Banjir! Longsor! Kita Kaget Lagi!

Sumber:Kompas - 07 Januari 2006
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Musim hujan telah tiba. Masih belum puncaknya. Namun, berturut-turut terjadi banjir bandang di Jember, Jawa Timur (2/1), dan longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah (3/1). Korban yang besar lebih dari 100 orang di Jember, dan dikhawatirkan melebihi 100 orang di Banjarnegara. Kita terkejut meskipun telah menjadi berita rutin setiap musim hujan.

Banjir dan longsor serta sejolinya kekurangan air dan kebakaran hutan adalah risiko bencana yang dapat kita kelola. Pengelolaan adalah usaha berencana dan sistematis untuk memperkecil besarnya risiko. Besarnya risiko dapat dihitung dengan rumus R = p x K; dengan R = risiko, p = probabilitas yang dalam bahasa sehari-hari disebut kemungkinan, dan K = konsekuensi berupa kerugian materiil, luka, dan kematian.

Dari rumus itu, risiko bencana dapat diperkecil dengan memperkecil kemungkinan (p) terjadinya bencana dan/atau memperkecil konsekuensinya (K). Usaha ini bersifat preventif. Namun, kita tidak melakukan usaha preventif. Penanggulangan bencana itu mahal dan penderitaan telah terjadi. Usaha preventif lebih murah dan penderitaan dapat dicegah.

Lahan kritis

Banjir dan longsor adalah bencana alam yang bersumber pada hujan lebat serta kerusakan hutan dan vegetasi lain yang menghasilkan lahan kritis. Untuk mengelola risiko bencana banjir dan longsor, kita tidak dapat mencegah terjadinya hujan lebat. Namun, kita dapat mengurangi kemungkinan (p) terjadinya bencana dengan mencegah dan/atau memperbaiki lahan kritis. Meskipun telah dilakukan reboisasi dan penghijauan berjuta hektar sejak tahun 1960, luas lahan kritis bukannya berkurang, melainkan terus bertambah. Kegagalan ini disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama, karena ada oknum pejabat yang pura-pura tidak tahu ada penebangan hutan untuk mendapatkan kayu dan menanam sayuran yang kemudian ditadah oleh oknum-oknum di kota. Oknum ini pun yang memodali penebangan. Dari tayangan di televisi tampak jelas, air banjir bandang di Jember membawa banyak sekali lumpur yang memberi petunjuk bahwa hutan di hulu telah rusak. Kerusakan disebabkan konversi hutan untuk perkebunan kopi rakyat dan pertanaman sayuran dan palawija. Tetapi, mengapa yang berwewenang atas hutan itu diam saja?

Kedua, kegagalan reboisasi dan penghijauan yang telah kita lakukan sejak tahun 1960-an. Kegagalan reboisasi dan penghijauan dalam tahun pertama sudah dapat mencapai lebih dari 50 persen. Karena pemeliharaan sangat minim, setelah lima tahun yang hidup tinggal beberapa persen saja. Yang mati lebih dari 90 persen. Lalu diadakan gerakan reboisasi dan penghijauan lagi. Sebab, kegagalan ialah waktu penanaman sering tidak tepat. Anggaran baru cair akhir musim kemarau dan bibit yang ditanam masih kecil sehingga banyak yang mati. Lebih celaka lagi jika anggaran baru cair pada akhir musim hujan dan bibit yang kecil ditanam pada musim kemarau. Mubazirlah miliaran, bahkan secara nasional triliunan rupiah.

Herankah kita kegagalannya tinggi? Pada lain pihak, kegagalan memberi kesempatan kepada instansi dan lembaga swadaya masyarakat tertentu untuk mendapatkan proyek reboisasi dan penghijauan lagi. Adakah kesengajaan untuk menjaga agar dana proyek reboisasi dan penghijauan tidak mengering? Wallahualam.

Ketiga, kemiskinan yang diperparah oleh pembangunan yang tidak prorakyat miskin. Di Jawa tampak jelas, pembangunan jalan tol, industri, dan permukiman telah memarjinalkan rakyat miskin. Pemilik lahan dapat ganti rugi meskipun sering di bawah harga pasar. Namun, buruh tani serta pengusaha pedati dan pedagang pengangkut hasil pertanian yang kehilangan sumber pendapatannya tidak dapat ganti rugi apa-apa. Mereka tergusur dan hanya mempunyai dua pilihan, naik gunung dan membabat hutan untuk menanam bahan pangan agar tidak mati kelaparan atau bermigrasi ke kota serta memperbesar barisan pengamen, penganggur, pengemis, pedagang kaki lima, serta penghuni rumah reyot di bantaran sungai dan di kolong jembatan.

