi banjir" kata Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov DKI, Ritola Tasmaya, kepada Pembaruan, akhir pekan lalu. Menurut dia, master plan itu, akan dikerjakan dalam kurun waktu 10 tahun, mulai 2002-2012. Programnya antara lain meliputi penataan ruang, perumahan dan pemukiman, prasarana perkotaan (sistem drainase dan jalan), pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan sungai dan pemberdayaan masyarakat. Namun master plan tersebut, ternyata tak bisa direalisasikan. Penyebabnya, para menteri yang terlibat belum sempat menandatangani master plan penanggulangan banjir, sampai akhirnya diganti pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan para menteri baru juga tidak menjadikan masalah banjir sebagai prioritas program kerja, sehingga master plan setebal 20 halaman itu, hanya menjadi wacana yang terpendam hingga banjir besar kembali melanda Jakarta di awal Februari 2007. Bergantung Lalu apakah penanggulangan banjir harus bergantung pada aturan dan birokrasi yang berbelit? Apakah Pemprov DKI harus menungu realisasi master plan yang lebih banyak melibatkan pemerintah pusat sebagai penanggungjawab? Sesuai dengan kewenangan otonomi daerah, sudah selayaknya Pemprov DKI berusaha mengatasi banjir, tanpa perlu menunggu aksi pemerintah pusat. Pasalnya, secara geografis letak Jakarta yang rendah dan menjadi daerah hilir dari 13 anak sungai akan membuat banjir selalu menjadi ancaman bagi ibu kota. Memang benar, Jakarta selalu mendapat kiriman banjir dari Bogor dan Depok yang menjadi daerah hulu 13 anak sungai yang bermuara di kawasan utara dan barat Ibukota. Sehingga, perlu dilakukan penataan di kawasan hulu agar air hujan meresap dan tidak seluruhnya dialirkan ke Jakarta. Namun melihat besarnya banjir yang melanda Jakarta pada awal Februari 2007, bahkan di kawasan yang bukan merupakan daerah langganan banjir, sepertinya Pemprov DKI harus berkaca diri agar tak melulu menyalahkan banjir kiriman dari kawasan hulu. Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Husin Yazid, banjir yang menenggelamkan hampir 70 persen wilayah Jakarta juga disebabkan kurangnya RTH sebagai daerah resapan air. Dalam 20 tahun tahun terakhir, lanjutnya, perhatian Pemprov DKI terhadap ketersediaan RTH sangat memprihatinkan. Hal itu, terlihat dari Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang semakin memangkas luas lahan untuk RTH. Pada 1965-1985, dalam master plan Jakarta ditargetkan RTH seluas 13.890 hektar (ha) atau 21,2 persen dari luas wilayah Jakarta yang mencapai 685 kilometer persegi (km2). Namun seiring dengan pertambahan penduduk dan pesatnya pembangunan di Jakarta dalam jangka waktu tersebut, ketersediaan RTH makin berkurang. Hal itu, menjadi perhatian Pemprov DKI yang mengeluarkan Peraturan Daerah (Prerda) No 5 Tahun 1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta. Ditetapkan, RTH Jakarta dalam jangka waktu 1985-2005 mencapai 16.905 ha atau 25,85 persen dari luas Jakarta. "Ternyata sampai 1999, RTH di Jakarta baru mencapai 6.185 ha atau 9,95 persen," kata Husin, kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (12/2). Akibat tak bisa mencapai target ketersediaan RTH, Pemprov DKI merevisi Perda No 5 Tahun 1984 dengan Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta. Ironisnya, ketentuan mengenai RTH dalam Perda No 6 Tahun 1999, justru makin berkurang. Ditetapkan, RTH Jakarta sampai 2010 mencapai 9.131 ha atau sekitar 13,94 persen. Kondisi saat ini, lanjutnya, RTH di Jakarta sekitar 8.600 ha. Jadi sampai 2010 Pemprov DKI tinggal menambah RTH sekitar 531 ha lagi. "Kesannya Pemprov DKI sejak 1999 sudah mampu menambah luas