|
Hari-hari ini warga Jakarta dan sekitarnya masih sibuk membersihkan sampah akibat banjir besar yang merendam sebagian wilayah nyaris sepekan. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pun digugat. Sutiyoso pun piawai menjawab, ini adalah banjir lima tahunan. Jawaban "banjir lima tahunan" seakan sudah menjadi sebuah keniscayaan. Banjir, pada intinya disebabkan oleh hujan dengan intensitas tinggi sebelum kemudian ditambah dengan faktor-faktor permukaan lainnya. Ditilik dari faktor hujan, maka tidak benar pendapat akan adanya siklus lima tahunan hujan besar. Iklim dan cuaca memiliki beragam parameter yang sifatnya global, regional, dan lokal. Parameter-parameter itu antara lain suhu udara, suhu air laut, tekanan udara, kelembapan udara, arah angin, dan kecepatan angin. Manajer Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr. Fadli Syamsudin menegaskan, selain itu masih ada faktor lokal yang sifatnya nonlinier-random, khaos. Akibatnya, periodisasi perilaku iklim tidak bisa dikatakan memiliki siklus tertentu. Pengajar di Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Armi Susandi, MT memperkuat pernyataan itu. Dia mengatakan, "hanya orang awam yang mengatakan itu". Jika hanya berpegang pada fakta: banjir besar melanda Jakarta pada tahun 1996, 2002, dan 2007-itu pun tidak pas lima tahunan, data tersebut belum cukup untuk mengklaim. Armi menegaskan, untuk perubahan siklus musim saja perlu waktu 30 tahun pengamatan. Sementara, sekarang ada percepatan perubahan iklim akibat pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia sejak era revolusi industri. Aktivitas manusia tersebut menyebabkan semakin tebalnya lapisan gas-gas rumah kaca (green house gases) seperti CO2 yang bersifat memerangkap panas. Saat ini bumi menjadi lebih panas sekitar 0,6 derajat Celsius sejak tahun 1975. Armi yang menjadi narasumber utama untuk perubahan iklim bagi Kementrian Negara Lingkungan Hidup ini mencontohkan, sekitar sepuluh tahun lalu El Nino terjadi antara 3-7 tahun sekali, kini periodenya sekitar 2-5 tahun sekali. Menjadi lebih cepat. Tidak banjir lagi Banjir besar telah menimbulkan trauma. Lantas, bagaimana paruh akhir musim hujan ini? Masih adakah ancaman banjir untuk Jakarta? Jawabnya adalah tidak. Curah hujan yang tinggi di Jakarta dan sekitarnya pada awal Februari lalu, jelas Fadli, adalah akibat adanya massa uap dingin jenuh dari utara (cold surge) yang menuju ke Pulau Jawa. Cold surge berlangsung sekitar dua pekan, dengan puncaknya di akhir minggu pertama Februari lalu. Ketika gejala itu terhenti maka curah hujan pun normal lagi. Sementara itu, dari proyeksi curah hujan bulan Januari, Februari, dan Maret yang dikembangkan Armi dengan menggunakan model, nampak bahwa intensitas curah hujan tinggi semakin bergeser ke utara. Pelepasan energi berupa hujan dengan curah hujan tinggi, telah terjadi awal Februari lalu. Ketika energi telah dilepaskan (released) maka perlu waktu panjang untuk mengumpulkan energi yang sama besar. Pergeseran intensitas curah hujan yang tinggi ke arah utara nampak pada model tersebut. Model ini diolah dengan asimilasi data-data meteorologis. Model proyeksi perubahan iklim Indonesia ini, menurut Armi, adalah yang pertama secara spasial dan temporal-mencakup lokasi (ruang) dan waktu-yang dihasilkan di ITB. Pada bulan Februari nampak intensitas curah hujan yang tinggi berada di bagian selatan Jakarta, di sekitar Tangerang. Posisi ini sesuai dengan lokasi curah hujan tertinggi pada awal Februari yaitu di Pondok Betung, Tangerang yang pada tanggal 1 Februari mencapai sekitar 340 mm. Curah hujan harian dengan intensitas curah hujan berkisar 0-5 mm masuk dalam kategori curah hujan rendah (gerimis), hujan ringan intensitasnya berkisar 5-10 mm, hujan sedang antara 10-20 mm, hujan lebat 20-50 mm per hari, dan hujan sangat lebat ketika intensitas curah hujan lebih dari 50 mm. Bisa dibayangkan jika intensitas curah hujan sekitar 340 mm terjadi dalam waktu sekitar sehari. Nampak bahwa pada bulan Maret intensitas curah hujan di selatan Jakarta semakin mengecil. Yang terjadi kemudian adalah hujan normal dengan curah hujan rata-rata 5-10 mm. Lokasi curah hujan yang tinggi sudah bergeser ke utara. Pergeseran ini yang menurut Armi dulu tidak pernah terjadi, artinya curah hujan dengan intensitas tinggi biasanya tetap berada di selatan, merupakan salah satu indikasi bahwa telah terjadi respons cuaca terhadap aktivitas manusia yang semakin tinggi. Dari proyeksi tersebut nampak bahwa Jakarta sudah akan aman dari banjir bandang seperti pekan pertama Februari lalu. Namun yang lebih penting, apa yang dikatakan Sutiyoso dan pemerintah pusat soal penanggulangan banjir jangan hanya menjadi "pemanis bibir". Ada pepatah Jepang yang berbunyi, "Visi tanpa tindakan adalah mimpi siang bolong. Tindakan tanpa visi adalah malapetaka..." Geosciences, University of Hamburg/Max Planck Institute for Meteorology. Post Date : 14 Februari 2007 |