|
Malang, Kompas - Hujan yang turun terus-menerus sejak Rabu lalu mengakibatkan sekitar 12 desa di dua kecamatan Kabupaten Blitar, Jawa Timur, sejak Kamis lalu hingga Sabtu (4/12) dilanda banjir. Akibat banjir itu, sedikitnya ditemukan 12 orang tewas, lima orang dari Kecamatan Kademangan dan tujuh dari Kecamatan Sutojayan. Sekretaris Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I yang membawahi Daerah Aliran Sungai Brantas Harianto mengatakan, banjir terjadi karena dua bendungan yang ada di Kecamatan Sutojayan, yakni Bendungan Wlingi Raya dan Serut di Kecamatan Kademangan tidak mampu menampung debit air Sungai Brantas. Menurut Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar Didik Bintoro, kerusakan paling parah akibat banjir itu terjadi di Desa Dawuhan, Kecamatan Kademangan. Di desa tersebut ditemukan 18 rumah hanyut, 14 rumah roboh, 26 di antaranya tergenang lumpur, 16 kandang ternak rusak, dan 24.000 ternak ayam hanyut dan mati. Sedangkan di Kecamatan Sutojayan, ribuan rumah hingga sore kemarin masih tergenang banjir. Jika sebelumnya genangan air sempat mencapai ketinggian tiga meter, sejak Sabtu kemarin air mulai surut menjadi sekitar 1,5 meter. Di masing-masing kecamatan tersebut, Didik mengatakan, banjir terjadi di tujuh desa Kecamatan Kademangan dan lima desa Kecamatan Sutojayan. "Menurut perkiraan kami, banjir ini juga terjadi di Kecamatan Bakung. Namun, kami belum bisa memastikan karena akses jalan menuju ke sana, yaitu melalui Desa Kebonsari dan Gogouwung, masih terhambat oleh tebalnya endapan lumpur," paparnya. Pasar porak-poranda Menurut penuturan seorang warga Kecamatan Sutojayan, Heri Santoso, bencana ini juga menimpa Desa Ngeni di Kecamatan Wonotirto. Di desa tersebut, sedikitnya tujuh rumah ambruk dan sebuah pasar porak-poranda. Kendati banjir ini terjadi setiap tahun, Heri mengatakan, kali ini yang paling parah. "Biasanya tinggi air di sini sekitar 25 hingga 30 sentimeter. Kami pun kaget ketika air makin deras dan semakin tinggi hingga sekitar tiga meter," tuturnya. Salah satu penyebab bencana banjir itu, menurut Heri, adalah semakin gundulnya lahan di Gunung Kepek dan Limas. Ketika di gunung tersebut terjadi hujan lebat, air mengalir deras ke rumah-rumah penduduk. Jarodin, warga lainnya, mengatakan, banjir paling parah terjadi Jumat sekitar pukul 19.00. Karena panik melihat aliran air yang deras, ia pun segera mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan berkoordinasi dengan tetangga untuk menyelamatkan diri. Karena rumahnya kebetulan bertingkat dua, dia pun membantu mengungsikan sekitar 15 warga lain ke lantai atas. "Namun, karena lantai bawah rusak terendam air, sementara ini anak istri dan nenek saya ungsikan ke SD Kembangarum dan SD Jingglong," ungkapnya. Banjir kali ini, menurut Jarodin, luar biasa. Air yang mengalir deras sejak Kamis berlangsung hingga Sabtu dini hari. Itu membuat warga kesulitan mendapat bantuan dari tim search and rescue (SAR). "Karena gelombang air sangat kuat dan deras, tim SAR yang sudah datang sejak Jumat sore urung masuk ke daerah kami. Mereka baru bisa datang menolong saat aliran air mulai agak tenang, Sabtu pagi sekitar pukul 02.00," ujarnya menjelaskan. Kehilangan harta Di saat bencana berlangsung, warga harus merelakan harta benda mereka. Misnatun (59) misalnya, kehilangan banyak peralatan rumah tangga karena tak mampu berbuat banyak ketika banjir datang. "Waktu banjir mulai masuk rumah, kami lekas-lekas membuka pintu rumah dan berlari keluar mencari pertolongan. Akibatnya, barang-barang di dapur dan kamar belakang habis tak bersisa," ujarnya. Hal yang sama dialami Samuri (40). Karena sibuk menyelamatkan diri dan barang-barang berharga yang dipunyai, dia pun kehilangan tiga ekor sapi. Sedangkan beberapa ekor kambing miliknya masih bisa diselamatkan dengan cara digendong. Di tengah kesulitan yang dialami para korban banjir, salah seorang sukarelawan Heri menyayangkan lambatnya bantuan dari Pemkab Blitar. "Berhubungan dengan instansi, urusan bantuan saja masih terhambat oleh panjangnya rantai birokrasi. Untung saja, spontanitas warga yang tidak terkena banjir, cukup bagus. Sehingga, bantuan pun lebih banyak dan lebih cepat datang dari mereka," ungkapnya. Saat ditemui kemarin, warga yang rumahnya tergenang air di Kelurahan Sutojayan, Kecamatan Sutojayan, mulai tampak membersihkan rumah. "Karena masih penuh air dan belum bisa ditempati, kami akan mengungsi dulu di rumah tetangga desa lainnya," ujar warga lainnya, Minatun. Karena masih dipenuhi air, banyak warga terlihat duduk di atas meja atau di loteng. Bahkan, beberapa hewan peliharaan, seperti anjing dan ternak ayam, tampak berada di genteng. Mengungsi Menurut Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas) Pemkab Blitar Wiyono Raharjo, 17.649 orang dari Kecamatan Sutojayan mengungsi ke beberapa gedung SD dan masjid di Desa Jegu, Sukorejo, dan Kembangarum. "Sedangkan di Kecamatan Kademangan, karena air tidak menggenang, warga yang mengungsi adalah mereka yang rumahnya hancur diterjang banjir, 28 keluarga," ujarnya. Sementara itu, bantuan untuk korban banjir terus mengalir termasuk dari Pemkab Blitar dan warga lain yang tidak tertimpa musibah banjir. Namun, menurut salah seorang sukarelawan, kebutuhan air bersih dan makanan masih dirasakan kurang. Untuk menyalurkan bantuan, karena genangan air masih tinggi, digunakan perahu karet yang dikerahkan satuan Brigade Mobil. Bantuan roti dan mi instan diberikan dengan cara dilempar kepada warga yang tengah sibuk membersihkan rumah. Karena tidak bisa memasuki pekarangan rumah, bantuan itu sering kali dilempar terlalu jauh, dan meleset dari sasaran. Akibatnya, banyak pula yang jatuh ke air. "Untuk bahan pangan seperti beras dan mi instan memang masih terus berdatangan. Tapi kalau air bersih tidak ada, lalu memasaknya bagaimana? Oleh karena itu, kami masih mengupayakan agar warga bisa segera mendapatkan nasi bungkus yang siap disantap," ungkapnya.(sem/egi/rzf) Post Date : 05 Desember 2004 |