|
Banjir lagi, ngungsi lagi...," gerutu warga. Maklum, jika warga yang tinggal di daerah rawan banjir letih dan kesal. Banjir memang berkali- kali terjadi sejak pertama melanda 18 Januari lalu. Bahkan, ada yang mengaku sampai tujuh kali mengungsi. Terakhir, banjir mulai Minggu (6/3) dini hari hingga Senin siang kembali membuat warga pontang-panting mengungsi. Tercatat, 142 keluarga (524 jiwa) di RW 11 dan 108 keluarga (258 jiwa) di RW 07 Kelurahan Bidara Cina, Jakarta Timur, kebanjiran. Di Kampung Melayu, lebih dari 10.000 orang kebanjiran. Itu belum di Bukit Duri dan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, yang juga teraliri Kali Ciliwung. Kali ini banjir besar juga melanda Bekasi karena meluapnya Kali Bekasi yang merupakan pertemuan Kali Cileungsi dan Kali Cikeas. "Jakarta siaga dua, Bekasi siaga satu. Kami kerahkan semua pompa yang ada," kata Pimpinan Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai PIPWSCC Departemen PU Bambang Sutjipto Yuwono. Kisah Jefri, relawan Pemuda Panca Marga Jakarta Timur, menolong seorang warga yang tengah melahirkan bisalah menjadi cermin. "Waktu itu, Minggu sore, Pak Lurah dapat telepon dari bidan. Rupanya, ia sedang membantu seorang ibu yang melahirkan di RW 02 Kampung Melayu saat banjir masuk rumah. Padahal, ibu itu sudah tidak tahan lagi, anaknya akan segera keluar," paparnya. Lurah Kampung Melayu Lutfi Kamal pun sibuk mencari tambang, sementara para relawan mengusahakan perahu karet. Aliran air cukup deras. "Perahu kami saja sampai terbalik-balik," kata Jefri. Ada 16 relawan yang turun ke rumah ibu itu dengan menggunakan tambang, semacam survei lokasi. Setelah okay, barulah perahu karet didatangkan. "Ibu dan bidan itu langsung digotong. Ibu itu terus mengejan di atas perahu. Begitu sampai di atas, bayinya lahir, masih di perahu. Mereka lalu dibawa ke RS Budhi Asih," papar Jefri. Banjir memang makin sering terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Kali Ciliwung makin dangkal karena sampah dan lumpur. Menurut Bambang, untuk menormalisasi Kali Ciliwung terlebih dahulu harus membebaskan lahan di kanan dan kiri sungai. Padahal, saat ini bantaran Kali Ciliwung sudah dipadati penduduk. "Saya lahir di sini tahun 1955, jadi tahu sekali situasinya. Dulu perumahan penduduk tidak sepadat ini. Masih ada lapangan sepak bola. Sekarang, yang masih ada hanya satu lapangan tenis. Lapangan olahraga sudah jadi rumah semua," ujar Mariani, warga RT 14 RW 03 Kampung Melayu, Jakarta Timur. Wali Kota Jakarta Timur Koesnan A Halim beberapa kali menawarkan rumah susun (rusun) sewa untuk warga bantaran kali. Menurut wali kota, warga pasti mau tinggal di rusun daripada harus kebanjiran setiap tahun. Ternyata, menurut sejumlah warga, rencana pembuatan rusun belum tentu berhasil. Pasalnya, banyak yang sudah telanjur membangun rumah bertingkat berlantaikan keramik. Bambang mengatakan, untuk mengendalikan Kali Ciliwung memang membutuhkan biaya sosial (di samping materi) yang besar. Untuk membuat Waduk atau Bendungan Ciawi di Desa Gadog, Megamendung, Kabupaten Bogor, Pemprov DKI Jakarta harus membebaskan lahan sekitar 204 hektar yang dihuni 1.114 keluarga atau 5.442 jiwa. Sebanyak 639 rumah dan 59 bangunan lain harus dibongkar. Menurut survei sementara, biaya pembebasan lahan mencapai Rp 129 miliar, sedangkan biaya konstruksi Rp 850 miliar. Menurut Bambang, Bendungan Ciawi ini akan signifikan mengendalikan Kali Ciliwung sehingga debit air tak terlalu besar sampai ke Jakarta. Persoalannya, kapan pembangunan waduk dimulai, sedangkan saat ini masih dalam tahap desain teknik. Padahal, warga makin kerap dibanjiri air Kali Ciliwung. Apa menunggu Jakarta tenggelam? (IVV) Post Date : 08 Maret 2005 |