Peristiwa ini terutama terjadi pada waktu laju pembangunan sangat tinggi dalam tahun 1970-1990 pada era Orde Baru. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dibuat, juga oleh universitas terkenal, tak memerhatikan ini dan disetujui Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta instansi bawahannya. Gunung Geulis di Jawa Barat adalah sebuah contoh yang sangat ilustratif bagaimana penduduk tertekan oleh pembangunan industri dan perumahan ke lereng gunung. Gunung telah gundul sampai ke puncaknya. Gunung Geulis tidak geulis (cantik) lagi.

Ala Protokol Kyoto

Mengingat reboisasi dan penghijauan selama 50 tahun telah gagal, perlu dicari modus operandi baru. Disarankan untuk meniru mekanisme pembangunan bersih (MPB) ala Protokol Kyoto yang saya sebut pseudo-MPB (tiruan MPB). Penelitian dan pengalaman menunjukkan, di bawah kondisi tanah dan iklim Indonesia, hutan yang rusak dapat pulih kembali secara alamiah. Tak perlu direboisasi. Hutan yang tumbuh kembali mengikat karbon. Karbon itu diberikan kepada penduduk. Yang diberikan hanya karbonnya, bukan hutannya dan lahannya. Hutan dan lahan hutan tetap milik negara.

Karena tidak perlu reboisasi, dana reboisasi digunakan membeli karbon yang terikat dalam hutan yang tumbuh kembali. Uang pembelian karbon itu diberikan kepada penduduk dengan syarat hutan tetap utuh. Jika hutan dibabat atau dibakar untuk menanam sayuran atau jagung dan singkong, uang pembelian karbon hangus. Pembelian karbon itu akan merupakan insentif yang kuat untuk mendorong penduduk menjaga hutan dari kerusakan.

Memperkecil konsekuensi bencana (K) dapat dilakukan dengan menggunakan sifat curah hujan serta peta topografi dan rawan longsor. Berdasarkan data itu, dapat direncanakan tata ruang pembangunan untuk menghindari penduduk terdorong ke lereng gunung dan membangun perumahan di bawah lereng itu. Dalam amdal harus secara eksplisit dicantumkan rekomendasi cara menangani rakyat miskin bukan pemilik lahan. Permukiman yang telanjur ada yang menghadapi risiko bencana tinggi perlu ditata kembali. Penataan kembali memang tidak mudah. Namun, alternatifnya ialah pengungsian penduduk serta jatuhnya korban luka dan meninggal karena banjir dan longsor.

Salahkah penduduk miskin yang merambah hutan? Dari segi hukum formal, ya. Namun, dari segi sosial-ekonomi tidak. Mereka tergusur oleh pembangunan dan menjadi korban bencana. Menyalahkan mereka, ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Yang salah ialah para perencana dan pelaksana pembangunan, pembuat amdal, dan instansi yang menyetujuinya. Mereka tidak mempunyai kepekaan sosial dan hanya mengejar ekonomi.

Dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan ekologi, ekonomi, dan sosial yang disetujui dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg dalam tahun 2002 hanya pilar ekonomi yang diperhatikan. Dua pilar lainnya, yaitu ekologi dan sosial, diabaikan. Hasilnya, pembangunan tidak akan berkelanjutan.

Nanti bulan Mei kita lupa bencana banjir dan longsor. Kita kaget kebakaran hutan. Malaysia dan Singapura mengomeli kita. Kita malu. Atau mungkin tidak juga karena kita sudah kehilangan budaya malu. Kemudian mulai bulan Juni kita kaget berita rutin kekurangan air. Sawah puso. Orang antre di pompa air umum dan di sumur komunal untuk mendapatkan air.

Mengapa kita tidak mau belajar dari pengalaman dan melakukan pengelolaan risiko dengan baik? Mengapa yang kita lakukan penanggulangan bencana, bukannya usaha preventifnya? Karena motivasi mendapatkan proyekkah?

Otto Soemarwoto Guru Besar Emeritus Ekologi Unpad

Post Date : 07 Januari 2006