|
SEKARANG sudah bulan Desember. Sebentar lagi Januari. Warga yang biasa kebanjiran mulai menghitung hari. Musim hujan memang sudah datang, dan mereka harus bersiap diri. Anehnya, meski sudah beberapa pekan Jakarta diguyur hujan, Komisi D DPRD DKI Jakarta bersama Dinas Pekerjaan Umum DKI baru memeriksa pintu-pintu air, Kamis (2/12) lalu. Padahal, banyaknya genangan di jalan sudah merusakkan jalan dan mengganggu mobilitas warga. LEBIH aneh lagi, kunjungan itu dilakukan hanya sekadar untuk menentukan alokasi anggaran untuk tahun 2005 pada pos penanggulangan banjir. Antara lain melalui normalisasi sungai dan pemeriksaan fungsi pompa-pompa air. Lalu bagaimana dengan pencegahan banjir yang sudah di depan mata? Ketua Komisi D DPRD DKI Sayogo Hendrosubroto menyatakan hanya bisa menggunakan apa yang ada. Yakni anggaran tahun 2004. "Justru itu, kami ke sini untuk melihat dulu sebelum menentukan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan anggaran. Mana pos yang bisa dikurangi, dan mana yang harus ditambah," katanya kepada wartawan saat meninjau di pintu air Grogol Timur. Di pintu air Manggarai, Komisi D menilai perangkat penyaring sampah sudah tidak berfungsi. Kemudian, ada satu dari enam pompa air di Setia Budi Timur II yang rusak. Pintu air Grogol Timur juga perlu diperbaiki. Upaya mengangkat sampah yang sudah mengendap masih memerlukan perubahan. Pengangkatan sampah dengan eskavator dinilai belum efektif sehingga membutuhkan sistem penyedotan. Komisi D justru mengkhawatirkan kawasan muara sungai, yakni di daerah Pluit. Untuk itu, perumahan-perumahan liar yang mengganggu aliran air perlu ditata. Tentu saja, penataan dan perbaikan itu membutuhkan skala prioritas. Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Fodly Misbach mengatakan, antisipasi banjir dilakukan dengan sistem struktur, yakni koordinasi vertikal dari Pemprov DKI hingga kecamatan dan kelurahan, serta dinas-dinas terkait. Konkretnya, memonitor cuaca dan ketinggian permukaan air di pintu-pintu air. Lalu, sistem non-struktur berupa pemeriksaan dan perbaikan sarana-sarana yang dapat mengantisipasi air secara cepat. Konkretnya, perbaikan atau penggantian pompa penyedot air dan pengerukan sampah-sampah secara dini. Paling tidak, dari 6.000 ton sampah di Jakarta, Dinas PU DKI harus membersihkan sekitar 100-150 ton. Selebihnya dibersihkan Dinas Kebersihan. Di samping itu, Pemprov DKI juga tetap mengupayakan normalisasi sungai. Misalnya saja normalisasi Kali Sunter, Kali Item, dan Cipinang secara bertahap. DARI kunjungan Komisi D tersebut sebenarnya sudah tergambar betapa infrastruktur pencegahan banjir belum sepenuhnya siap. Malah ada beberapa yang rusak. Padahal, ancaman banjir sudah di depan mata! Membicarakan program penanggulangan banjir di Jakarta, selalu saja orang mengaitkannya dengan proyek banjir kanal timur (BKT) yang diyakini akan mampu membebaskan sebagian besar wilayah Jakarta Timur dan utara dari ancaman banjir. Sayangnya, proyek itu tak kunjung selesai alias ora rampung-rampung. Memang ada beberapa paket pekerjaan seperti pengerjaan jembatan awal BKT di Kelurahan Cipinang Besar Selatan, atau pengerjaan jembatan penghubung Jakarta dan Bekasi di Kelurahan Ujung Menteng. Namun, pekerjaan itu bisa dikatakan hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan proyek BKT. Penggalian tanah yang merupakan pekerjaan utama justru masih tersendat-sendat. Padahal, panjang kanal mencapai 23 kilometer dengan lebar bervariasi antara 100, 200, serta 300 meter. Membebaskan lahan memang butuh waktu. Selain soal nilai ganti rugi yang tak disepakati warga, ada pula kendala lain berupa sertifikat ganda. Malah ada pemilik tanah yang bersengketa di pengadilan. Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhayar mengaku dapat memahami ratusan bahkan ribuan warga yang enggan "melepas" tanahnya. "Kalau lokasinya persawahan, mudah saja. Tapi kalau itu perumahan atau pertokoan, ya sulit karena menyangkut harga bangunan yang tinggi dan lokasi yang strategis. Seharusnya, bangunan dihargai sesuai harga pasar, yang jelas lebih tinggi daripada NJOP," paparnya. Meski berhadapan dengan banyaknya permasalahan tanah, Wali Kota Jakarta Timur Koesnan A Halim mengaku optimistis proses pembebasan lahan akan rampung pada tahun 2007, seperti ditargetkan. "Kami selesaikan dulu lah yang sudah jelas. Tanahnya kan ratusan hektar. Biarkan yang bermasalah menyelesaikan dulu ke pengadilan," kilahnya. Karena mendesaknya proyek, maka pada tahun 2005 anggaran pembebasan lahan dilipatgandakan menjadi Rp 450 miliar, jauh lebih besar daripada tahun 2004 yang hanya 100 miliar. "Nantinya, tahun 2006 dan 2007 juga akan diusulkan Rp 450 miliar," kata Koesnan. Apalagi Gubernur Sutiyoso sangat bersemangat agar proyek itu bisa selesai secepatnya. Ia bahkan mengusulkan agar anggaran Rp 450 miliar itu sebagian diambilkan dari dana cadangan APBD. "Gubernur meminta sekitar Rp 260 miliar dari dana cadangan untuk membiayai berbagai proyek vital di tahun 2005," kata anggota Komisi C Muhammad Nakum. Dana cadangan itu sendiri mencapai Rp 873 miliar. Rp 400 miliar di antaranya adalah dana cadangan yang dikumpulkan sejak tahun 1999. Menurut Koesnan, banyak warga yang sudah mulai mau menjual tanahnya sesuai NJOP. Bahkan, ada yang minat cepat-cepat dibayar. Benarkah? (Susi Ivvaty/ Stefanus Osa) Post Date : 03 Desember 2004 |