Banjir Lagi, Petani Kembali Merugi

Sumber:Kompas - 30 November 2009
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Analogi ”air di sebatas leher petani” acap digunakan saat menganalisis kehidupan masyarakat desa, terutama untuk menggambarkan kondisi keterjepitan petani sehingga mereka sering kali harus berpikir banyak kali sebelum menerima sebuah perubahan. Ini dikarenakan sekecil apa pun riak perubahan yang diterapkan pada usaha petani yang penuh keterbatasan, akan sangat menentukan hidup mereka. Dalam usaha yang subsisten, jaminan keselamatan dari risiko lebih diutamakan daripada maksimalnya keuntungan.

Namun, di Banten, air sebatas leher ini bukan hanya analogi, tetapi kenyataan saat terjadi banjir yang kerap merendam areal persawahan. Pada Jumat (27/11), misalnya, sebagian areal sawah di Desa Pagelaran, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, terendam air hingga hampir dua meter.

Banjir pun menggenangi sekitar 1.500 hektar sawah di Kecamatan Pagelaran dan sekitar 6.000 hektar sawah di Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Pandeglang. Sekitar 2.200 hektar sawah di Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, juga terendam sepanjang pekan lalu. Kerugian petani tentu tidak sedikit.

Banjir pun sempat melanda areal sawah di Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang. ”Meski masih bibit, petani rugi,” kata Nedi, petani di Desa Cikeusal, Kamis lalu. Kerugian itu timbul dari biaya pembelian bibit, pupuk, dan juga ongkos buruh tanam.

Kerugian petani akibat banjir pun ditegaskan Camat Sukaresmi Suedi. ”Selain karena bibitnya layu dan busuk jika kelamaan kerendem (terendam), sehabis banjir biasanya juga banyak keong di sawah yang mengganggu tanaman,” katanya.

Waktu pun merupakan entitas kerugian yang dialami petani. Selain harus memundurkan masa tanam karena harus kembali lagi mengawali tanam bibit dari awal, petani juga dihadang keraguan kapan waktu yang tepat untuk menanam.

”Pasti harus mengulang tanam, tetapi kapan waktunya masih menunggu kalau hujan tidak terus-terusan seperti saat ini,” kata Sukanta, petani Sukaresmi.

Pengamat meteorologi di Stasiun Meteorologi Serang Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Tatang Rusmana, potensi hujan di Banten masih akan terus berlangsung hingga Februari nanti.

Penyudetan

Ketika ditanya mengenai antisipasi pemerintah untuk menangani banjir yang rutin terjadi tiap tahun, Wakil Gubernur Banten Mohammad Masduki menuturkan bahwa saat ini ada program penyudetan.

”Penyudetan ini untuk membuang air yang tidak tertampung langsung ke laut sehingga tidak menggenang,” kata Masduki, yang ditemui saat meninjau lokasi banjir di Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Sabtu (28/11) pekan lalu.

Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Banten Winarjono menuturkan, sudetan di kawasan Bagedur untuk mengurangi genangan air saat banjir ditargetkan selesai tahun 2011. Panjang sudetan 2,9 kilometer, lebar 40 meter, dengan kedalaman empat meter.

Winarjono menuturkan, antisipasi banjir di Banten selatan harus dilakukan secara bertahap karena keterbatasan biaya dan terbentur masalah pembebasan lahan. Pengerjaan konstruksi di Sungai Ciliman, Sungai Cilemer/Cibungur di Kabupaten Pandeglang, misalnya, belum dapat dilakukan karena masih menunggu selesainya pembebasan lahan untuk membikin tanggul dan sudetan.

Biaya yang dibutuhkan juga besar. ”Untuk Cilemer, misalnya, dibutuhkan biaya konstruksi Rp 242 miliar dan biaya pembebasan lahan mencapai Rp 27 miliar,” katanya.

Tahun 2009, pembangunan tembok penahan tanah di tikungan sungai sudah dimulai. Dengan dana Rp 2,7 miliar, tembok itu dibangun untuk mengendalikan arus banjir supaya tidak liar. Terkait besarnya biaya, Winarjono menuturkan, pihaknya melalui Gubernur Banten sudah mengusulkan kepada Menteri Pekerjaan Umum agar Ciliman, Cilemer/Cibungur dapat ditangani menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Apabila semua tertangani, petani akan dapat menentukan waktu tanam tanpa harus harap-harap cemas saat hujan sering turun.

Jika ini terealisasi, ujaran pujangga Jerman Johann Wolfgang Goethe: ”waktu adalah ladangku” pun dapat dirasakan petani di Banten. Petani bisa mengelola waktunya untuk berkarya.

Waktu yang aman untuk bertanam padi, waktu yang aman untuk mencari rezeki. Dan, bukankah mencari rezeki itu merupakan ikhtiar manusiawi yang kita semua lakukan tiap hari? Indahnya kalau semua bisa lancar menjalani. C Anto Saptowalyono



Post Date : 30 November 2009