Banjir Menggusur Jakarta

Sumber:Media Indonesia - 05 Februari 2008
Kategori:Banjir di Jakarta
Mengawali Februari, banjir kembali menenggelamkan sebagian wilayah Ibu Kota setelah hujan turun seharian dengan lebatnya. Wilayah protokol termasuk kawasan Istana Negara digenangi air setinggi pinggang orang dewasa. Penerbangan pesawat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, ditunda sampai cuaca membaik. Serupa dengan tahun lalu, Februari dibuka dengan banjir yang cukup besar. Banjir tidak pernah bosan mengingatkan kita akan akutnya permasalahan kerusakan lingkungan di Jakarta. Kapan kita mau belajar dari kesalahan dan berusaha memperbaikinya?

Respons pemerintah lagi-lagi memakai prinsip gali lubang tutup lubang dalam menangani permasalahan banjir. Itu terkait dengan rencana Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang memperluas ruang terbuka hijau (RTH) untuk wilayah resapan air yang semakin menyempit. Namun permasalahan menjadi lain karena rencana memperluas RTH itu ternyata dilakukan dengan menggusur wilayah yang sudah dihuni warga sejak bertahun-tahun, baik untuk tempat tinggal maupun usaha kecil. Pemerintah sebaiknya memikirkan atau mengkaji ulang rencana itu karena yang akan terjadi adalah mengatasi masalah dengan masalah baru yang jauh lebih rumit karena menyangkut nasib manusia dan penghidupannya.

Langkah memperluas RTH kelihatan populis karena bertujuan mencegah agar bencana banjir tidak lebih parah menenggelamkan Ibu Kota. Namun, duduk perkaranya adalah tindakan itu sebenarnya tidak mengatasi persoalan yang sebenarnya. Masalah utamanya terletak pada ketidakberdayaan pemerintah dalam mengontrol masifnya pembangunan perumahan/permukiman dan pembangunan kawasan bisnis di Jakarta serta alih fungsi lahan yang kian tidak terkendali. Tata ruang yang seharusnya menjadi pedoman dasar pembangunan wilayah telah berubah menjadi tata uang dengan uang mengendalikan pembangunan dan segala tetek bengeknya.

Seberapa signifikan penggusuran permukiman warga bagi wilayah resapan air untuk mencegah banjir ketika pemerintah sendiri tidak mempunyai komitmen dan program yang jelas untuk mengontrol laju pembangunan yang semakin tidak manusiawi dan tidak prolingkungan hidup di Jakarta? Itulah tantangan terbesar bagi pemerintah untuk membuktikan komitmennya.

Langkah memperluas RTH dengan cara menggusur komunitas miskin, menurut penulis, adalah ilustrasi kebingungan dan ketidakjelasan masterplan pemerintah dalam mengatasi persoalan banjir yang semakin mengancam eksistensi Ibu Kota. Yang semestinya dilakukan pemerintah adalah melakukan pemetaan lokasi, mana wilayah yang dulu direncanakan atau seharusnya sebagai wilayah RTH, namun telah beralih fungsi menjadi kawasan lain, seperti kawasan Pantai Indah Kapuk dan Senayan. Beranikah pemerintah memberikan tindakan penegakan hukum pada golongan berduit tersebut karena telah melanggar ketentuan tata ruang yang ada? Untuk kemudian mengembalikan ruang atau lahan sebagaimana fungsi awalnya. Hal itu sangat penting agar tidak ada kesan diskriminatif dalam pembangunan dan penegakan hukum yang memperhadapkan antara orang miskin dan orang berduit/berkuasa. Selama pemerintah masih memarginalkan dan mengorbankan masyarakat miskin, resistensi masyarakat miskin terhadap kebijakan pemerintah akan semakin kuat.

Penanganan banjir semestinya tetap mengacu pada prinsip pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana termaktub dalam berbagai hukum hak asasi manusia di tingkat nasional maupun internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia. Penggusuran berarti berpotensi memunculkan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial karena akan mengancam eksistensi penghidupan warga. Apakah pemerintah sudah siap dengan alternatif kebijakan ketika warga harus digusur dari tempatnya sekarang? Mungkin saja pemerintah akan beralasan bahwa warga tinggal secara ilegal sehingga merasa sah dan pantas untuk digusur atau di-kuya-kuya. Di sisi lain, mereka orang-orang kaya akan dibiarkan karena telah mengantongi surat-surat resmi yang tentunya patut dipertanyakan bagaimana surat tersebut bisa keluar padahal telah melanggar ketentuan yang ada.

Dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No 11/2005, pemerintah mempunyai obligasi untuk memenuhi hak-hak itu secara progresif, terukur, dan terjadwal. Terealisasinya hak-hak itu akan sangat bergantung pada peran aktif pemerintah untuk secara konsisten mendayagunakan sumber daya yang ada melalui kebijakan, program, anggaran, dan legislasi yang jelas. Jika pemerintah belum mampu untuk merealisasikan hak-hak itu, seharusnya pemerintah jangan melakukan tindakan yang bisa menyebabkan hak-hak itu terkurangi atau hilang. Atau, itu berarti telah terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) kovenan itu ditegaskan bahwa, "Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerja sama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif."

Dalam penggusuran tersebut, setidaknya diduga akan terjadi pelanggaran berbagai jenis hak dan turunannya atau dampak berganda (multiplier effect). Hak tersebut di antaranya hak atas pekerjaan karena rata-rata lokasi yang akan digusur adalah wilayah yang sudah dipergunakan untuk berusaha/berdagang kecil-kecilan. Dengan digusur, pekerjaan mereka akan hilang atau berkurang dengan akibat turunan mengancam pemenuhan hak atas pangan, hak atas kesehatan, dan pendidikan. Ketiga sektor tersebut yaitu pangan, kesehatan, dan pendidikan yang selama ini dipenuhi dari hasil kerja mereka. Kelompok yang paling rawan terkena imbas adalah kelompok rentan yaitu anak-anak, perempuan, manusia lanjut usia, dan penyandang cacat.

Kesan untuk menjauhkan terjadinya diskriminasi dalam rencana program itu adalah sangat penting karena semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan diskriminasi tidak diperbolehkan dalam pembangunan. Dalam kovenan yang sama pada Pasal 2 Ayat (2) ditegaskan, "Negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status lainnya."

Mengatasi banjir dengan cara menggusur tidak akan menyelesaikan persoalan. Akutnya penyebab banjir di Ibu Kota tidak bisa diselesaikan secara parsial dan sekejap, namun harus melalui kebijakan yang terintegrasi dan bertahap namun pasti. Memperluas RTH dengan catatan dilakukan tanpa diskriminasi, mengembalikan kawasan resapan air sebagaimana mestinya, dan penegakan hukum lingkungan secara tegas adalah beberapa hal mendasar yang harus dilakukan pemerintah untuk menangani banjir. Jika tidak, banjir akan menggusur Jakarta.

Mimin Dwi Hartono, Staf di Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM



Post Date : 05 Februari 2008