|
Persoalan banjir di Indonesia menjadi masalah klasik yang tak pernah usai. Hampir setiap tahun terjadi banjir, baik itu banjir kiriman maupun banjir yang terjadi karena kondisi lingkungan yang rusak akibat ulah manusia. Banjir yang terjadi di wilayah perkotaan disebabkan oleh buruknya desain tata ruang dan sistem drainase yang amburadul. Sedangkan banjir yang terjadi di wilayah pedesaan karena semakin rusaknya lingkungan. Banjir sebagai masalah tahunan juga terjadi di wilayah Banten, yang hingga kini belum teratasi. Berdasarkan data dari Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) Penanggulangan Bencana (PB) Banten, sedikitnya terdapat 392 desa dari 1.481 desa di wilayah Banten yang dikategorikan sebagai titik rawan bencana, baik itu banjir maupun tanah longsor. Berbagai upaya pemerintah daerah, baik itu pemerintah kabupaten/kota maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten selama bertahun-tahun, hingga kini belum menunjukkan hasil yang signifikan, bahkan nihil. Padahal, banjir yang terjadi setiap tahun itu telah membuat masyarakat menderita. Bukan hanya harta benda yang membuat masyarakat menderita kerugian yang sangat besar, tetapi juga nyawa manusia, menjadi korban keganasan banjir. Ironisnya, pemerintah hanya menyiapkan sarana dan prasarana bantuan setelah terjadinya banjir, namun tidak pernah melakukan langkah antisipatif mencegah banjir. Padahal, penyebab banjir itu sendiri sudah bisa diidentifikasi, baik itu karena pendangkalan sungai maupun drainase yang buruk. Ketika terjadi banjir, para pejabat baik itu dari Pemprov Banten maupun dari Pemkab Pandeglang terlihat panik dan berbondong-bondong terjun ke lokasi untuk menyerahkan bantuan dan menunjukkan simpati kepada masyarakat korban banjir. Namun, apakah pemberian bantuan itu sebagai solusi yang tepat? Memberikan bantuan adalah solusi tentatif, yang bersifat jangka pendek, dan tidak akan pernah menyelesaikan akar persoalan. Banjir akan secara rutin menghantui masyarakat setiap tahun, dan setiap tahun pula para pejabat mengunjungi korban banjir. Tujuh kecamatan di Pandeglang, yakni Kecamatan Pagelaran, Panimbang, Patia, Sukaresmi, Sindangresmi, Patia, Munjul dan Labuan, telah diidentifikasi oleh Satkorlak PB Banten sebagai daerah rawan banjir. Setiap tahun di kawasan itu selalu mengalami banjir, namun belum ada solusi yang tepat untuk membebaskan masyarakat dari persoalan yang datang secara rutin itu. Berdasarkan data yang diperoleh banjir yang terjadi beberapa hari lalu di tujuh kecamatan di Pandeglang itu, telah mengakibatkan 367 hektare (ha) sawah di kawasan itu mengalami kerusakan akibat terendam air, yang terdiri atas 361 ha sawah. di Kecamatan Patia, dan seluas enam ha sawah di Kecamatan Angsana. Sementara itu, warga yang terkena banjir sebanyak 2.252 keluarga di tujuh kecamatan. Ketua Satlak PB Pandeglang H Erwan Kurtubi di sela-sela kunjungan ke lokasi banjir, Selasa (1/1) menjelaskan, banjir yang melanda sejumlah kecamatan di Pandegalng tidak hanya menyebabkan warga menderita kerugian harta benda tetapi juga menelan korban jiwa manusia. Seorang warga tewas pada musibah banjir, Kamis (27/12) akibat terjatuh di Jembatan Pasir Kuda, Desa Koncang, Kecamatan Cipeucang yang roboh. "Keselamatan warga yang tinggal di daerah rawan bencana akan terus terancam jika persoalan banjir tidak pernah diatasi. Upaya mengatasi banjir selalu terbentur dengan terbatasnya anggaran yang dimiliki Pemkab Pandeglang. Karena itu kami meminta agar Pemprov Banten dan pemerintah pusat ikut membantu mengatasi masalah pencegahan terjadinya banjir ini," katanya. Penyodetan Untuk mengatasi terjadinya banjir di tujuh kecamatan itu, perlu dilakukan penyodetan Sungai Cilemer dan pengerukan di muara Sungai Cibungur. Camat Patia Ali Khohar mengatakan, untuk mendukung upaya penyodetan Sungai Cilemer, diperlukan juga pembangunan tanggul di sepanjang bantaran sungai itu, karena sebagian warga bermukim di bantaran sungai. Menanggapi permintaan Ketua Satlak Pandeglang dan Camat Patia serta masyarakat korban banjir, Gubernur Banten Hj Ratu Atut Chosiyah memerintahkan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Banten melakukan koordinasi dengan DPU Pandeglang mengeruk sungai yang mengalami pendangkalan itu. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian, Billy Parmono yang ikut meninjau korban banjir di Pandegalng mengatakan, untuk melakukan penyodetan sungai maupun pengerukan, terlebih dahulu dibuat kajian secara komprehensif, dan akan menelan dana yang sangat besar. "Kami memang belum melakukan kajian. Kami akan mengkaji dulu, guna membuat desain penanganan terhadap sungai-sungai yang ada. Namun, untuk membiayai itu semua, tidak cukup hanya mengandalkan APBN atau APBD. Kita harus meminta bantuan dari Asian Development Bank (ADB), karena biayanya sangat besar," katanya. Dia telah berulang kali mengajukan bantuan ke sejumlah negara donor melalui sejumlah menteri, untuk membiayai penyodetan beberapa sungai itu, namun hingga saat ini tidak ada realisasinya. Perwakilan dari tiga negara yakni Korea, Belanda, dan Jerman sudah pernah melihat sungai-sungai yang ada, namun tidak ada tindak lanjutnya. [SP/Laurens Dami] Post Date : 04 Januari 2008 |