|
HUJAN datang, Jakarta terancam. Banjir sewaktu-waktu datang. Jika tidak waspada, harta benda -- juga nyawa -- boleh jadi akan melayang. Tidak ada yang bisa menduga, banjir memang kerap menimbulkan korban jiwa. Hendi, 48, tiga pekan lalu, tewas terkena sengatan listrik di Kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang, Jl Raya Pluit Utara. Dia tersengat listrik saat membersihkan rumah majikannya di Jl Raya Pluit Utara No 29 yang saat itu masih digenangi air setinggi 30 sentimeter. Hendi saat itu berusaha mencolokkan kabel listrik yang sebelumnya terendam di air. Saat itulah sengatan listrik langsung menyambar tubuh Hendi. Selain peristiwa itu, di kawasan Pluit, rumah milik Sugianto Harsono, 57, Jl Pluit Timur Blok G Selatan, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, yang kosong dimasuki kawanan pencuri pukul 11.30 kemarin. Keluarga Sugianto terpaksa pergi mengungsi ke sebuah apartemen di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, gara-gara banjir yang melanda kawasan Pluit. ''Saya tidak menyangka rumah saya bisa jadi sasaran para penjahat. Untungnya, petugas berhasil menggagalkan pencurian ini sehingga barang-barang berharga milik saya selamat,'' ujar Sugianto. Tetap jadi masalah Gagal atau tidak aksi pencurian tersebut, yang pasti banjir berapa pun tingginya ketinggian air, tetap memunculkan masalah buat warga Jakarta. Selain rumah mereka teggelam, wabah penyakit selalu datang mengikutinya. Setiap kali hujan lebat lebih dari satu jam -- apalagi jika disertai banjir -- sudah dapat dipastikan jalan-jalan di Ibu Kota pasti macet, seperti yang terjadi Jumat (30/1) lalu. Beberapa ruas jalan mengalami kemacetan panjang. Lalu lintas dari Blok M hingga Jl Sudirman nyaris tidak dapat bergerak karena ada beberapa pohon yang tumbang di dekat Ratu Plaza. Hal yang sama juga terjadi di Jl Panjang sejak perempatan Permata Hijau, Jakarta Selatan, hingga perempatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Genangan air yang ada di beberapa tempat membuat kendaraan melintas berusaha melaju dengan kecepatan sedang dan membuat antrean lalu lintas semakin panjang di sana. Jatuhnya ranting-ranting pohon akibat badai yang menyertai hujan deras itu membuat para pengemudi kendaraan yang lewat di sana harus lebih berhati-hati. Beberapa mobil yang lewat terkena patahan ranting pohon yang tumbang. Jika kondisi seperti itu, warga bisanya cuma mengeluh dan mengumpat. "Payah tinggal di Jakarta. Enggak hujan, lalu lintas macet. Apalagi hujan, situasi semakin enggak keruan," kata Richard Sinambela, yang hari itu terjebak kemacetan lalu lintas di kawasan Jl Sudirman, Jakarta Selatan. Jika hujan turun lebih dari dua jam, sudah dapat dipastikan, sebagian wilayah langganan banjir di Jakarta pasti akan digenangi air. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukannya tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan secara maksimal. Tapi hasilnya harus diakui memang belum memuaskan semua warga. Harap maklum, sebab dilihat dari posisi, letak Kota Jakarta memang rendah. IGK Suwena ketika masih menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta pernah mengatakan, Pemprov DKI baru mampu mengatasi 2.800 hektare (30%) dataran rendah dari 65.000 hektare luas daerah Jakarta. Sedangkan total dataran rendah wilayah DKI adalah 40% dari luas wilayah Ibu Kota. Itu berarti luasan wilayah DKI yang 40% itu sudah dapat dipastikan akan terkena banjir jika hujan lebat mengguyur Jakarta. Pengalaman sangat tak sedap terjadi tahun 2001 yang lalu. Saat itu banjir benar-benar melumpuhkan Jakarta lebih dari satu hari. Hampir sepekan Jakarta dikepung air. Praktis tidak ada wilayah Jakarta yang terbebas dari banjir. Siapa sangka jalan tol Kebon Jeruk-Tangerang dalam sekejap bisa berubah menjadi sungai. Kawasan Grogol dan sepanjang Jl Daan Mogot, Jakarta Barat, praktis tidak bisa dilewati kendaraan jenis apa pun. Banjir di kawasan Cengkareng, persisnya di Rawa Buaya, ketinggian air mencapai lebih dari 1,5 meter. Perkampungan penduduk di kawasan itu seperti kampung mati, karena ditinggalkan oleh warganya yang mengungsi di bantaran kali. Jalur kereta api Tangerang-Kota saat itu juga lumpuh, sebab di kawasan Pesing-Cengkareng, rel kereta api dijadikan sebagai tempat untuk mengungsi. Tak terhitung berapa kerugian yang diderita PT Kereta Api. Yang pasti, menurut pejabat PT KA ketika itu, kerugian mencapai miliaran rupiah. Gara-gara banjir, anak-anak sekolah terpaksa tidak belajar, karena sekolah diliburkan sebab bangunannya terendam air. Bukan cuma itu, banyak gedung sekolah yang digunakan sebagai tempat mengungsi. Lebih dari itu, banyak murid yang kehilangan buku sekolah, karena rumah mereka tenggelam. Bukan hanya sekolah saja yang diliburkan, banyak perusahaan swasta yang terpaksa meliburkan karyawannya lantaran Jakarta dikepung air. Kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat pun digenangi air. Kawasan yang paling parah diterjang banjir adalah Kampung Melayu, Maggarai dan sekitarnya. Rumah-rumah penduduk yang berdiri di areal sungai di kawasan itu, yang terlihat cuma gentingnya. Saat itu tidak ada yang menyangka bahwa Jakarta bisa seperti itu. Kapan Jakarta bisa terbebas dari banjir? Sulit untuk menjawabnya. Yang bisa dilakukan untuk sementara ini adalah mengantisipasi. Boleh jadi ini mungkin langkah yang paling bijak. Gubernur DKI Sutiyoso sendiri pernah mengatakan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana pengendalian banjir maupun pembangunan sarana jalan serta jembatan tidak seluruhnya bisa menyelesaikan masalah. Ke depan, menurut Sutiyoso, Jakarta harus memiliki banjir kanal yang mampu mengendalikan aliran 13 sungai berhulu di selatan Jakarta. Untuk aliran tengah, jelas Sutiyoso, Pemprov DKI memiliki Banjir Kanal Barat (BKB) guna mengendalikan Kali Ciliwung. Sedangkan aliran timur harus ada Banjir Kanal Timur (BKT) untuk mengendalikan Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Kali Cakung. Setelah semua proyek itu rampung, akankah Jakarta bebas banjir? Kita tunggu saja. Yang pasti selama ini banjir sudah menjadi langganan Kota Jakarta. (Selamat Saragih/S-5) Post Date : 11 Februari 2004 |