RTH sampai hampir mencapai target di 2010, padahal kenyataannya justru mengurangi jumlah RTH," ujar Husin. Dia menambahkan, berdasarkan Keputusan Departemen Pekerjaan Umum No 378/Kpts Tahun 1987, dengan kondisi existing Jakarta yang penduduknya mencapai 8 juta jiwa, RTH seharusnya mencapai 21.625 ha atau 33,02 persen dari luas Jakarta pada 2010. Beralih Fungsi Bukan hanya memangkas luas lahan RTH dalam peraturan, Pemprov DKI juga merealisasikannya dalam praktik lewat pemberian izin pembangunan di kawasan yang menjadi daerah resapan air. Dalam kurun waktu 20 tahun, RTH di Jakarta beralih fungsi menjadi ruang terbangun, seperti sarana perumahan mewah, apartemen, pusat perbelanjaan, lapangan golf, dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Husin mencontohkan, daerah resapan yang beralih menjadi kawasan perumahan mewah antara lain di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Barat dan Kelapa Gading, Jakarta Utara. "Dulu, dua kawasan ini adalah daerah rawa yang menampung air dari aliran sungai. Tapi setelah dibangun jadi kawasan perumahan, air yang seharusnya terserap di kawasan itu, akhirnya membanjiri pemukiman warga di sekitarnya," katanya. Selain itu, kawasan di Kebayo- ran Lama dan Lenteng Agung yang ditetapkan sebagai kawasan hijau, juga makin dipenuhi dengan permukiman dan areal bisnis. Padahal kawasan tersebut, ditetapkan 80 persen untuk daerah resapan dan 20 persen untuk bangunan. "Memang ada Situ Babakan, tapi luasnya tidak kunjung bertambah untuk menampung air hujan. Apalagi lingkungan di sekitarnya juga makin dipenuhi oleh perumahan," ujar Husin. Begitu pula dengan kawasan Senayan yang menjadi paru-paru kota Jakarta. Dalam lima tahun terakhir, pembangunan pusat perbelanjaan dan sejumlah apartemen mewah di kawasan itu, membuat daerah resapan makin berkurang. Hal itu, membuat tanah di sekitar kawasan Senayan tak mampu menyerap air hujan dalam kapasitas tinggi. Kondisi tersebut, makin diperparah dengan buruknya sistem drainase yang dibangun pengembang. Pernyataan senada disampaikan pengamat tata ruang dari Architecture and Urbanism in Indonesia, Marco Kusumawijaya. Menurut dia, buruknya sistem drainase di kawasan Sudirman terlihat dari banjir yang menggenangi jalan itu. "Kawasan Sudirman letaknya tujuh meter di atas permukaan laut, tapi tidak luput dari banjir. Itu bukan karena banjir kiriman dari Bogor, tapi disebabkan buruknya drainase dalam kota Jakarta," ujar Marco. Dia mengungkapkan, Pemprov DKI seharusnya membangun sistem drainase yang terhubung dengan danau atau situ, juga laut. Hal itu, dapat dilakukan di permukiman warga atau kawasan bisnis dengan sistem blok seperti yang sudah diterapkan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sistem drainase tersebut, lanjut pengamat tata kota itu, juga harus diterapkan oleh pengembang yang memperoleh izin untuk membangun apartemen atau pusat perbelanjaan di kawasan padat atau daerah resapan. Baik Husin maupun Marco menilai, pembangunan Jakarta lebih berorientasi pada pendekatan proyek dan mengabaikan tata ruang dan ekologi. Penanggulangan banjir yang dilakukan Pemprov DKI selama lima tahun terakhir, juga lebih terfokus pada proyek Banjir Kanal Timur, sementara perbaikan sistem drainase dan penataan DAS terabaikan. Belajar dari bencana banjir tahun ini, yang hampir menenggelamkan Jakarta, sudah selayaknya pemerintah mengubah orientasi. Jangan sampai program penanggulangan banjir hanya sebatas rapat kordinasi, menyusun master plan, tapi tanpa tindak lanjut nyata. Apalagi kalau hanya fokus pada proyek besar. Oleh Wartawan "Pembaruan" Jeany A Aipassa Post Date : 13 Februari 2007 |