|
Liputan rubrik Fokus, Kompas, 10 November 2007, memberikan beberapa pelajaran yang sudah jelas untuk dijadikan pijakan mencari jalan keluar yang nyata. Pelajaran pertama: sejak tahun 1920-an, semua rencana penanganan banjir gagal dilaksanakan oleh birokrasi, baik itu yang kolonial maupun yang pascakolonial. Ini berarti jangan lagi membuat rencana di luar kemampuan birokrasi untuk melaksanakannya. Atau pada setiap rencana sebaiknya terkandung komponen peningkatan kapasitas birokrasi yang sejalan dan sesuai dengan kebutuhan melaksanakan rencana itu. Tanpa birokrasi yang mumpuni, apa pun gagasan yang baik tidak akan terlaksana dengan baik. Lihatlah sekarang kasus busway dan pelestarian Jakarta Kota. Pilihan lain adalah menyerahkan seluruhnya kepada swasta. Namun, ini menuntut adanya model ekonomi sehingga pembiayaan masyarakat dapat secara langsung disalurkan kepada swasta. Ini ada baiknya bila potensi sepenuhnya didayagunakan: mendorong efisiensi dan efektivitas, serta mendorong pembebanan biaya lingkungan langsung kepada masyarakat, seperti pajak khusus yang earmarked hanya untuk keperluan itu. Rencana van Breen tahun 1920-an dibuat pada masa puncak pertumbuhan ekonomi kolonial berbasis eksploitasi alam, bahkan mempertimbangkan perubahan tata guna lahan hutan menjadi perkebunan teh di Puncak, Jawa Barat. Jadi, ada penyelarasan waktu untuk memetik sebagian nilai tambah dari proses eksploitasi itu untuk investasi pada lingkungan. Baik diingat juga bahwa pada saat bersamaan ada pengembangan kawasan Menteng dan sekitarnya yang memang memerlukan perlindungan banjir. Sayang kita tidak bisa mengandaikan model pembiayaan pemerintah kolonial seperti apa yang akan diterapkan seandainya Perang Dunia II tidak terjadi. Model pembiayaan Pelajaran itu menegaskan bahwa suatu model ekonomi harus ada dengan jelas untuk membiayai rencana penanganan banjir. Model itu antara lain bertugas menuai nilai tambah dari 20 tahun ke depan yang akan dihasilkan oleh ekonomi kota ini untuk diinvestasikan sekarang. Mekanismenya harus jitu. Kalau tidak, akan terjadi korupsi dan dana disalahgunakan untuk keperluan lain, seperti pada kasus dana reboisasi di masa Soeharto. Jumlah dana yang direncanakan harus cocok dengan yang dapat dikumpulkan. Kalau tidak, rencana akan tinggal rencana. Mulai sekarang sudah harus ada mekanisme untuk menarik, menabung, sebagian dari pendapatan kota ini khusus untuk penanganan banjir. Perlu diperiksa apakah undang-undang kita memungkinkan hal ini. Model milieuverbetering belasting (pajak perbaikan lingkungan) seperti di Belgia perlu dipelajari. Di Hamburg, Jerman, air buangan ke saluran juga kena retribusi karena membebani prasarana yang merupakan investasi kota. Retribusi ini tidak dikenakan pada air yang diserapkan ke tanah, termasuk yang digunakan sengaja untuk menyiram tanaman. Di Jakarta ini dapat digunakan untuk mendorong konservasi air tanah dengan sumur resapan dan teknik-teknik menyerapkan air lainnya di halaman masing-masing. Insentif seperti ini, dibarengi dengan disinsentif bila membuangnya ke saluran kota, dapat diterapkan secara progresif dari rumah tinggal kecil, besar, hingga kompleks komersial dan industrial. Perlu kerja keras merumuskan perangkat hukum dan kelembagaan. Kita harus menerima kenyataan bahwa biaya membangun dan mengeruk untung di Jakarta itu memang harus lebih mahal karena biaya lingkungannya harus ditanggung oleh setiap investasi. Biaya lingkungan itu harus diinternalisasikan ke dalam biaya investasi. Inilah salah satu fungsi model ekonomi pembangunan yang harus diadakan dalam rangka perbaikan lingkungan. Kalau karena "biaya (lingkungan) yang mahal" ini lalu pertumbuhan di Jakarta menurun, maka terjadilah; terimalah. Justru dengan demikian pembangunan dan investasi akan menyebar ke daerah-daerah lain. Bagaimanapun, dengan transparansi dan perbaikan birokrasi, biaya lingkungan itu dapat dikompensasi oleh berkurangnya "biaya siluman". Lagi pula, posisi Jakarta memiliki kelebihan khusus yang tetap menguntungkan bagi modal. Pelajaran bawaan dari yang di atas adalah: peraturan (insentif dan disinsentif) harus mendorong perubahan perilaku. Dalam soal ini sudah waktunya kita hitam-putih, tegas, sebab waktu tidak banyak lagi, bencana telah bersifat imminent, di depan mata. Kita harus menghancurkan ilusi bahwa keadaan akan membaik tanpa tindakan apa-apa dari kita sendiri. Pelajaran kedua: pada semua rencana yang ada, tidak ada satu pun yang memberi tempat strategis kepada peran serta masyarakat. Semua rencana itu cenderung mau membangun prasarana fisik dengan beban langsung pada APBD (dan berharap akan APBN). Terang ini bermasalah karena pada negara sedang berkembang dan miskin sudah pasti ada banyak kebutuhan lain yang bersaing memperebutkan APBD. Padahal, peran serta masyarakat yang tidak perlu biaya besar adalah satu-satunya jalan