|
Isu banjir kembali menjadi bahan diskusi hangat di berbagai media, ruang rapat pejabat, hingga warung kopi di pojok kota. Pemerintah Provinsi (Pemprof) DKI Jakarta pun dianggap terlampau santai mengantisipasi banjir. Hal itu terlihat dari sikap Pemprof DKI yang baru bergerak setelah media meributkan kemungkinan datangnya banjir besar di tahun ini. Meskipun belakangan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) DKI Jakarta menolak sinyalemen datangnya banjir besar seperti tahun 2002 silam. Besar atau tidaknya banjir yang akan melanda Jakarta memang sulit dipastikan. Menurut Ketua Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (IPK-PWSCC), Pitoyo Subandrio, peluang terjadinya banjir besar bersiklus lima tahunan besarnya sekitar 20 persen. Namun sekecil apapun peluang itu, nyatanya banjir menjadi mimpi buruk bagi warga Jakarta yang terus berulang setiap musim hujan. "Sebetulnya yang paling penting adalah mengubah pola pikir pejabat dan warga di Ibukota dalam memandang banjir. Bukan soal besar atau tidaknya banjir itu," ujar Pitoyo yang ditemui di Jakarta, baru-baru ini. Dari cara pandang itulah bisa terlihat bagaimana sikap yang sebenarnya, baik pejabat maupun warga Jakarta dalam menghadapi banjir. Kita semua harus menyadari bahwa dipandang dari sudut geomorfologis, wilayah Ibukota yang memiliki areal seluas 661,52 kilometer persegi itu rentan terhadap ancaman banjir. Wilayah ini terletak di dataran rendah dengan ketinggian permukaan tanah berkisar antara + 0,50 m di dekat pantai dan + 25 m di bagian selatan. Sehingga sulit membayangkan Jakarta terbebas banjir dalam beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, banjir masih akan tetap menjadi mimpi buruk yang terus berulang. Lebih lanjut Pitoyo melihat saat ini kepekaan masyarakat mengantisipasi bencana banjir maupun wabah penyakit nyaris runtuh. "Saat ini sungai-sungai di Jakarta sudah diperkosa sedemikian rupa sehingga daya dukung sungai untuk menahan luapan air di musim hujan sudah di titik nadir," ujarnya. Saat ini begitu sulit memberikan penyadaran warga yang bermukim di sepanjang bantaran kali agar mengembalikan dan memelihara fungsi sungai. Gubernur Sutiyoso berulang-ulang mengatakan, harapan untuk mengurangi ancaman banjir di Jakarta terletak dari keberhasilan proyek Banjir Kanal Timur (BKT). Namun lagi-lagi kendala yang dihadapi khususnya dalam pembebasan lahan nyatanya sangat besar. Pemahaman warga dan juga sebagian LSM tentang pentingnya pentingnya proyek BKT untuk mengurangi banjir di Jakarta tidak sama besar dengan pemahaman pemerintah. Ada kesenjangan yang demikian lebar antara sebagian warga yang lahannya akan tergusur dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal itu terlihat dari masih banyaknya warga yang tidak rela untuk menukar lahannya dengan ganti rugi sesuai NJOP. Meski harus diakui upaya memperpendek kesenjangan itu dalam beberapa kasus di rusak oleh oknum panitia pembebasan lahan yang mencari kesempatan di dalam kesempitan warga. Berdampak Positif Menurut Pitoyo, jumlah lahan yang harus dikorbankan warga untuk proyek BKT sebetulnya sangat kecil jika dibandingkan dengan areal yang akan terlindung dari banjir jika BKT terealisasi. Dengan panjang BKT 23,5 km dan lebar rata-rata 100 meter, maka luas lahan untuk BKT hanya 23.500 km persegi. Sementara areal yang akan terlindungi dari banjir dengan adanya BKT mencapai 270 juta km persegi. Dan di kawasan itu ada jutaan jiwa warga yang umumnya berasal dari kalangan miskin, ujar Pitoyo. Memang areal itu hanya sekitar 1/3 dari total luas DKI yang mencapai 661.52 juta km persegi. Namun keberadaannya menjadi sangat signifikan jika dikaitkan demografi penduduk di wilayah itu. Sutiyoso sendiri mengatakan, proyek BKT bukanlah satu-satunya upaya pengendalian banjir. Pihaknya terus aktif melakukan normalisasi banjir kanal barat, normalisasi beberapa kali seperti kali cipinang dan kali baru serta perbaikan sistem drainase di beberapa wilayah DKI Jakarta. Secara terpisah asisten Kepala Satuan Non Vertikal Tertentu pada IPK-PWSCC, Bambang Wiyono mengatakan pihaknya juga telah menyelesaikan pengerukan dan perbaikan Cengkareng Drain, Daan Mogot, Jakarta Barat, dan penguatan dan peningkatan kapasitas dan penguatan tebing Banjir Kanal Barat di dekat pintu air Manggarai. Selain itu juga dilakukan perencanaan detail desain Kali Mookervart sepanjang 11 km mulai dari pertemuan Mookervart-Cengkareng Drain hingga pintu air sewan, Tanggerang. Perencanaan detail desain diperlukan untuk menata program pengendalian banjir di Jakarta wilayah Barat. Sementara itu Kepala Pengembangan dan Pengelolaan DAS Ciliwung-Cisadane IPK PWSCC, Kiswaya mengatakan persoalan banjir tahunan di Jakarta juga tidak terlepas dari perubahan fungsi lahan di daerah hulu akibat pemanfaatannya yang tidak terkontrol dengan berdirinya vila, hotel, restoran, dan sebagainya. Permukaan tanah yang tertutup beton menjadi sulit tembus air sehingga tidak bisa menahan lajunya aliran permukaan atau run off air. Akibatnya banjir di hilir makin parah. Adapun upaya konservasi lahan dan sumber daya air di daerah tersebut belum sebanding dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Dengan kenyataan yang seperti ini, banjir yang akan terjadi di wilayah Jabodetabek diprediksikan masih akan terjadi pada lokasi-lokasi genangan yang hampir seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, luas dan tinggi genangan serta frekuensi bergantung pada kondisi iklim, antara lain tingginya intensitas hujan yang dapat menyebabkan terjadinya banjir serta tingginya pasang muka air laut di muara sungai atau banjir kanal. Pembaruan/Setia Lesmana Post Date : 18 November 2006 |