Bandar Lampung, Kompas - Banjir yang terjadi selama empat hari terakhir sejak Sabtu (19/6) memukul kehidupan petani Kabupaten Lampung Selatan. Pasalnya, tanaman padi milik mereka pada 1.602 hektar sawah terendam banjir sehingga terancam puso.
Kondisi ini karena terjadi anomali cuaca di mana curah hujan yang tinggi terus berlangsung dan diperkirakan akan terjadi hingga pertengahan Juli.
Banjir antara lain merendam sawah di dua kecamatan di Lampung Selatan, yaitu Way Sulan dan Candipuro. Di Candipuro, banjir terjadi merata di seluruh wilayah, yaitu di 11 desa. Sebanyak 905 hektar sawah berisi padi berusia 7-21 hari di wilayah ini.
”Akibat banjir yang berlangsung sejak Sabtu pekan lalu, tanaman-tanaman (padi) ini kemungkinan besar puso karena umurnya muda. Semakin muda tanaman dan kian lama genangan, semakin besar potensi pusonya,” tutur Rozali, Kepala Seksi Budidaya Serealia Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Lampung, Rabu di Bandar Lampung.
Menurut dia, jumlah sawah yang terancam puso pada musim kemarau ini bisa saja lebih besar karena baru Lampung Selatan yang telah melaporkan. Ia merasa heran pada Juni ini dapat terjadi banjir. ”Padahal, semestinya kemarau. Baru kali ini terjadi seperti ini,” ungkapnya.
Jika kondisi ini terus berlanjut, katanya, target pencapaian produksi beras di Lampung bisa terganggu. Sebab, Lampung Selatan selama ini merupakan lumbung beras terbesar di Provinsi Lampung.
Target produksi beras 2010 adalah 2,5 juta ton. Awal tahun 2010, yaitu Februari-Maret, terjadi banjir pula. Sebanyak 7.965 hektar tanaman padi di lima kabupaten di Lampung terkena puso. Lampung Selatan lagi-lagi daerah terparah terkena banjir, yaitu 4.419 hektar.
Rozali mengatakan, agar beban petani tidak kian besar, pihaknya tengah mengupayakan permohonan pengiriman cadangan benih nasional (CBN) kepada pemerintah pusat. ”Bantuan CBN memang dimungkinkan bilamana terjadi bencana alam. Mengenai jumlah pastinya, masih dihitung,” ungkapnya.
Kemarau mundur
Dalam keterangan resminya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Sri Woro Harijono mengungkapkan, saat ini tengah terjadi gejala penyimpangan iklim. BMKG merevisi prakiraan musim kemarau 2010. Artinya, musim kemarau diperkirakan mundur.
Curah hujan intensitas sedang-tinggi masih akan terjadi di Sumatera, Jawa, sebagian Bali dan Maluku hingga pertengahan Juli 2010. Musim kemaraunya berlangsung lebih pendek dan lebih basah daripada tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini serupa dengan tahun 1998.
Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung I Made Suwetja, anomali iklim semacam ini sudah diprediksi sebelumnya. Kini tengah berupaya menekan konsumsi beras dan menggantinya dengan bahan pokok lainnya.
”Kami menargetkan konsumsi (beras) ditekan setengah persennya dari angka konsumsi sekarang ini rata-rata 99,48 kilogram per kapita per tahun,” ungkapnya. (JON)
Post Date : 24 Juni 2010
|