menuju keberlanjutan lingkungan (sustainable environment) melalui metode-metode konservasi. Membebani APBD Selain membebani APBD, pembangunan prasarana terus-menerus memiliki kelemahan: tidak mendorong, bahkan menjauhkan masyarakat dari perubahan perilaku. Hal itu berkaitan dengan pelajaran ketiga: rencana yang ada selama ini hanya mengandalkan modal finansial pemerintah. Modal politiknya kurang dimanfaatkan. Modal politik ini adalah kapasitas kepemimpinan gubernur dan jajarannya untuk menggerakkan masyarakat, pembuat aturan, jajarannya sendiri, dan pemerintah pusat untuk berperan serta secara aktif dalam konsep each site with its own solution dan "konsistensi menjaga tata ruang". Sentimen masyarakat tentang banjir dan kemacetan sudah begitu besar. Mengapa para politisi kita tidak melihat atau memanfaatkan ini sebagai modal kerja mereka? Sentimen masyarakat adalah modal, bukan beban. Dengan model ekonomi yang jelas seperti diindikasikan di atas, modal politik dan administratif pemerintah dapat didayagunakan untuk mendorong peran serta masyarakat, baik dalam bentuk insentif maupun disinsentif. Kenyataannya, Kompas juga telah melaporkan banyak prakarsa masyarakat yang berkembang di banyak tempat. Teknik-teknik konservasi sudah begitu banyak untuk diterapkan. Rendahkan koefisien dasar bangunan (KDB), dengan atau tanpa meningkatkan koefisien lantai bangunan (KLB), efektifkan ruang terbuka hijau dengan koefisien serapan air dan CO 2, istilah yang saya buat sendiri), efektifkan amdal (jangan malah dilanggar sendiri oleh pemerintah seperti pada proyek busway). Semuanya memerlukan peran aktif semua lapisan masyarakat. Semuanya hanya perlu dimantapkan dan dilembagakan ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sedang direvisi dan ke dalam berbagai perangkat pengaturan bangunan dan tata kota. Kapasitas birokrasi dan masyarakat dapat tingkatkan dengan program yang sungguh-sungguh. Sesungguhnya tidak ada yang perlu membuat kita pesimistis. Kita hanya perlu kerja keras dan tidak jatuh ke dalam paralysis by analysis (lumpuh karena kebanyakan berputar-putar menganalisa) dan berharap-harap akan keajaiban tanpa ketegasan bersikap dan bertindak. Dari situ kita sampai kepada pelajaran keempat: rencana-rencana masa lalu itu tidak memiliki cukup dasar rasional yang terhitung yang diketahui secara luas oleh masyarakat. Bukankah kini kita tahu tiap mobil mengeluarkan emisi yang dapat diserap oleh empat pohon dewasa? Jadi, apa sulitnya menghitung berapa jumlah mobil yang akan diproyeksikan dalam kurun waktu ke depan, dan atas dasar itu berapa banyak pohon harus kita tanam, dan selanjutnya berapa luas lahan diperlukan sebagai ruang terbuka hijau? Menghitung berapa banyak air hujan yang turun langsung di Jakarta dan berapa banyak air hujan yang jatuh di daerah tangkapan yang akhirnya melewati Jakarta juga bukan hal yang sulit dengan kemampuan berhitung komputer sekarang. Dari sini lalu dihitung berapa banyak yang mau diserap dan dialirkan. Lalu dapat dikatakan berapa kapasitas saluran dan luas lahan yang diperlukan, yang dapat di-overlap dengan lahan untuk menanam pohon. Tentu saja secara simultan diperlukan peningkatan kapasitas birokrasi maupun masyarakat untuk mencapai target-target ini, dan kemudian menjaganya secara bertahap dan terhitung pula. Realistis Pelajaran kelima: gubernur sekarang berani berkata jujur dan realistis, tidak mengumbar harapan, dengan pengetahuan yang proporsional. Ini modal baik untuk mencari terobosan yang realistis juga. Jangan masyarakat hanya berharap berlebih kepada pemerintahan yang terbatas. Kalau kemampuan warga saja terbatas, apalagi pemerintah. Ini pesan yang terbalik dengan kecenderungan selama ini, yang cenderung meminta pemerintah menjadi penyedia segala, sambil mengkritiknya. Dalam suatu negara sedang berkembang yang miskin, sebenarnya semua pihak memiliki sumber daya yang terbatas dan tidak bisa cuma mengharapkan orang lain melakukan tugasnya tanpa diri sendiri melakukan sesuatu. Itulah sebabnya diperlukan kerja bersama kreatif (creative collaboration) antara semua pihak dalam kerja nyata. Bagi suatu pemerintahan yang telah dipilih langsung oleh warga, terlalu mudah dan manja bila kerjanya hanya memanfaatkan APBD, sementara sumber daya politiknya tidak didayagunakan untuk menggerakkan sumber daya masyarakat. Memang birokrasi harus berubah pula, dari penikmat "proyek" gampang dari kantung APBD menjadi penggerak. Jalan perubahan inilah yang akan menjadi dasar bagi program peningkatan kapasitas. Akhirnya, memang mudah mengatakan bahwa "semua lebih mudah dikatakan, tetapi sulit dikerjakan". Namun, kini saat yang tepat untuk "bersikap negatif terhadap negativisme". Saya sih merasa pelajaran sudah cukup. Mau jalan atau tidak?Marco Kusumawijaya Arsitek Kota, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Post Date : 30 November 2007 |